44.

14.1K 2K 170
                                    

Hari ini, apa yang terjadi sebenarnya tidak lebih berat dari yang pernah Danu lalui sebelumnya. Kebohongan, strategi untuk saling menjatuhkan, pengkhianatan, dia sudah sering melaluinya dan semua akan baik-baik saja. Hanya saja, setiap harinya kehadiran Dara seakan merontokkan satu per satu perisainya. 

Tadinya, dia baik-baik saja saat memasuki rumah. Tapi, melihat cara Dara menyambutnya, memeluknya sambil berkata seperti itu, Danu terganggu. Sesuatu menyumbat tenggorokannya, membuatnya susah untuk bernafas. Bahkan matanya pun terasa panas.

Menangis? Itu menyedihkan sekali. Tapi, Dara memang membuat perasaan sendu dalam diri Danu yang selama ini dia pendam dalam-dalam dan selalu sembunyikan dengan sangat baik. Seakan, Dara telah membuka pintu gudang semua duka Danu di masa lalu. Sesuatu yang sangat tidak dia inginkan.

Ketulusan, itu yang Danu lihat dalam diri Dara. Sesuatu yang sudah lama tidak ada di kehidupannya.

Saat Dara memeluknya dan berucap seperti tadi, Danu hanya diam. Membiarkan waktu berlalu dengan pelukan Dara yang terus mengirimkan kehangatan padanya. Dalam kondisi saling diam seperti itu, Danu seakan mendapatkan amunisi. Energinya yang terkuras saat mengurus keluarganya yang super berantakan, seakan kembali terisi. Dan akhirnya, dia mengajak Dara ke kamar. Dia langsung mandi sambil menenangkan diri, berusaha mengendalikan gejolak emosi yang sulit dia kendalikan karena Dara, lalu setelah itu mereka makan malam dan langsung kembali masuk ke kamar untuk berbaring saling berpelukan dalam diam.

Dara tidak bertanya lagi. Namun, hal itu justru membuat keraguan Danu untuk sedikit memberi petunjuk pada apa yang sebenarnya sedang terjadi pun terkikis. Dia ingin bercerita, bukan agar Dara paham dan maklum, tapi karena dia ingin. Untuk sekian lama, dia seakan menemukan sosok yang bisa dia jadikan teman yang bisa dijadikan tempat bercerita bahkan untuk hal yang sepele.

"Dara ... " ucap Danu pelan, tidak ingin membuat sang istri kaget karena bisa saja Dara sedang sibuk dengan pikirannya sehingga suara yang tiba-tiba dan kuat akan membuatnya terkejut, "ikrar kamu tadi percuma," ucapnya sambil merenggangkan sedikit pelukan mereka, memandang Dara dengan ekspresi serius.

Dara tampak kaget. Danu bisa melihat bagaimana perubahan emosi terjadi dengan cepat di wajah wanita itu. Yang awalnya tidak terima, kini terlihat melemah seakan sengaja mengalah dan tidak akan mendebat. Firasat Danu yang berkata Dara adalah wanita yang tepat untuknya saat mereka pertama kali bertemu dulu ternyata tidak salah.

Danu menangkup wajah Dara lalu mengecup bibirnya. "Karena itu memang sudah kewajiban kamu," bisiknya, kembali mendaratkan kecupan. Tidak dengan nafsu, lebih seperti penyaluran perasaan yang lembut dan dalam.

Dara mengangguk sambil tersenyum lembut.

"Kesetiaan dan mendampingi dalam suka dan duka itu bagian dari sumpah pernikahan. Sedikit melegakan karena ternyata kamu melakukannya dengan suka rela, bukan sekadar melaksanakan kewajiban."

Dara kembali mengangguk. Tidak protes sedikit pun.

"Tidak mau bertanya ada apa sebenarnya?"

Senyum Dara sedikit memudar. Dia pun menggelengkan kepalanya. "Mau ... tapi aku rasa mungkin waktunya nggak tepat. Apa pun yang terjadi jelas itu mempengaruhi Mas. Membuat hari Mas menjadi buruk. Di luar semua yang terjadi, bukankah yang paling penting itu memberi jeda sejenak agar Mas lebih tenang dan suasana hati Mas membaik?"

"Kamu benar-benar memaklumi aku, atau memaksa diri kamu mengalah demi aku?"

"Keduanya, Mas. Memangnya apa yang lebih penting dari kamu?" 

Danu tertawa pelan. Istrinya sudah bisa menggombal sekarang. Kata-katanya kini semanis madu. Tapi, meski begitu, ucapan tadi tidak seperti bualan. Danu bisa melihat ketulusan di mata Dara.

DaraWhere stories live. Discover now