at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Chapter 68

48.5K 4.9K 665
By nambyull

Vote and comment please.
***

Sean memberikan salah satu air mineral yang di belinya dari vending mechine di dekat lorong menuju halaman fate bene fratelli hospital kepada Hera yang terlihat tidak mau membuka perkataan apapun, dan sedang duduk di salah satu bangku panjang halaman rumah sakit.

Sean lalu segera duduk di sebelah Hera, tidak mendekati wanita itu, dia memberikan jarak yang cukup agar wanita itu tidak risih dengan keberadaannya serta pertemuan mereka yang tiba-tiba seperti ini.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Sean canggung.

Dia mengalihkan tatapannya menuju pemandangan di halaman rumah sakit, yaitu jembatan Ponte Cestius yang terlihat begitu indah karena telah disinari lampu jalan malam ini.

"Aku baik-baik saja." Jawab Hera pelan.

"Syukurlah."

Sean meneguk air minum miliknya sendiri kemudian mengangguk dengan wajah tenang, mencoba untuk bersikap berhati-hati agar Hera tidak merasa lebih terganggu setelah Sean meminta menemaninya jalan-jalan untuk membicarakan sesuatu beberapa saat lalu, padahal Sean tahu Hera sama sekali tidak ingin bertemu dengannya.

Sean tidak mengatakan apapun selama berberapa saat, tidak ada yang membuka suara atau percakapan setelah sapaan singkat barusan, mereka terjebak dalam pikiran masing-masing karena masih terkejut dengan pertemuan mereka.

"Maafkan aku tiba-tiba datang ke sini." Kata Sean setelah menarik napas, tidak sadar telah meremas air minumnya.

"Aku tidak bermaksud mengganggumu, aku benar-benar tidak tahu kalau kau ada disini. Pihak IDI memintaku untuk datang dan menjadi pembicara dalam workshop yang diadakan WMA* (World Medical Association) disini."

Hera mengangguk tanpa menoleh pada Sean.

"Iya."

"Ada banyak sekali hal yang ingin sekali aku katakan, tapi kepalaku tiba-tiba saja kosong saat melihatmu." Sean tersenyum pelan.

"Sudah lama sekali Hera. Aku mencarimu kemana-mana."

Dia menunduk dan remasannya pada botol minumannya mengerat.

"Maafkan aku atas segalanya... tapi ku mohon jangan kahwatir, aku tidak akan memaksamu untuk kembali padaku. Kau berhak atas pilihanmu, aku yang bodoh selalu memaksakan kehendakku padamu." Kata Sean dan dia merasa mulutnya menjadi keluh setelah mengatakan itu.

Hera masih berusaha tidak menanggapi apapun perkataan pria itu seperti keinginan awalanya, namun dia tidak bisa, sama sekali tidak bisa untuk diam saja mendengarkan perkataan seenaknya yang baru saja diucapkan pria itu.

"Tidak akan memaksaku untuk kembali padamu?" tanya Hera.

Dia mengangkat bibirnya sedikit untuk tersenyum mencemooh, lalu menoleh pada Sean.

"Dua bulan. Apa kau tidak merasakan apa-apa setelah aku meninggalkanmu selama dua bulan sehingga kau bisa mengatakan hal itu seolah kau baik-baik saja dengan perpisahan kita?"

Hera kemudian tertawa kecil, merutuki dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh selama ini.

"Aku hampir mati karena merindukanmu disini, tapi kau bahkan tidak mau memaksaku untuk kembali padamu?" Kata Hera.

"Apa kau benar-benar mencintaiku? Apa pernyataan cinta yang kau katakan dua bulan lalu, kau katakan hanya karena kekasihmu  hampir mencelakai ku dan membunuh anakku?"

Sean mengangkat wajahnya dan melihat Hera sangat lekat, kata-kata wanita itu benar-benar membuatnya terkejut sekaligus tersinggung.

"Apa kau pikir aku mau mengatakan itu?" Tanya Sean marah.

Dia menggeram, masih mencoba mengendalikan dirinya sendiri untuk tetap tenang agar tidak mengejutkan Hera.

"Kau mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Aku hampir kehilangan kewarasanku karena aku menginginkanmu, aku begitu mencintainmu, dan aku seperti akan mati setiap hari karena terus merindukanmu dan memikirkanmu." Ujar Sean, dia menggertakan rahangnya.

"Kau pikir kenapa aku mengatakan itu? Karena kau kabur dariku Hera, kau menipuku, kau berbohong dengan mengatakan akan memberikanku kesempatan memperbaiki semuanya padahal kau hanya ingin menciptakan luka besar padaku setelah kau meninggalkanku!!"

"Kau tidak—"

Sean tercekat, "Kau tidak peduli padaku, kau tidak peduli bagaimana aku terus menyalahkan diriku atas kepergianmu."

Wajah dan tatapan pria itu berubah putus asa, "Aku mencarimu kemana-mana seperti orang gila, tapi tidak ada yang membantuku. Keluargamu, teman-temanmu, bahkan keluargaku... mereka semua menyembunyikan keberadaan mu dan tidak ada yang membiarkanku mencarimu seakan kau tidak menginginkanku lagi."

