at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Chapter 48

44.2K 4.8K 1.2K
By nambyull

Vote and comment please.
***

          Aileen melihat hamparan ilalang yang dipenuhi warna putih serta hijau di depannya dengan perasaan bahagia.

Dia lalu berjalan masuk dalam rerumputan itu tanpa ragu sama sekali, melangkah lebih jauh menuju ke tengah hamparan ilalang dan begitu saja terkejut saat berjumpa dengan anak perempuan cantik dalam mimpinya yang sangat dia sukai, tahu-tahu berada di sana.

Berdiri dan menatap Aileen dengan tatapan dingin.

Aileen segera menghampirinya, duduk berjongkok dihadapannya untuk menyamakan tinggi mereka dan membalas tatapannya anak itu dengan begitu senang.

"Hai, sayang." sapa Aileen.

Wajah anak perempuan itu berkerut sebal.

Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan terlihat merajuk.

"Aku tidak mau dipanggil sayang sama Tante." kata anak perempuan itu dengan suara anak berusia sekitar tujuh atau delapan tahunan.

Ailen terkejut, "Loh kenapa? Tante buat salah sama kamu ya?"

"Iya, Tante buat Papa sedih."

"Papa?"

Anak perempuan itu mengangguk dengan wajah yang justru sangat menggemaskan, "Tante buat Papa tidak bisa tidur dan makan. Tante buat Papa jadi sedih."

Aileen menggenggam tangan anak itu, tidak terima.

"Apa maksud kamu, Tante tidak buat Papa kamu sedih. Tante selalu baik sama semua orang." Ujar Aileen membela diri.

Dia tidak ingat pernah besikap jahat pada orang belakangan ini.

"Bohong!" tuduh anak itu.

"Buktinya Tante sudah buat Papa sedih, aku tidak mau lagi berteman sama Tante."

Aileen menggeleng sedih, "Tidak, sayang jangan tinggalkan Tante. Tante tidak mau kamu pergi."

"Tidak. Aku tidak mau lagi ketemu Tante selamanya. Tante jahat! Tante egois!"

Aileen mendadak panik, bukan hanya karena kemarahan anak itu, namun eksistensi anak perempuan yang disukainya itu tiba-tiba saja menjadi pudar, membuat Aileen sangat terkejut.

Dia berteriak histeris, "Tidak, maafkan Tante sayang. Jangan tinggalkan Tante!

Tapi anak perempuan itu sudah lebih dulu memalingkan muka dan menghilang dari hadapan Aileen.

"Tidak! Tidak!"

Aileen memekik, lalu hamparan ilalang di hadapannya ikut pudar seperti anak perempuan itu... nyaris menghilang, hingga Aileen mendadak tertarik menuju tempat yang begitu gelap, kemudian dia tersentak bangun dari tidurnya.

Napas Aileen terengah.

"Nyonya Aileen? Anda tidak apa-apa?!" Helen bertanya dengan panik.

Aileen mengabaikannya, dia menoleh kesekitar dan kebingungan setengah mati tidak menemukan hamparan ilalang dan anak perempuan itu di kamarnya.

"Dimana anak itu? Dimana anak perempuan itu? Dia tidak boleh meninggalkan aku. Dia tidak boleh pergi dariku." Ujar Aileen gelisah.

Helen memegangi bahunya.

"Nona Aileen tenanglah."

Aileen menggeleng dengan keras, "Tidak mau! Aku mau anak perempuan itu. Aku mau anak itu terus bersama ku. Dia tidak boleh meninggalkan aku."

Mina dibelakang Helen dengan terburu-buru mengambil obat bius di dalam nakas dekat kasur Aileen. Menyuntikan obat tersebut pada lengan nyonya mereka yang masih panik, dan membuat Aileen perlahan-lahan tenang.

"Helen, cari dia." Kata Aileen pelan, kesadarannya mulai melemah.

"Cari anak perempuan itu sampai.... ketemu."

Aileen tertidur beberapa saat kemudian, hingga Helen dan Mina lantas menghembuskan napas lega.                                                 

"Mina, tolong kabari dokter Faisal kondisi nyonya Aileen. Bilang juga kita menberi obat bius padanya." Ujar Helen, dia membaringkan Aileen kembali ke tempat tidurnya.

