23. Julia 2

17.4K 2.2K 121
                                    


Dara duduk di kursi dan menerima minuman yang disodorkan Nina. Menahan pandangannya agar tidak terarah ke kolam di mana Danu dan Julia sedang berduaan, yang sekarang bertiga dengan Nina yang baru saja kembali menyebur. Dada Dara terasa panas. Baru sehari sah menjadi istri, dia mungkin hanya belum terbiasa dengan interaksi suaminya dengan wanita lain. Lucy mengajarkannya pergaulan bebas juga pergaulan kelewat ramah antara orang berbeda jenis kelamin. Dara terus menasehati dirinya sendiri agar tidak terlalu kolot. 

Tidak mungkin seorang lelaki selingkuh dengan wanita yang selalu ada di sekitar keluarga lelaki itu, bukan?

Kalau memang Danu dan Julia memiliki affair, kenapa mereka tidak menikah saja?

Lagi pula, kalau memang mereka berselingkuh, itu artinya keluarga ini bobrok sekali karena membiarkan perselingkuhan itu terjadi di depan mata mereka sendiri. Termasuk seperti saat ini, ada Nina yang berenang bersama mereka.

"Sudah sarapan?"

Dara menoleh dan mendapati Danu dengan tubuhnya yang basah berjalan ke arahnya. Lelaki itu tampak segar dan ... menggoda. Kali ini wajah Dara panas untuk alasan yang lain.

"Belum," jawab Dara sambil kembali memandangi gelas di tangannya. Terlalu malu membayangkan Danu menyadari efek yang lelaki itu berikan pada tubuhnya, apalagi jika setelah itu senyuman miring penuh ejekan Danu lemparkan padanya.

"Setelah malam yang panjang, tidakkah kamu merasa lapar?" 

Danu mengejeknya! Itu terdengar jelas dari nada suara lelaki itu, yang bahkan bisa Dara tebak dilontarkan sambil sedikit tertawa. Dara hanya mengangkat kedua bahunya karena memang benar, harusnya dia lapar, tetapi benar juga dia tidak merasa lapar. Mungkin melihat Julia membuatnya kenyang.

Danu mengambil salah satu gelas berisi minuman dingin dari meja di depan Dara dan menenggaknya. Dara menyaksikan itu dan merasa terganggu. 

"Minumnya sambil duduk, Mas. Terus, pagi-pagi minum dingin? Mana habis berenang," tegurnya.

Danu tersenyum di balik gelas yang masih menempel di bibirnya. Setelah isi gelas itu habis, barulah dia meletakkan gelas kembali di meja dan menarik dagu Dara.

"Aku lupa menagih ciuman selamat pagiku," ucap Danu sambil merendahkan tubuhnya lalu menempelkan bibir mereka. Sedikit menekan, tetapi tidak sampai melumat. Saat kecupan itu diakhiri, Dara merasa kehilangan. "Dan itu sudah cukup membantuku merasa hangat." Tangan Danu mengusap kepala Dara.

"Pergilah ke meja makan dan sarapan. Kalau tidak suka dengan makanan yang ada di sana, sampaikan saja pada orang dapur. Jangan biasakan perutmu kosong, Ma. Ingat, anak kita sedang tumbuh di sana." Danu mengoceh sambil memainkan ponselnya. "Oh ya," Danu kini menunduk menatap Dara, "aku akan keluar sebentar, mungkin sampai jam makan siang. Setelah aku pulang baru kita ke dokter kandungan."

Danu kemudian pergi. Pandangan Dara terus terkunci pada lelaki yang ternyata masuk ke kamar mandi di sekitar kolam itu. Julia sendiri kini keluar dari kolam dan berjalan dengan penuh percaya diri menuju ke arah Dara, membuat Dara merasa terancam. Tidak mungkin salah, Julia memandangnya seakan mereka adalah musuh bebuyutan. Hanya saja, cara Julia menatapnya tidak dengan kemarahan terang-terangan melainkan dengan sorot lembut yang licik seakan di balik wajah tenang dan bersahabatnya, dia menyimpan banyak rencana untuk menindas Dara.

"Kakak ipar tidak berenang?" tanya Julia yang kini duduk di seberang Dara. Gadis yang mengenakan bikini seksi itu duduk dengan kaki menyilang dan dada membusung. Mungkin tidak membusung, melainkan memang bentuknya yang kencang menantang. Julia mengambil gelas berisi minuman dingin dan menenggaknya dengan gerakan yang sering Dara lihat di iklan tv.