Sean menghembuskan napasnya kuat-kuat lalu kembali menunduk, meredam amarahnya atas apa yang terjadi pada mereka berdua, pada hubungan mereka, pada pernikahan mereka, serta pada takdir bodoh yang sudah membuat mereka saling menyakiti seperti ini.

"Aku tidak pernah bercinta dengan Aileen." Kata Sean berterus terang.

Sebelum semuanya jadi lebih kacau, dia ingin menjelaskan apa yang bisa dia jelaskan pada Hera.

"Satu kalipun. Aku tidak pernah bercinta dan berciuman dengan Aileen, kami hanya makan malam bersama karena dia memintaku menemaninya, lalu aku kembali ke rumahku. Aku tidak pernah menginap di rumahnya."

"Penolakanku pada pernikahan kita juga bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku terlalu pengecut untuk mengakhiri hubunganku dengan Aileen, aku takut menyakitimu."

Sean mengangkat kepalanya, lalu menoleh pada Hera dengan begitu frustasi.

"Namun aku sungguh-sungguh mengatakan sumpah pernikahan kita. Aku sungguh-sungguh ingin menjadikan mu istri dan pasangan seumur hidupku. Melindungimu dan akan menjadi satu-satunya orang yang berada disismu sampai hanya maut yang memisahkan kita, Hera."

Sean menatap Hera dalam, "Aku juga serius saat mengatakan aku ingin memperbaiki semuanya. Kau boleh menyuruhku menunggu sampai kapan pun, menyakitiku, mengabaikanku, mempermainkanku dan melakukan segala hal untuk membuatku membayar kesalahanku... tapi bukan meninggalkan ku, Hera. Jangan mencampakanku saat aku telah memutuskan untuk melangkah padamu."

Suara Sean merintih, kelelahan, seolah dia baru dipaksa menelan banyak pil pahit sebagai balasan atas kebodohan yang telah dia lakukan selama ini.

"Aku sudah memberitahumu bahwa aku takut kau akan memperlakukanku seperti Aileen, aku takut saat aku memberikan hatiku dan harapanku padamu aku akan di campakan lagi... dan benar saja, kau tetap melakukan hal itu padaku, kau tetap membuangku, kau tidak pernah membalas perasaanku, Hera."

Tatapannya pada wanita yang begitu ingin dia temui, begitu ingin dia lihat, begitu ingin dia rasakan kehadirannya selama beberapa bulan ini hingga dia terus saja menyiksa dirinya untuk mempertahankan akal sehatnya, menjadi melemah.

Dia mencoba bernapas, "Lalu apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat sekarang?"

Hera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat mendengar semua itu.

Meski egonya menolak, namun Sean benar, perkataannya benar... Sean sudah memberitahu Hera bahwa dia ketakutan melangkah dan memantapkan hatinya pada Hera karena trauma yang diberikan Aileen terlalu membekas padanya.

Tapi Hera tetap mempermainkan pria itu, dia berkata memberikan kesempatan untuk Sean memperbaiki diri, tapi semua itu tidak lebih dari salam perpisahan yang dia siapkan karena egonya yang terlalu tinggi.

Hera tidak mau kalah.

Hera tidak mau mengalah.

Hera tidak mau menerima kalau Sean dari awal bukan miliknya, meski Sean mengatakan bahwa sekarang dia telah mencintai Hera.

Hera tidak mau mencoba merima bahwa Sean memiliki masa lalu dan wanita lain yang menjalani hubungan dengannya... lalu menyalahkan Sean seperti wanita bodoh yang bersikap posesif tanpa mau membuat dirinya sendiri mencoba mengerti dan introspeksi.

Sudah sejak kapan? Hera bertanya pada dirinya.

Sudah sejak kapan semua kesalahan ini berlangsung?

Apakah sejak percintaan mereka? Apakah sejak ciuman pertama mereka? Atau sejak pertemuan pertama mereka dimana Hera menginginkan Sean untuk bertekuk lutut dihadapannya?

"Apa kau sangat ingin bercerai denganku?" Tanya Sean begitu lemah.

Hera terkejut.

"Aku tidak akan menahanmu lagi, Hera. Aku tidak mau kau terluka dalam hubungan kita karena kau benar, hubungan ini tidak sehat. We're hurting each other." Pria itu lagi-lagi tersenyum getir.

Dia berdiri, melepaskan mantel coklat panjang yang dia kenakan kemudian menyampirkannya di bahu Hera seraya berlutut, menyamakan tinggi tubuhnya dihadapan wanita itu.

"Maafkan aku." kata Sean, meminta izin.

Lalu tiba-tiba saja memajukan tubuhnya, memegang lengan atas Hera pelan, dan mengecup dahi wanita itu begitu lama.

Menghirup aroma segar yang menguar dari rambut wanita itu, membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam euforia pertemuan mereka dengan denyut jantung yang menggila karena sudah begitu lama merindukan.

