49. Tidak ada Vicky, hanya Laras

11.5K 1.6K 150
                                    


Terima kasih yang masih bertahan meski aku suka ingkar. Ya sekali lagi, menulis setelah sekian lama tidak, itu sulit. Kucoba, tapi kadang jin mengaburkan imajinasi. Malah dikasih gambaran cerita, yang jelas-jelas kutolak garap karena banyak sekali naskah mangkrak. Aku mencoba fokus dan setia, makanya sulit. Sekali lagi, terima kasih bagi yang masih menunggu, mau bertahan, dan setia mendukung. Tanpa kalian, apalah aku. Remah-remah peyek sisa lebaran 2 tahun lalu nyoooo.


Btw, naskah ini berpotensi panjang loh. Ya, aku kasih peringatan di awal. Nggak papalah ya, di tengah panjangnya naskah berkoin di aplikasi, aku kasih naskah panjang gratisan di sini. Paham sih, mereka berkualitas, aku ber ....


Selamat membaca, cabe-cabekuuuu!!!!


***


"Permainan apa yang sedang kamu mainkan?" tanya Vicky yang baru saja memasuki ruangan di mana Danu sedang menyendiri ditemani sebotol minuman beralkohol dengan kadar ringan.

"Tidak perlu dijelaskan," jawab Danu final.

Suasana hening. Danu tidak tertarik menjadikan Vicky teman bicara, sedangkan wanita itu masih bertahan di sana. Danu bisa merasakan kegelisahan Vicky. Hal yang jarang terjadi karena wanita itu lebih sering menguasai situasi dengan cepat dan melakukan tugasnya nyaris tanpa cela.

"Bos ... tidakkah semua jadi semakin rumit, dengan semua yang Bos lakukan belakangan ini? Bukankah ... harusnya setelah menikah dan sebentar lagi memiliki anak, Bos ingin kehidupan yang lebih tenang? Jauh dari masalah?"

Danu yang sedang duduk membelakangi pintu sehingga juga membelakangi Vicky mengangkat tangan—memberi kode agar wanita itu diam. Dia tidak tertarik dengan diskusi apa pun ... sama sekali.

"Baiklah, saya keluar. Eum ... Laras akan tiba besok dan diantarkan langsung ke rumah Bos," ucapnya, lalu keluar dari ruangan.

Danu tersenyum kecil, miring, lalu meneguk kembali isi gelasnya.

***

Bel berbunyi. Dara mendengarnya, tetapi membiarkannya karena tahu ART-lah yang akan membukakan pintu. Dia sedang memaksa diri untuk tenang sambil mendengarkan lagu yang katanya baik untuk perkembangan bayi dalam kandungan seraya membaca buku tentang ilmu pengasuhan anak. Meski seperti biasa, sulit bagi dirinya untuk tenang di tengah semua tanda tanya yang ada serta keharusan untuk mengabaikan semua tanya itu dan percaya pada sang suami yang jelas-jelas mencurigakan.

Dara juga bisa mendengar suara pintu dibuka, suara ART samar-samar, serta kemudian kembali hening. Ada suara langkah yang semakin mendekat, dia pun menoleh.

"Laras!!!" Wajah Dara yang tadi muram kini berubah drastis. Dia langsung meletakkan bukunya di samping tempatnya duduk lalu berdiri.

"Kakakkkkk!!! Kejutan!!!" Laras meletakkan tas yang tadi ditentengnya di lantai lalu berlari ke arah Dara.

Baru dua langkah Dara, Laras kini sudah berdiri di depannya dan memeluknya erat. "Duh kangen banget sama Kakak!" seru adiknya itu.

"Kakak juga. Kakak juga." Tak bisa dicegah air mata Dara menetes. Laras itu orang yang paling mengerti dirinya, yang Dara anggap paling memiliki ikatan batin padanya. Bisa memeluk adiknya itu di saat yang tidak dia duga dan dalam situasi di mana suasana hatinya sedang kurang baik. Memeluk Laras saja, sudah terasa seperti berhasil mencurahkan semua kegundahan hatinya bagi Dara. Melegakan. Membuatnya nyaman.

"Ih ... udah mau jadi ibu kok cengeng!" ledek Laras yang suaranya sendiri kini sengau. Dia melerai pelukan lalu tersenyum mengejek. "Udah ih, malu!"

DaraWo Geschichten leben. Entdecke jetzt