at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Epilogue

71.4K 4.7K 797
By nambyull

Vote and comment please.
***

          Fews years letters...

"K.G.P.A.A Tarendra Suparto Bena Adhinatha. 45 tahun, Penyakit Paru Obstruktif Kronik*. Pasien tidak memiliki penyakit bawaan, dijadwalkan untuk dilakukan single transplantasi paru-paru."

Sean Aldarict, dokter bedah umum yang bertanggung jawab atas prosedur operasi kali ini menyebutkan status kondisi pasien yang akan timnya tangani sebentar lagi.

Tiga orang perawat, satu dokter bedah kardiotoraks, dua dokter anastesi serta satu orang dokter vaskular dan endovaskular yang berdiri dihadapannya segera mengangguk.

Mereka semua telah melakukan sterilisasi dengan membersihkan diri dan mencuci tangan, mengenakan baju operasi, goggle, masker, handscoon, serta alat pelindung diri lainnya untuk memenuhi standard perlindungan diri operator dalam operasi.

Pasien sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di ranjang bedah, ter-anastesi dan telah dipasang endotracheal tube* pada mulutnya yang terhubung dengan ventilator* sebagai alat bantu pernapasan, serta monitor sebagai acuan tekanan darah dan tanda vital untuk menjaga kestabilan kondisi pasien selama operasi berlangsung.

"Meski yang sekarang kita tangani adalah Adipati Mangkunagara, jangan tegang. Anggap saja beliau sama seperti pasien lainnya dan kita berkewajiban menolongnya apapun yang terjadi. Mengerti?" Perintah pria yang belum lama ini telah diangkat menjadi wakil ketua ICS (*International Community of Surgery).

"Baik dok!" Seluruh dokter serta staff yang telah siap dengan perlengkapan operasi menjawab kompak.

Sean menoleh pada dokter bedah kardiotoraks di sisi pasien yang lain dari balik masker dan kaca mata pelindungnya, kemudian bernapas sebentar untuk menenangkan diri lalu mengangguk.

"Kita akan melakukan prosedur pneumonektomi*, melakukan transplantasi dan sebisa mungkin mencegah terjadinya table death." Katanya.

"Semuanya bersiap."

Para dokter dan perawat langsung mengangguk.

"Mess."

Perawat disebelah Sean dengan cekatan mengambil pisau dari nampan instrumen kemudian memberikannya pada Sean.

Ruangan itu mendadak tenang dengan hanya suara bunyi mesin perekam aktivitas jantung pasien saja yang terdengar berdetak hingga membuat ruangan menjadi terasa begitu serius.

Dokter bedah kardiotoraks di ruangan menatap pekerjaan Sean, sama seperti semua orang disana yang fokus memperhatikan penyayatan efisien yang baru saja dilakukan Sean.

Tidak lagi terkejut, mereka semua sudah menebak bahwa pria yang belakangan bahkan disebut sebagai dokter bedah umum paling hebat se-negri imi, telah meng-insisi tengah dada pasien, bagian yang direncanakan hingga terbuka dengan baik—sempurna.

Pria itu lalu menyerahkan blade yang digunakannya pada perawat.

"Sternotomy median* dimulai." ujarnya, memulai tahapan pertama prosedur operasi mereka.

"Bone Bor."

Sean mengambil bor tulang yang diberikan oleh perawat, lalu dengan hati-hati melakukan pemotongan. Perawat dengan cepat membaluri daerah kerja Sean menggunakan cairan saline (*larutan garam fisiologis) untuk mengurangi kerusakan pada tulang atau jaringan lain yang akan dibuka.

Kali inipun Sean melakukannya dengan sangat baik, sampai para perawat, dari balik masker mereka tersenyum girang karena begitu mengagumi dan tergila-gila pada sikap profesional yang ditunjukan pria itu.

Setelah pembukaan awal selesai, Sean meletakan tulang yang telah dipotong pada nampan khusus jaringan. Pria itu kemudian meletakan retraktor ditepi luka insisi pasien, menahan lapangan operasi serta menghindari kerusakan jaringan yang lebih banyak.

"Bovie*." katanya dan perawat langsung memberikan instrumen yang dia minta.

Sean mulai melakukan pembukaan pericardial sac, yaitu lapisan tipis atau kantung yang membungkus jantung dan yang membatasi paru-paru pasien dengan hati-hati.

"Suction."

Dan perawat langsung mengirigasi daerah kerja operasi dari darah pasien yang perlahan-lahan mengalir keluar.

