Bab Tak Berjudul 59

8.4K 1K 90
                                    


"Kamu jelas tidak bisa melakukan ini," ucap Julia dengan suara bergetar.

"Bisa, dan baru saja kulakukan," jawab Danu dengan suara setenang biasanya.

"Setelah semua yang kita lalui ... dengan pertalian yang kita miliki ... bisa-bisanya, Danu." Julia bahkan kini menghapus setetes air yang mengalir dari matanya.

Danu memahami emosi itu. Julia memang ketergantungan padanya. Wanita itu terbiasa memberi Danu peran dalam hidupnya. Tidak bisa Danu salahkan karena pertalian darah yang mereka miliki serta latar belakang psikologis yang Julia miliki. Sama seperti adiknya--Nina--Julia pun tidak mendapatkan kasih sayang serta perhatian yang cukup dari keluarganya.

Dulu, Danu tidak keberatan memikirkan dan mengamankan kehidupan semua orang. Sekarang semua makin rumit. Dia berharap, apa yang dia lakukan cukup sehingga adik dan ibunya serta Julia mandiri dan tidak mencampuri kehidupannya, agar dia bisa tenang saat kemudian memiliki keluarga kecil sendiri. Nyatanya tidak, semakin dia memberikan sesuatu, semakin ketiga perempuan itu menginginkan lebih. Dan rasanya, terlalu terlambat untuk memberikan batasan.

"Aku cuma meminta kamu berhenti datang ke rumah jika urusannya tidak penting dan berhenti juga bergaul secara berlebihan dengan adik dan ibuku. Meski mereka adalah tante dan sepupumu. Meski aku paham, terkadang kamu yang memberikan pengaruh buruk pada mereka, terkadang malah sebaliknya, mereka yang memberi pengaruh buruk padamu. Mungkin dengan berhenti saling mencampuri kehidupan satu sama lain, kalian akan menjadi lebih baik."

Dilemparkan Danu amplop cokelat berukuran besar. Berisi aib Julia yang dia ketahui dari seseorang yang memerasnya serta sejumlah uang tunai sebagai bekal Julia untuk mandiri. Tidak mau menggunakan fasilitas transfer karena bisa jadi alat Julia memanas-manasi Dara.

"Sudah kuselesaikan masalahmu hingga per hari ini. Sadarilah bahwa semudah uang masuk ke rekeningmu dengan cara-cara aneh itu, semudah itu pula uang keluar untuk menutupi aibmu. Meski seringkali kamu tidak harus memikirkan uang keluar itu karena aku yang membereskan semuanya. Tapi, aku akan berhenti melakukannya. Kamu sudah tidak muda lagi dan harusnya sudah mulai memikirkan masa depanmu. Aku tidak secekatan dulu memikirkan semua hal sekaligus. Berhentilah bermain-main, Julia. Setidaknya jika memang kamu enggan bekerja dengan keras untuk memenuhi gaya hidupmu, pilihlah satu lelaki hidung belang yang super kaya agar kamu tidak perlu memiliki aib sebanyak itu."

Danu menunjuk amplop cokelat dengan matanya. 

"Dan jangan mengancam Nina lagi. Masalahnya juga sudah kuselesaikan. Kalau aku tahu kamu melakukannya lagi, aku akan berbalik menghancurkan hidupmu. Bagaimanapun juga, Nina itu adik kandungku. Seayah seibu."

"Siapa yang menghasut kamu, Danu? Ha? Dara? Perempuan kampungan itu?" Julia berteriak di tengah tangis tidak terimanya. Dia terlihat marah.

"Ssssstttt ...." Danu menggelengkan kepala sambil mengangkat jari telunjuk, memberi perintah pada Julia untuk tenang. "Aku tidak menerima konfrontasi dan keputusanku sudah final. Kamu jelas sudah tau seperti apa aku, kan, Julia? Harusnya meski tidak terlalu pintar, kamu sudah tau apa yang akan terjadi kalau kamu bermain-main denganku." 

Senyum manis mengembang di wajah Danu.

"Pahamilah, terkadang aku bisa menjadi orang yang tidak berperasaan sama sekali. Ingat. Sama sekali."