Mina mengangguk, "Baik."

"Apa tuan Roan Aldarict diberi tahu juga?"

"Iya."

***

Suasana Welfare hospital siang itu kembali kooperatif. Sudah dua minggu sejak insiden wakil direktur rumah sakit sekaligus dewan kehormatan external rumah sakit yang baru pingsan dihari penobatannya ramai dibicarakan dan membuat banyak orang kahwatir.

Sekarang pria yang selalu bersikap dingin itu sudah kembali bekerja, meski Irene Aldarict yang telah resmi menjadi kepala yayasan yang baru menggantikan Romeo Arvino memberikan perintah bahwa pria itu hanya boleh melakukan satu kali operasi sampai masa penyembuhannya selesai, tapi itu sudah cukup.

Setidaknya Sean bisa terlepas dari ibunya yang selalu mengomentari nafsu makannya yang buruk dan terus menyuruhnya istirahat.

Sean tengah berjalan menuju ruang IGD (*Instalasi gawat darurat), hendak bertemu dengan dokter Daniel spesialis bedah traumatologi* untuk membicarakan jurnal yang akan mereka tampilkan dalam perayaan hari medis nasional tahun ini.

Pekerjaan pertama Sean sebagai wakil direktur rumah sakit yang baru, adalah menjadi ketua panitia pelaksana perayaan hari medis nasional yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.

Dia sudah mempersiapkan segalanya dari bulan lalu, dan karena ada banyak dokter dari rumah sakit lain yang ikut menjadi panitia, persiapan acara sudah hampir selesai.

"Selamat siang dokter Sean."

Sean mengangguk sopan saat membalas sapaan para perawat yang berpapasan dengannya ketika memasuki ruang IGD.

Para koas yang sedang berjaga di dekat meja perawat registrasi tahu-tahu ikut menoleh padanya seperti refleks, hingga Sean dengan cepat berjalan menuju ruangan dokter Daniel di ujung ruang IGD untuk menghindar.

Dia bukan tidak suka dengan para dokter koas yang bekerja di bagian sini, tapi Sean tidak suka dengan keramaian, karena itu sejak dia mulai bekerja lagi setelah cuti satu tahun, Sean lebih memilih menghindar datang ke bagian ini dan bekerja hanya pada daerah bedah umum.

Dokter Daniel tidak ada ditempat.

Sean bermaksud untuk menghubunginya, namun sebuah pesan dari dokter Daniel yang mengatakan dia sedang berada di parkiran dan akan segera menuju ke sini, membuat Sean lantas meletakan ponselnya kembali dan duduk di sofa ruangan itu menunggu.

"Jangan bercanda. Aku belum mendengar kabar itu tahu! Haha..."

Ruangan dokter Daniel tidak kedap suara.

Suara dan tawa khas wanita yang sangat Sean kenali dari luar ruangan membuatnya spontan menoleh ke balik pintu kaca ruangan ketua bagian IGD ini, dan begitu saja menemukan Hera Travoltra sedang berdiri di dekat ruang istirahat para dokter jaga, sedang berbicara dengan dua orang dokter wanita yang Sean pikir adalah kenalannya.

Mereka tengah membicarakan sesuatu, tapi Sean tidak bisa fokus karena perasaan lega setelah sekian lama tidak melihat wanita itu mendadak membuncangnya, membuat Sean terpaku dan tidak bisa melakukan apapun.

Hera menghindarinya selama satu bulan lebih.

Dan meski Sean sudah menerima laporan bahwa Hera memang datang ke hari penobatannya dan melihat dia pingsan, tapi wanita itu bahkan tidak pernah satu kali pun datang membesuk Sean ke ruang rawatnya.

Seolah mereka tiba-tiba saja menjadi dua orang asing yang tidak mengenal lagi, setelah kejadian itu.

Hera mencampakannya.. sama seperti dia yang melepaskan cekalan tangan wanita itu saat di kolam renang.

"Aku tahu. Katanya pertemuan mereka lucu sekali kan, bisa-bisanya mereka bertemu di—"

"Dokter tolong!!"