Lapisan yang melindungi jantung pasien telah terbuka, selanjutnya Sean melanjutkan pembukaann jaringannya pada pleural cavity, yaitu rongga di antara lapisan pleura, yang merupakan membran pemisah antara paru-paru dengan dinding dada bagian dalam, yang membungkus paru-paru pasien.

Pekerjaan Sean selesai setelah itu, dia mengangkat wajahnya dan menatap dokter bedah kardiotoraks yang telah bersiap di sisi tubuh pasien yang lain.

"Dokter Hera." Panggilnya.

Dan dokter wanita yang empat tahun lalu telah resmi menjabat sebagai wakil direktur Welfare Hospital yang baru, menggantikan Sean, sekaligus professor di universitas Avicenna mengangguk menerima perintahnya.

Mereka saling bertukar posisi, sehingga Hera yang sekarang berada disisi kanan pasien sudah siap untuk melakukan pekerjaannya.

Hera perlahan-lahan memasukan tangannya dalam rongga dada pasien, melakukan evaluasi dengan palpasi* untuk memeriksa apakah ada ke-abnormalan pada jaringan sekitar paru-paru atau tidak.

"Kita mulai." Kata Hera dari balik maskernya setelah mengevaluasi.

"Mess." Perintahnya.

Perawat segera memberikan instrumen yang dia minta.

Hera lalu mulai melakukan pemotongan pada main bronkus*, arteri pulmonalis*, serta vena pulmonalis* paru-paru bagian kanan, bergantian dengan hati-hati dan cekatan, lalu melakukan penjahitan sementara untuk mengurangi pendarahan besar atas pemotongan tadi, setelah semua pembuluh darah terhubung dengan mesin ECMO.

Sean memegangi suction untuk menghindari penumpukan darah pada rongga dada pasien saat Hera dengan hati-hati mengeluarkan paru-paru kanan pasien.

"Bagaimana tekanan darahnya?" Hera melirik monitor acuan tekanan darah dan tanda vital pasien.

"Penurunanya stabil dok." Jawab perawat yang bertugas pada monitor.

"Bagus."

Seorang petugas pembawa donor paru-paru yang dijadwalkan untuk operasi ini kemudian memasuki ruangan, mengeluarkan paru-paru kanan yang disimpan dengan baik dari ruang penyimpanan organ rumah sakit lalu meletakannya di nampan khusus jaringan.

Paru-paru itu telah netralkan dan diuji coba, Hera lalu menatap Sean yang juga sedang melihatnya dengan seringaian tipis di bibir mereka.

"Transplantasi akan dilakukan."

***

          Operasi transplantasi paru-paru kali ini, selesai lebih cepat dari biasanya. Hanya membutuhkan waktu enam jam dari pukul delapan pagi, dan sekarang sudah pukul dua siang.

Hera dan Sean keluar menuju ruang tunggu khusus setelah membuang semua alat pelindung diri mereka di tempat sampah limbah medis, menyuci tangan menggunakan disinfektan dan membersihkan diri.

Mereka, sebagai dokter utama operasi kali ini, menghampiri seorang anak laki-laki berumur belasan tahun yang tampak tenang di sofa ruang tunggu dan tengah bersama beberapa orang berjas hitam yang mendampinginya.

"Gusti Raden Mas." sapa Sean dan Hera setelah menunduk sekilas.

Remaja laki-laki itu langsung berdiri dari sofa, kemudian menatap Sean dan Hera dengan tatapan cemas.

"Bagaimana kondisi Bapak saya dokter?"

Hera yang menjawab, "Kondisi Kangjeng Gusti Adipati baik-baik saja. Tapi karena keadaannya sedikit buruk, Kangjeng Gusti mungkin butuh waktu untuk pulih."

"Untuk pulih? Apa maksud anda?"

"Kangjeng Gusti butuh ventilator buatan sampai paru-parunya berfungsi dengan normal, Raden Mas. Jadi untuk sekarang Kangjeng Gusti akan berada diruang ICU dalam pantauan pengawasan dokter."

Remaja laki-laki yang juga merupakan pewaris Kadipaten Mangkunegaran itu mengerutkan dahi.

"Kalau begitu kira-kira kapan Bapak saya sadar, dokter?"

"Kurang lebih 10 hari, tapi mungkin bisa lebih. Semua tergantung reaksi tubuh Kangjeng Gusti terhadap paru-paru barunya." Jelas Hera, lalu mengabaikan status sosial yang dimiliki remaja laki-laki itu, dia menepuk pundaknya pelan untuk menguatkan.

"Tenang saja, Gusti Raden Mas. Kami sudah melakukan perawatan yang terbaik untuk Kangjeng Gusti, semua akan berjalan lancar. Anda jangan kahwatir ya."