"Kau pasti sudah lelah denganku." bisik Sean saat memundurkan tubuhnya.

Dia mengusap kepala Hera dengan hati-hati, wajahnya meredup, "Keputusanmu sudah benar, kita memang harus melepaskan satu sama lain karena pernikahan ini tidak membuat apapun selain rasa sakit."

Pria itu tersenyum lebar, cukup untuk menutupi fakta bahwa dia telah mempersiapkan dirinya sendiri jauh-jauh hari, dari kehancuran yang sebentar lagi akan dia terima.

"Aku akan menandatangani surat perceraian kita."

***

Hera masuk ke ruang rawat Arghie yang telah dipindahkan ke ruang VVIP pada pukul sembilan.

Argie sudah tidur hingga hanya Galaksi saja yang menoleh saat Hera dengan langkah perlahan-lahan berjalan masuk.

Wajahnya pucat, tatapannya kosong dan dia mengenakan mantel coklat panjang yang bukan miliknya sehingga Galaksi langsung mengerutkan dahi, cukup terkejut.

"Aku akan pulang." kata Hera sebelum Galaksi mengatakan apapun.

"Dari mana saja kau? Kau tidak apa-apa?" tanya Galaksi, menghampiri Hera.

Hera tersenyum lemah kemudian mengangguk, "Hum."

"Kenapa wajahmu pucat seperti itu? Apa kau kelelahan? Aku akan mengantarmu pulang—"

"Tidak." Sela Hera.

Dia menggeleng-gelengkan wajahnya, "Aku tidak apa-apa Galaksi, aku hanya kelaparan karena belum makan malam. Aku akan naik taxi dan pulang, kau sudah mengisi bahan-bahan makanan di kulkas kan?"

"Tapi Hera—"

"Kau temani Arghie disini saja ya. Dia pasti akan kesulitan jika tidak menemukanmu saat bangun nanti." kata Hera lagi, sejujurnya dia sedang tidak ingin berhadapan dengan siapapun saat ini.

Galaksi menghela, tidak menbantah ataupun mengiyakan perkataan Hera. Dia hanya terus menatap wanita yang tiba-tiba saja tampak bungkam itu dengan tatapan bingung.

Meski dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia benar-benar yakin, hal yang buruk pasti baru saja terjadi pada Hera.

"Aku akan baik-baik saja." Ujar Hera meyakinkan.

"Sampaikan salamku pada Arghie ya. Selamat malam, Galaksi."

Hera mengambil tasnya di nakas yang dia telah dibawa Galaksi ke ruangan ini, lalu berbalik menuju pintu.

Langkahnya tertatih, dan saat berada di depan pintu tahu-tahu pertahanannya menjadi hancur.

Tubuhnya nyaris terjatuh, dan untung saja Galaksi yang sudah sejak tadi mengikuti langkah Hera dengan sigap menahan tubuh wanita hamil itu.

"Demi Tuhan, apa yang terjadi padamu? Kenapa badanmu gemetaran seperti ini?" Teriak Galaksi yang begitu kahwatir tanpa sadar.

Dia segera membawa Hera menuju sofa dan mendudukannya.

Hera tidak memberikan reaksi apapun selain mencoba bernapas dengan benar, meski dia sama sekali tidak mampu. Jantung dan paru-parunya menjadi sangat sesak.

"Galaksi... Apa aku sudah baik-baik saja?" Tanya Hera dengan suara lemah yang terdengar begitu putus asa.

Melupakan bahwa dia dan kehamilanya hampir saja celaka beberapa saat lalu, karena dia bahkan tidak bisa berpikir dengan benar saat ini.

Galaksi menghela, lalu mengusap kepala Hera dengan pelan.

"Kau akan baik-baik saja."

Hera terdiam, dia menggigit bibir bawahnya keras-keras untuk menahan air mata yang sejak tadi mendesak keluar dari pelupuk matanya, setelah pria yang dia temui beberapa saat lalu mengatakan hal yang begitu membuatnya kesakitan—perceraian mereka.

"Dia disini." Bisik Hera, lalu air matanya berhasil menerobos sisa pertahanan yang dia miliki.

"Sean... dan dia menyetujui perceraian kami."

***
With love.
Nambyull

Continue Reading

You'll Also Like

3.7M 277K 36
Padma Asia Ardento. 27. Chef. "Apa kamu masih mencintainya?" Asia terpaku mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Mbak Manda, seorang konsult...
2.1M 17.3K 5
((BACA VERSI LENGKAPNYA DI APP DREAME : MIMIFAIRY, thanks)) "Kita sudah pernah ciuman sebelumnya, Na," ucap Jeka yang menatap gadis berambut sebahu i...
7.7K 782 31
Tentang petrichor. Bukan tentang angin yang berkejaran dengan daun dan debu. ditengah dahaga para beringin tua. saat hujan datang yang seolah menyura...
183K 12.2K 26
"Gak capek apa, musuhan mulu kita?" tanya seorang remaja bernama Kaishakar Jeananta Leonard pada laki-laki disebelahnya. "Enggaklah, kan musuhannya...