Dara jelas merasa dirinya bukan apa-apa dibanding wanita di depannya ini. Dari warna kulit, ukuran dada, bentuk tubuh, wajah, serta gerak tubuh. Dara jelas bukan apa-apa. Sama sekali.

Julia kembali meletakkan gelas yang isinya tidak banyak berkurang itu, lalu tertawa pelan. "Kakak ipar tidak perlu minder. Santai saja. Toh, Mas Danu sudah memilih Kakak, bukan? Ya ... meskipun mungkin terpaksa memilih."

Tatapan Julia jatuh ke perut Dara dengan mata yang sedikit memicing. Jemari Dara secara spontan merentang di sana, melindungi sang calon buah hati, bagian dari dirinya yang tidak mungkin dia biarkan mendapatkan hinaan. Dara selalu membiarkan dirinya tidak diberi tempat, disisihkan, tidak dianggap. Hanya saja, dia tidak akan membiarkan keluarganya merasakan hal yang sama. Apalagi, darah dagingnya.

"Saya ke dalam dulu," pamit Dara sedikit sinis.

"Wah, Kakak ipar ternyata sombong sekali." Dengan tidak sopan, Julia kembali tertawa.

Samar Dara bisa mendengar Nina mempertanyakan apa yang terjadi dan Julia menjawab dengan santai bahwa dia hanya baru beramah tamah dengan anggota keluarga yang baru.

Dara pikir, dengan meninggalkan tempat itu, dia sudah berhasil lari dari masalah. Sayangnya, saat dia baru saja duduk dan menatapi makanan yang ada di meja, suara langkah terdengar. Mami Danu sedang turun dan ketika pandangan mereka bertemu, perasaan Dara tidak enak.

Dara berdeham, melemparkan senyum yang tidak mendapatkan balasan, lalu dia mengisi piringnya dengan nasi goreng dan omelet.

"Kamu sedang hamil muda. Biasakan konsumsi makanan bergizi agar anak kamu tumbuh dengan sehat di sana. Pelajari makanan apa yang bagus untuk dia." Sambil mengomel dan memasang wajah cemberut, sang ibu mertua pun mengisi mangkuk dengan bubur kacang hijau. "Ini nanti di makan. Mulai besok, Mami yang atur makanan kamu. Gini ini kalau nikah buru-buru, apa-apa nggak paham. Bangunnya juga siang, lebih duluan suami yang bangun. Jangankan nyiapkan sarapan suami, milih sarapan untuk diri sendiri aja nggak bisa."

Pandangan Dara memburam. Matanya memanas. Selera makannya kandas. Dia tidak berani menatap ibu Danu karena takut malah tidak mampu menahan tangis. Sekarang saja, dia sedang menggigit bagian dalam bibir atasnya. 

"Ma," sapa Danu yang baru saja memasuki ruang makan.

"Mau pergi?" Ibu Danu kini menaruh perhatiannya secara penuh pada sang anak dan Dara bersyukur untuk hal itu.

"Iya, ada janji ketemu Pak Brata." Danu kini berdiri di antara ibunya dan Dara. "Sedikit sekali, Dara." Danu menyendok nasi goreng dan menuangkannya di piring Dara.

"Mas!" protes Dara. Dia sudah kenyang dan ini adalah jenis menu yang dihina ibu lelaki itu tadi.

"Apa?" Danu bertanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Seorang Danu tidak akan membiarkan anaknya kelaparan." Danu kembali menarik dagu Dara dan menempelkan bibir mereka. "Jangan lupa siang kita ada janji dengan dokter kandungan. Aku pergi dulu."

Danu kemudian pamit pada ibunya lalu benar-benar pergi. Sepeninggal lelaki itu, Dara menoleh ke samping dengan canggung, mendapati wajah sang ibu mertua yang semakin cemberut dan kemudian membalikkan badan. 

Dara tidak paham kenapa dirinya begitu tidak disukai. Mencoba percaya kalau seisi rumah termasuk Julia bukan membenci dirinya, tetapi mereka memang tidak menyukai semua orang dan bersikap menyenangkan hanya pada orang yang benar-benar mereka sukai.





Sedikit dulu ya. Mau dicoba 1 part sehari meski sedikit. Biar feelnya jangan sampe ilang kayak cerita lain. Babai.

DaraWhere stories live. Discover now