Remaja laki-laki itu mengangguk, meski wajahnya yang cemas sama sekali tidak mereda, namun dia mencoba percaya pada kemampuan Hera dan Sean Aldarict—dua dokter yang telah diakui oleh Internasional.

"Baik, dokter. Matur nuwun."

Hera menegakan tubuhnya dan mendekati Sean di belakang yang sedang menatapnya dengan wajah tersenyum.

"Kalau begitu, kami permisi Gusti Raden Mas." Pamit Sean, lalu menunduk kemudian meninggalkan ruangan itu bersama Hera.

"Lelah sekali." Hela Hera sambil merentangkan tangannya ketika masuk ke lift menuju lantai tiga.

Dia bersandar pada dinding lift, sementara Sean menatapnya seolah-olah Hera baru saja melakukan hal dermawan dari hal paling dermawan yang pernah dia lihat.

"Kenapa?" Tanya Hera bingung.

Sean menggeleng, tidak menjawab.

"Ohya apa anda sudah punya janji untuk makan siang, dokter?" Hera teringat, ketika lift terbuka dan mereka sampai di lantai tiga.

"Sudah." Jawab Sean.

Hera mengernyit. "Dengan siapa?"

"Ada tiga orang wanita, dan sepertinya mereka sedang menunggu saya."

"Ck!"

Hera berdecak sebal, meninggalkan Sean dan mempercepat langkahnya menuju ruangan kerjanya di ujung lorong.

Ketika masuk ke ruangan, Hera menghampiri locker di dekat kamar mandi. Mengambil kemeja yang dia gunakan tadi pagi, lalu membuka baju OK yang dia kenakan, sama sekali tidak peduli bahwa Sean yang mengikutinya tiba-tiba menutup pintu ruangan serta menguncinya dari dalam.

"Apa anda mau saya membatalkan janji saya, dokter?"

Sean berbisik di belakang Hera, lantas memeluk pinggangnya dan menyandarkan tubuhnya pada tubuh atas istrinya itu yang tidak tertutup apapun selain pakaian dalam.

"Anda kan sudah berjanji untuk makan siang setiap hari senin hingga rabu hanya dengan saya. Apa anda sudah lupa?" Hera menuntut kesal.

Sean tersenyum dengan setengah bibirnya.

"Tidak sayang, aku tidak lupa. Tapi tiga wanita itu yang memaksa. Mereka sedikit keras kepala belakangan ini, karena itu aku tidak punya pilihan."

"Kau membuat alasan."

"Aku serius, mereka akan menghubungiku setengah jam lagi."

"Kalau begitu pergi saja sana, aku tidak mau makan siang denganmu lagi."

"Kau yakin?" Sean membujuk, dia mengecupi leher Hera tidak sabaran, tangannya mulai turun ke dalam celana kain milik Hera.

"Lepaskan aku."

"Tapi aku kelaparan."

Sean menarik wajah Hera untuk menghadapnya setelah itu, dia meraup bibir istrinya penuh-penuh lalu tidak sabaran membalikan tubuh Hera, mendorongnya pada dinding dan memperdalam ciuman mereka.

Hera tidak menolak, dia justru membalas ciuman Sean dengan sama tidak sabarnya. Mengalungkan tangannya pada leher Sean, memeluk bahu pria itu dengan erat dan mengambil lebih banyak dari ciuman panas mereka.

"Apakah boleh?" Izin Sean, disela-sela ciuman mereka.

Suaranya memberat, tergerus oleh hawa panas diantara mereka yang mulai menggila.

Hera melengguh. " Nanti kita jadi harus mandi."

Sean menarik pinggang Hera, menipiskan jarak yang ada diantara mereka, lalu menjatuhkan ciumannya pada rahang dan leher Hera. Menyesap dengan kuat, untuk menciptakan beberapa tanda kemerahan yang membuat Hera hilang akal.

"Tidak masalah, aku bisa memandikanmu."

Sean menawarkan, mereka berdua lalu tenggelam dalam percumbuan yang tergesa-gesah dan tidak mau menunggu, kelaparan dan kehausan, membuai dan saling bersentuhan, lalu berakhir dengan desahan napas yang tidak beraturan serta tubuh menyatu yang saling berpelukan erat.

"Papa!"

Suara ketukan yang mengintrupsi kegiatan mereka sejak beberapa saat lalu berganti dengan teriakan dua orang anak perempuan kecil yang terdengar marah.

Hera yang masih bersandar pada dinding karena tidak bertenaga, mencoba menyadarkan akal sehatnya.