Teriakan wali pasien, suara berdebum dan para perawat yang langsung berlari menuju pintu masuk IGD membuat Hera otomatis menghentikan pembicaraan pada temannya dan menoleh ke arah sana.

"Dokter."

"Apa yang terjadi?"

Seseorang dari dokter koas bertanya pada wanita yang merupakan wali pasien pria berumur pertengahan tiga puluh yang jatuh sambil memegangi dadanya di pintu masuk tadi.

Dokter koas itu mencoba memukul bahu pasien dan memanggil-manggilnya.

Para perawat sudah mengangkat pasien itu ke ranjang dan dengan panik menatap dokter koas untuk menunggu tidakan.

Wali pasien itu gemetaran, dia mengepalkan tangannya di depan dagu, mencoba berbicara.

"S-suami saya mengeluh demam dan sesak napas sejak tadi malam dokter, saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia tiba-tiba pingsan saat masuk ke tempat ini. T-tolong selamatkan suami saya dokter." Kata wanita  ketakutan.

Para perawat langsung memeriksa denyut jantung dan napas pasien.

"Tidak ada napas dan denjut jantung, dok."

Salah seorang perawat menjawab dengan panik.

Dokter koas itu mendengus, "Sialan! Apa gagal jantung?!"

Dalam situasi tegang yang sedang terjadi di sana, seseorang tahu-tahu mendorong bahu dokter koas itu dan berteriak dengan kesal.

"Minggir!"

"D-dokter Hera."

Dokter koas itu terkejut menatap Hera yang sudah memindahkan kepala pasien untuk turun dari bantal, membuat tubuh pasien sejajar dengan kasur dan mendongakan wajah pasien untuk membebaskan jalan napasnya.

"Kau harus lakukan CPR* dulu bodoh!" geram Hera.

Dia mengepalkan kedua tangannya pada pertengahan dada pasien, melakukan kompresi (*penekanan) dengan lengan sejajar sedalam 2 inci selama tiga puluh detik, lalu para perawat dengan sigap memegangi dagu pasien, menggunting baju pasien untuk mengurangi  ketat yang berpotensi memperlambat aliran darah dan memberikan bantuan pernapasan menggunakan bag valve mask resuscitation*.

"Siapkan intubasi* dan alat kejut jantung dalam tiga menit." Perintah Hera, dia masih memberikan kompresi pada dada pasien.

"Baik dok."

Tiga orang perawat segera pergi dari bangsal itu dengan tergesa-gesa.

"Ini intubasi-nya dok."

Tidak lama, salah seorang perawat tadi kembali membawa salah satu ha yang diperintahkan Hera.

"Buka jalan napasnya." Kata Hera langsung.

"Baik dok."

Intubasi itu dimasukan ke dalam tenggorokan pasien melalui mulut, membuat lidah pasien tertahan, dan membuka jalur napas pasien langsung ke saluran paru-paru.

Hera menggeram.

Meski setelah bantuan dasar itu, denyut jantung pasien masih belum juga terasa.

"Ayolah!"

Napas hera mulai terengah-engah, dia menggigit dalam mulutnya kuat-kuat menahan tenaganya yang kelelahan karena kompresi-nya mulai melambat padahal belum ada perkembangan signifikan dari kondisi pasien.

Wali pasien yang melihat itu menangis histeris, dua orang perawat dari meja registrasi segera memeganginya untuk menenangkan.

"Dimana alat kejut jantungnya?!" Hera berteriak.

Dua kali bantuan napas setiap 30 kali kompresi, Hera sudah melakukan CPR selama empat menit lebih sampai dua perawat datang akhirnya membawa alat kejut jantung dan membuat Hera bisa bernapas sedikit lega.

"Langsung charge!" kata Hera.

Para perawat itu mengangguk, menempelkan kabel pacu pada dada kiri pasien, mengisi daya listri pada alat kejut jantung kemudian meletakan gel pelumas pada kedua lead* alat itu.

"Dokter Hera."

Hera menghentikan kompresi-nya, mengambil lead yang diberikan perawat, lalu mundur sedikit dari ranjang.

Dia dengan cepat menggosok kedua lead dan meletakannya di tengah serta samping dada kiri pasien.

"Oke, shot!"

Tubuh pasien terlonjak.

