5. Petaka Ganda

24.9K 2.2K 63
                                    

Aku memang sesinting ini. Selalu on fire di cerita baru, cenderung susah ngelanjutin cerita lama. Maafkan aku. Yang mulai kepancing masih Singu-Sada, soalnya. Mohon bantuan support-nya, yaaaa. 

Selamat membaca.


Aku sayang kalian ....


***


Seharian Dara tidak fokus dalam bekerja. Ponselnya disita karena terpergok beberapa kali mengabaikan pembeli yang hendak membayar dan sibuk dengan ponsel itu. Dia menunggu kabar dari Lucy. Dan akibat rasa was-wasnya itu, delapan jam kerja terasa seperti berbulan-bulan. Begitu lama.

"Kenapa sih?" tanya Seno menegur saat Dara kembali melirik jam dinding.

Dara menoleh pada lelaki itu dan menggelengkan kepalanya lemah. Malas menjelaskan, juga tidak pandai berpura-pura tidak terbebani akan sesuatu. Seno masih berdiri di depan kasir, di etalase kue yang letaknya di dekat kasir, berpura-pura merapikan roti-roti di sana.

"Lo ada masalah, Ra? Tadi datangnya telat, terus muka lo agak pucat. Mau izin?"

Gelengan kepala Dara semakin kuat. Ide yang ditawarkan Seno hanya akan menambah masalahnya saja. "Apaan! Nggak ada apa-apa, kok. Bad mood pra mens doang!"

"Kayaknya ini bukan jadwal lo deh!"

Dan Dara memaki akan betapa telitinya lelaki di depannya itu. Seno terlalu tahu akan dirinya. Entah mengapa, lelaki itu dianugrahi akan kekepoan dan ingatan yang tajam. Hal yang sangat mengganggu di saat seperti ini.

"Sotoy!" Dara pun memutuskan akses Seno berbicara dengannya dengan berjalan ke samping, ke etalase yang memajang kue ulang tahun. Sama seperti Seno, berpura-pura merapikan. 

Embusan napas panjang lolos begitu jam pulang kerja pun tiba. Dara buru-buru menghampiri sang manajer, berucap maaf sekali lagi sambil memberikan alasan fiktif dan langsung membuka ponselnya dengan segera begitu diserahkan kembali. 

Mata Dara membesar. Begitu banyak panggilan tidak terjawab dan pesan baik di pesan biasa maupun aplikasi. Beberapa pesan dari Adam yang menanyakan keberadaan Lucy, dan beberapa dari ibu Dara yang tidak dibuka wanita itu karena takut akan dicecar jawaban setelah centang dua berubah warna--menjadi biru--di seberang sana. Prioritasnya adalah Dara dan nomor telepon yang besar kemungkinan adalah nomor telepon hotel sudah beberapa kali menghubunginya. Baru saja hendak menghubungi kembali nomor telepon itu, panggilan pun masuk, dari ibunya.

"Kenapa tidak dibalas? Kamu di mana? Kenapa dari tadi telepon Ibu tidak dijawab???"

Nada bicara ibunya begitu keras. Tidak biasanya. Dara pun langsung dicekam ketakutan. "Kenapa, Buk? Tadi hp Dara ditahan sama bos karena ada ... pemantauan. Ada masalah?"

"Ck! Ibu tadi bingung! Ibu hampir mau mati saking bingungnya dan kamu nggak bisa dihubungi! Mampus kita, Nak! Mampus! Adik kamu habis nabrak orang. Nabrak mobil orang kaya dan mobil itu rusak. Orangnya juga sampai di opname. Ini adik kamu masih di kantor polisi. Aduh, Dara ...."

Dara kehilangan kata-kata. Mendadak, pendengarannya mati. Jantungnya mencelos. Darahnya dingin. Dia kehilangan kemampuan untuk berkata-kata.

Satu masalah belum selesai dan masalah lain pun datang, dan terjadi pada orang-orang yang dia sayangi. Dara menangis. Reaksi bodoh yang ingin membuatnya memukul kepalanya sendiri, tetapi dia terlalu bingung. Dia mendengar ibunya berteriak-teriak, tetapi dia tidak mampu menjawab. Tubuhnya terduduk dengan kaki menekuk. Dilipatnya tangan dan menempelkan wajah di sana. 

DaraWhere stories live. Discover now