Dia mendorong bahu Sean yang sedang memeluk tubuh polosnya, menatap wajah pria itu bingung dan sekali lagi terkejut dengan ketukan dan teriakan dari balik pintu ruangannya.

"Papa, Mama... Oma bilang kalian ada di dalam. Cepat buka pintunya, kami sudah lapar!"

"Mereka orang yang membuat janji denganmu?" Tanya Hera, setelah berhasil menguasai dirinya.

Sean tersenyum, tanpa merasa bersalah mengangguk, "Iya."

Dia melumat bibir istrinya sekali lagi kemudian memundurkan diri. Memperbaiki celana serta penampilannya dengan cepat, lalu mengambil pakaian Hera yang berserakan di lantai.

Sean membantu Hera berpakaian, setelah penampilannya menjadi lebih layak, Hera memukul bahu Sean dengan kesal.

"Dasar jahat, kenapa kau tidak bilang? Aku jadi cemburu dengan anakku sendiri." Bisik Hera sewot.

Sean tertawa. "Karena aku suka melihatmu cemburu."

Meraih pinggang istrinya lagi, dia mencium bibir Hera dengan kuluman serakah yang seakan tidak pernah cukup.

"Lepaskan aku." Sungut Hera, dengan kuat mendorong bahu Sean.

Wanita itu berjalan menuju pintu, membukanya dan langsung tersenyum melihat dua gadis kecil, seorang bayi dan satu orang wanita senja menyambutnya dengan teriakan girang.

"Mama!"

Hera menundukan tubuhnya dan segera memeluk dua gadis kecil itu erat.

"Halo Tuan Putri Sera, Halo Tuan Putri Louisa." Ujar Hera sambil menciumi pipi kedua anaknya dengan gemas.

Sera Aldarict anak pertamanya, dan Louisa Aldarict anak keduanya membalas pelukan Hera dengan antusias, namun ketika mencium aroma tidak sedap dari dahi dan juga leher ibunya, mereka dengan cepat memberontak untuk melepaskan diri.

"Ungh, Mama bau keringat." Louisa terang-terangan merengut tidak suka pada Hera.

Hera berdecak. "Memangnya kenapa kalau Mama bau keringat? Dasar anak nakal!"

Anak perempuan berusia delapan serta enam tahun itu langsung tertawa mengejek, mereka kemudian berlari menghampiri Sean yang sudah duduk di sofa ruangan dan tersenyum menyambut mereka.

"Papa!"

"Hai sayang." Sapa Sean lalu memeluk mereka.

Hera menegakan tubuhnya, mempersilahkan ibu mertuanya yang sedang menggendong anak perempuan ketiganya yang berusia tiga tahun untuk masuk ke ruangannya.

"Hai Ma. Halo Hedylie." ujar Hera.

Dia mengulurkan tangan, meminta Hedylie Aldarict dari gendongan Irene dan menciumi pipi anak bayinya itu dengan begitu gemas.

"Apa yang habis kalian lakukan di sini?" Tanya Irene, menatap Sean dan Hera curiga.

"Memangnya apa yang bisa kami lakukan di sini?"Hera menendikan bahu, berpura-pura tidak sadar kecurigaan mertuanya.

"Kami yah sedang bekerja Ma, kami baru membahas literature baru yang sedang dibuat Sean."

Irene berdecak geli. "Pembahasan seperti apa yang membuat leher kamu sampai merah-merah?"

Hera terkejut, "Itu..."

Irene langsung tertawa lebar. "Sepertinya Mama akan dapat cucu lagi tahun ini."

Wajah Hera memerah kepalang malu, dia mengalihkan wajahnya ke arah lain. Sementara Sean tidak terlihat terganggu, sudah biasa digoda ibunya.

"Jika Mama mendapat cucu perempuan lagi. Mama akan membuat mereka menjadi girlband." Canda Irene.

Hera mendengus, duduk di sofa yang berjauhan dengan Sean. "Janganlah Ma, Hedy baru 3 tahun. Masih kecil. Aku dan Sean sepakat menunda hamil dulu."

Irene ikut duduk, wanita senja itu memilih single sofa di hadapan Sean, menyandarkan tubuhnya kemudian menatap anak dan menantunya jahil.

"Loh kenapa? Kalian juga dapat Loui saat Sera baru 2 tahun. Mama senang kalau kalian punya anak lagi."

Hera cemberut. "Ma!"