Danu berdiri lalu meninggalkan Julia di cafe itu sendiri. Tadi Danu sengaja memesan ruangan privat agar dia bisa berbicara leluasa dengan Julia, tentu saja hanya berdua. Dia bersikap seolah-olah tega, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Bagaimanapun juga, pertaliannya dengan Julia lumayan kental. Dia hanya berharap Julia sangat marah padanya sehingga mendadak wanita itu membalas dendam pada Danu dengan cara yang benar--dengan membuktikan pada Danu bahwa tanpa dirinya pun Julia bisa hidup tenang dan mapan. Tentu saja dengan cara yang benar.

Setelah bertemu dengan Julia, Danu membutuhkan waktu untuk sendiri. Dia butuh mengisi energinya kembali. Untuk hal lain, Danu bisa jadi sangat tega. Tapi untuk urusan keluarga, sebaliknya, dia tidak pernah bisa tegas. 

Dia pergi ke tempat minum dan sengaja tidak memesan ruangan khusus. Dia ingin sendiri di tengah keramaian. Takut jika sendiri nanti dia malah semakin bablas. 

***

Dara memapah Danu yang lebih mabuk dari biasanya. Terpaksa, karena Danu pulang lewat tengah malam di saat semua orang sudah terlelap. Tadi, Dara gelisah karena Danu belum pulang juga, tetapi takut untuk menghubungi lagi setelah beberapa pesan serta panggilannya diabaikan. Dia hendak ke dapur untuk mencari apa yang bisa dikunyah karena mendadak merasa lapar. Saat itulah dia melihat Danu duduk di ruang tamu dengan pencahayaan temaram karena mengandalkan cahaya dari ruangan lain. 

Danu memijit pelipisnya dan seperti setengah tidur. Dara memanggil sambil menyentuh lengan sang suami yang kemudian meracau tidak jelas. Akhirnya, Dara menuntun Danu ke kamar. Dia tahu Danu akan marah saat sadar di pagi hari, karena selama ini Dara disuruh tidak melakukan aktivitas yang membuatnya lelah dan kandungannya terancam. Mau bagaimana lagi, Danu itu suaminya, dan dia ingin sang suami tidur di kamar bersamanya.

Dara membantu Danu berbaring. Sengaja bergerak perlahan saat melepaskan kaos kaki serta pakaian Danu yang sangat bau. Pikiran Dara sudah ke mana-mana. Tapi, dia tepis karena sejauh ini Danu sepertinya setia. Cinta Danu memang masih abu-abu, tapi kesetiaannya seperti tidak pantas untuk dipertanyakan. Berulang kali lelaki itu mengisyaratkan, komitmen pasangan yang sudah menikah tidak layak untuk dipermainkan.

Semoga saja begitu, batin Dara. Karena Dara tidak siap jika harus menjalani kehidupan pernikahan yang memiliki isu kesetiaan. Dia tidak siap bertarung dengan wanita lain, tidak sanggup juga memenangkan lelaki yang hatinya tidak sepenuhnya miliknya.

Dara mengelus perutnya sambil menatap Danu. Lelaki pertama yang berani membuatnya berharap kepada seseorang. Sosok yang membuatnya nyaman untuk bersandar. Dia berdoa, semoga dirinya cukup bagi Danu karena Danu amat sangat cukup baginya. Tapi, Danu versi yang sekarang, yang dia kenal. Karena jauh di lubuk hati Dara, dia merasa masih banyak hal yang Danu sembunyikan darinya.

"Harus bisa ... Julia. Harus ...."

Dara terdiam sejenak. Keningnya berkerut. 

"Mas ... " panggilnya pelan. Namun, Danu kembali menggumam tidak jelas lalu kemudian terlihat pulas. 

Ada apa lagi dengan Julia, batin Dara. Wanita itu tidak henti-hentinya merusak kebahagiaan mereka. Dara ingin sekali Julia dienyahkan, masalahnya dia tidak tahu posisi siapa yang lebih kuat di keluarga Danu. Posisinya sebagai istri dan calon ibu dari anak Danu atau Julia yang merupakan sepupu sekaligus kerabat yang paling dekat dengan adik dan ibu Danu.


NB


Segini dulu lah ya, mancing ide untuk part berikutnya. :D

DaraWhere stories live. Discover now