Namun tidak ada tanda-tanda denyut jantung pasien kembali dalam monitor.

"Fibrilasi ventrikel*! Fuck!" Hera mengumpat.

Dia menyerahkan alat kejut jantung itu pada perawat dan berniat kembali mengepalkan tangannya pada dada pasien untuk melakukan CPR lagi, saat seseorang tiba-tiba menarik lengannya dan membuat tubuh Hera bergeser dari dekat ranjang.

"Brengsek! Apa yang kau—"

"Aku yang akan memberikan CPR-nya."

Sean yang tahu-tahu datang entah dari mana menyela perkataan Hera, kemudian tanpa menunggu izin, langsung menggantikan wanita itu untuk mengkompresi dada pasien.

Hera sejenak terdiam, namun dia langsung menoleh pada monitor memantau irama jantung pasien, meski lagi-lagi irama jantung pasien belum berdenyut.

Hera menggigit dalam bibirnya kuat untuk berpikir cepat.

"Myocarditis *(Peradangan pada lapisan tengah jantung)" desis Hera, seakan tersadar.

"Benar, ini myocarditis. Pria muda yang mengalami demam dan tiba-tiba gagal jantung."

Hera menatap perawat yang berada di tempat itu lekat.

"Pindahkan dia, kita harus melakukan operasi sekarang, kita bisa menyelamatnya menggunakan ECMO*."

Para perawat terkejut, seorang perawat penanggung jawab ragu-ragu berkata untuk membantahnya.

"Tapi dok, untuk menggunakan ECMO kita harus minta izin pada—"

"Aku yang akan tanggung jawab."

Sean lagi-lagi menyela, membuat para perawat langsung mengiyakannya tanpa berkata apapun lagi.

"Baik dokter Sean."

Hera berbalik, menoleh kedua koas yang pertama kali menangani pasien ini dengan tegas.

"Koas Ani, koas Josep dampingi aku operasi, panggil juga tiga perawat lain untuk membantu. Aku akan memimpin operasi kali ini." Ujar Hera.

Mereka segera mengangguk, "Baik dok."

Sean menghentikan kompresinya.

Saat Hera hendak berbalik menuju ruang operasi, Sean dengan napas memburu menahan tangannya.

"Aku akan mendampingimu." Kata Sean.

"Tidak mau. Aku bisa melakukannya."

"Hera"

"Minggir!" Hera mencoba menarik tangannya dari Sean.

Tapi pria itu justru berdiri di depan Hera, memasang badan tepat dihadapan wanita itu, dan dengan wajah keras kepala menatap Hera.

"Aku akan mendampingimu." Kata Sean final.

Membuat Hera menghela namun tidak menjawab ataupun menolak, dia hanya berlalu dari pria itu dan dengan segera menuju ke ruang steril untuk mencuci tangan, mengenakan masker serta baju operasi.

Operasi berjalan lancar.

Seperti dugaan Hera, pasien itu mengalami myocarditis. Penanganan menggunakan ECMO akan membantu pasien melewati masa kritis-nya tadi. Mesin ECMO akan bertugas sebagai jantung buatan sementara untuk memasok oksigen dan membuang karbondioksida dari dalam tubuh pasien.

Setelah ini pasien akan dipantau dalam ruang ICU* lalu segera dialihkan pada dokter jantung untuk rencana perawatan lebih lanjut.

Hera baru selesai menyuci tangan dan membersihkan diri setelah operasi ketika Sean tanpa mengatakan apapun menarik tangannya dan membuat dia mengikuti langkah besar pria itu dengan terpaksa.

"Lepaskan aku!" teriak Hera.

Dia berusaha menarik tangannya.

Namun Sean yang masih tidak menerima bantahan, terus menarik Hera dan hendaak membawa wanita menuju pintu keluar ruang operasi.

"Lepas!"

Hera kembali menarik tangannya, dan berhasil terlepas hingga Sean mendadak menghentikan langkahnya.

Lantas berdiri di hadapan Hera, dan tidak peduli apakah tempat mereka berdebat saat ini—di tengah-tengah lorong akan menarik perhatian orang-orang atau tidak, dia mendorong Hera ke dinding.