Irene tertawa. "Tidak apa-apa Hera, Mama juga pingin punya cucu lagi. Biar rumah sekalian rame. Masa hanya teman-teman Mama saja yang cucunya banyak, Mama kan juga mau. Jadi kalau ada acara arisan Mama bisa cerita cucu-cucu Mama yang banyak."

"Ma!" Hera merajuk.

"Anak laki-laki tidak apa-apa, tapi kalau bisa anak perempuan lagi ya, Ra. Soalnya Mama lebih suka anak perempuan. Mereka ramah, baik, manis, tidak seperti Papa-nya yang sejak kecil suka buat Mama sakit kepala."

"Maamaaa!"

"Ihh!" Louisa tiba-tiba berteriak, menunjuk ke leher Sean dengan ekspresi geli. "Kenapa ada lipstick Mama di leher Papa? Papa belum mandi ya? Kemarin malam juga ada lipstick Mama di leher Papa."

Sean yang sejak tadi hanya menanggapi celotehan anak sulungnya terkejut.

"Ohya? Loui lihatnya di mana?" Tanya Sean malu, mengusap-usap lehernya untuk menghilangkan lipstick yang ditunjuk anak keduanya.

"Di sini. Ihh di sini juga ada!" Louisa menunjuk leher samping Sean, kemudian sudut bibirnya.

Sera yang biasanya selalu bersikap tenang, berdiri, ikut-ikut melihat tempat yang ditunjuk Louisa penasaran.

"Kok ada bekas gigitan juga di leher Papa?" Tanya Sera dengan begitu polosnya. "Kemarin malam tidak ada. Apa Mama menggigit Papa?"

Sean nyaris tersedak padahal tidak meminum apa-apa, dan Hera luar biasa terkejut mendengar perkataan anak sulungnya. Tidak bisa menjawab.

Irene menimpali. "Kalian tahu kenapa ada gigitan di leher Papa kalian? Karena Mama kalian itu sayaaaannng sekali dengan Papa kalian, jadi karena sayang, Mama kalian suka menggigit Papa kalian."

Sean dan Hera serempak protes.

"Loh?" Louisa memiringkan kepala kecilnya bingung. "Tapi kata Mama, kalau sayang sama orang lain itu dicium pipinya Oma, memangnya boleh ya kalau sayang jadinya digigit? Sakit dong?"

Tawa Irene pecah, jam istirahat kerja siang itu akhirnya dihabiskan dengan godaan dari Irene yang tidak ada habisnya. Sera dan Louisa yang bermain kejar-kejaran setelah makan siang, Hedylie yang akhirnya tertidur dipelukan ibunya, serta Sean yang masih sangat mencintai Hera... dan mungkin, sedang memikirkan keinginan Ibunya yang tadi pura-pura dia abaikan.

***
Enjoy!

PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronik) : Peradanhan paru yang jangka waktu panjang, karena aliran udara dari paru-paru terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga penderitanya sulit bernapas.

Endotracheal tube / intubasi : tidakan pencegahan perhentian napas pasien selama operasi dengan memasukkan pipa jalan napas buatan ke dalam trachea melalui mulut.

ventilator : mesin yang berfungsi memasukkan oksigen ke paru-paru, dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.

Pneumonektomi : tindakan operasi yang bertujuan untuk mengangkat seluruh bagian paru-paru (bisa hanya khusus semua bagian paru-paru sebelah saja / kedua-duanya)

Sternotomy median : Jenis prosedur pembedahan di mana inline insisi (garis potong) vertikal dibuat sepanjang sternum (tulang dada) atau tulang bagian tengah dada yang terhubung ke tulang rusuk.

Bovie : alat potong elektronik yang dirancang untuk digunakan dalam kegiatan pembedahan.

palpasi : pemeriksaan menggunakan tangan atau jadi-jari operator tanpa melibatkan instrumen.

main bronkus : saluran utama pernapasan yang menjadi penghubung trakea serta paru-paru.

arteri pulmonalis : pembuluh darah yang membawa darah dari ventrikel kanan jantung ke paru-paru.

vena pulmonalis : vena yang membawa darah kaya oksigen dan membawa darah dari paru-paru ke atrium kiri jantung.


With love.
Nambyull.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 164K 40
(TAMAT) Tidur berdua sama sahabat cowok? Why not? Tapi beneran tidur loh ya, bukan tidur abal-abal. Cium temen sendiri? Why not? Vezia dan Keanu, sep...
2.3M 252K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
15K 822 81
Selama 6 tahun, Alex Grey harus menahan rasa kecewa dan amarahnya. Menganggap bahwa dia akan kehilangan seorang yang dia cintai, Alaia Dean, untuk se...
901K 43.6K 46
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...