"Apa kau sudah gila?!" Sentak Sean.

Hera mengerutkan dahi, bingung.

"Ku tanya apa kau sudah gila?! Kau melakukan CPR dan operasi dengan wajah pucat seperti itu. Apa kau tidak sadar dengan kondisimu? Kau bisa mencelakai dirimu sendiri."

Hera terkejut, kontan menarik bibirnya, lalu menyeringai.

"Well, fuck that. Siapa memangnya kau berhak memerintah ku?"

Sean menggeram, "Berhentilah keras kepala."

"Berhentilah bersikap seolah kau kenal denganku." Balas Hera.

Sean menembuskan napasnya kuat, berusaha menahan amarah yang mulai menyulutnya sejak awal melihat wanita itu berlari menuju bangsal pasien gawat darurat tadi dan memberikan CPR hingga lebih dari tiga menit, tanpa memikirkan kondisinya lebih dulu.

Sean memajukan tubuhnya mendekati Hera.

"Hera." Panggil Sean frustasi.

"Jangan sebut namaku." Hera mencebik.

"Kau sedang hamil saat ini."

"Lalu?"

"Kau sedang hamil anakku brengsek! Dan kau pikir kau siapa berani-beraninya hampir mencelakakan anakku dengan sikap egois seperti tadi?!"

Hera terkejut melihat kemarahan pria itu, tapi tidak lama karena selanjutnya wanita itu justru tertawa kecil.

"Anakmu?" tanya Hera sinis.

"Jangan membuatku tertawa dokter. We're both exactly know... this child is MINE, not yours."

Wanita itu kemudian mendorong tubuh Sean untuk mundur dari hadapannya, mendengus kesal, lalu berjalan menuju pintu keluar dengan wajah marah.

Dia benci sekali melihat wajah pura-pura peduli pria itu.

***
Enjoy!

traumatologi (/*orthopedi adalah ilmu yang memiliki fokus menangani cidera dan penyakit pada otot serta tulang manusia)

Cardiopulmonary Resuscitation (*teknik kompresi dada dan pemberian napas buatan untuk orang-orang yang detak jantung atau pernapasannya terhenti).

bag valve mask resuscitation (* perangkat genggam yang biasa digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif kepada pasien yang tidak bernapas).

Intubasi (* tabung sebagai alat bantu pernapasan ke dalam tenggorokan).

fibrilasi ventrikel (* merupakan kondisi darurat yang dimana denyut nadi penderita ventrikel fibrilasi tidak akan teraba, dan pada hasil pemeriksaan rekam jantung akan tampak gelombang listrik yang tidak normal)

Lead (* bagian yang akan ditempelkan ke dada pasien pada alat pacu jantung. Terdiri terdiri dari: kabel pacu serta sensor yang akan merekam irama jantung dan memberikan aliran listrik ke jantung.)

ECMO / Extracorporeal Membrane Oxygenation / Oksigenasi Membran Extracorporeal (*Alat medis yang bertindak sebagai pengganti fungsi jantung dan paru-paru untuk melewati masa kritis ketika mengalami kegagalan fungsi jantung dan paru-paru.)

ICU (* Intensive Care Unit adalah ruangan khusus yang disediakan rumah sakit untuk merawat pasien dengan dengan penyakit atau cedera serius. [ Berbeda dengan UGD, tempat ini digunakan untuk merawat pasien secara intensif setelah tidakan dilakukan]. )

Follow Sean & Hera on istagram!
@/Heratravoltra
@/Seanaldarict

With love.
nambyull

Continue Reading

You'll Also Like

2M 119K 18
Saira pernah mencintai Gara dan mereka sempat menjalin hubungan selama kurang lebih satu semester. Lama berpacaran, Saira tak sengaja tahu kalau pera...
15K 822 81
Selama 6 tahun, Alex Grey harus menahan rasa kecewa dan amarahnya. Menganggap bahwa dia akan kehilangan seorang yang dia cintai, Alaia Dean, untuk se...
2.3M 253K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
2.5M 281K 51
Cinta Mikha pada Rio bertepuk sebelah tangan selama 12 tahun, tapi ia tidak menyerah, ia berhasil menjerat pria itu agar tinggal bersamanya... meski...