at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Chapter 47

44.1K 4.6K 616
By nambyull

Vote and comment please.
***

Pria senja yang mengenakan baju polo putih dan topi berwarna senada itu, mengayunkan stick golf wood no.3 miliknya dengan kuat di tengah lapangan hijau, salah satu club olahraga golf kepunyaannya.

Dia menghela melihat bola golf yang dia pikir akan terlempar setidaknya lebih dari 100 meter di dekat lubang nomor 13 itu, justru berbelok lalu masuk ke danau kecil di pinggir lapangan dan membuat skor yang dia raih hari ini sangat buruk.

Tiga orang caddy golf (*pramugolf) yang sejak tadi ikut bersamanya juga menghela. Mereka menyayangkan pukulan tidak berstrategi yang dilakukan pria itu barusan, juga menyayangkan pukulan-pukulan awal pria itu sebelumnya.

Entah kenapa, pria dengan raut wajah tenang itu terlihat tidak fokus sejak tadi.

"Permainan anda tidak bagus hari ini. Apa anda baik-baik saja, tuan Aldarict?"

Roan Aldarict yang masih meratapi pukulan golf-nya dengan kecewa langsung menoleh, mendapati Romeo Arvino yang mengenakan baju polo berwarna biru bersama dua orang caddy golf sedang berjalan ke arahnya.

Roan menyambut pria muda yang merupakan teman anaknya itu dengan senyuman simpul.

"Aku baik-baik saja." Kata Roan.

"Apa kau sudah menjenguk anak itu?"

Romeo mengangguk, "Sudah, Qyra meminta saya untuk datang kemarin malam."

"Istrimu itu memang orang yang baik." Ujar Roan senang, senyum sederhananya melebar.

"Dia masih saja peduli pada orang yang bahkan sudah menyakitinya."

Romeo tersenyum tipis, "Anda benar, saya sangat beruntung."

Roan lalu menyerahkan stick golf-nya kepada salah seorang caddy kemudian berjalan, mengajak Romeo menuju lubang golf nomor 10 untuk menjauhi danau.

"Ngomong-ngomong Romeo, apa kau sudah mengurus kasus wanita itu lagi di pengadilan?" Tanya Roan tiba-tiba.

Romeo menoleh pada partner kerja sekaligus teman dekat mendiang ayahnya itu dengan sedikit terkejut.

Dia yakin Roan Aldarict tahu tentang masalah yang menimpah wanita itu karena anaknya juga terlihat, tapi Romeo tidak tau kalau pria ini ternyata cukup tertarik untuk membahas permasalahan itu, mengingat selama ini Roan bahkan tidak pernah mau membicarakannya di hadapan Romeo.

"Sudah." Jelas Romeo ragu.

"Saya sudah menyuruh orang  saya untuk mengajukan tuntutan baru pada Aileen karena setelah sembuh dia tidak kunjung kembali ke penjara."

Roan mengangguk masih tersenyum, suasana hatinya tahu-tahu terlihat membaik setelah mendengar perkataan Romeo.

"Terima kasih."

Romeo mengernyitkan dahi, sekarang yakin bahwa meski Roan selalu bersikap tenang, namun pria senja itu juga melakukan hal yang sama seperti nyonya Aldarict selama ini.

Yaitu berharap dan berusaha untuk menjauhkan Sean dari Aileen.

"Apa saya boleh bertanya sesuatu?" tanya Romeo setelah mereka sampai di titik pukul awal lubang golf nomor 10.

"Undangan yang Aileen bawa saat pernikahan Sean dan Hera... apa anda yang memberikannya?"

Roan terdiam.

Para caddy mereka dengan sigap meletakan bola golf mereka ditanah kemudian menyerahkan stick golf type woods kepada Roan dan Romeo.

"Kau menyadarinya?" Roan bersiap-siap memukul golf-nya.

Romeo mengendikan bahu asal, "Keluarga Hera Travoltra tidak mengenal wanita itu dan Tante Irene sangat benci padanya, karena anda satu-satunya yang memungkinkan jadi saya pikir anda yang melakukannya."

Roan mengayunkan stick golf-nya dengan sedikit tenaga, melakukan pukulan telak lalu membuat bola kecil berwarna putih itu langsung masuk ke lubang nomor 10 tanpa ada hambatan.

Ketiga caddy golf yang bersama Roan tadi terkejut.

"Benar." Roan menoleh pada Romeo.

"Aku menyuruh seseorang untuk memberikan undangan itu atas nama istriku."

Romeo meringis kemudian mengayunkan stick golf-nya dengan tenaga pelan.

"Anda mengacaukan pernikahan mereka karena kedatangan wanita itu, tuan Aldarict." Kata Romeo.

Bola golf-nya gagal langsung masuk ke lubang, namun berhenti beberapa jengkal dari sana.

"Hera Travoltra melarikan diri dan Sean seperti akan mati, anda membuat kedua orang itu menderita."

Roan tahu-tahu tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, aku membuat mereka berdua sadar." Ujar Roan tanpa rasa bersalah.

Romeo menatapnya bingung, "Apa maksud anda?"

"Sean masih belum menyadari perasaannya pada istrinya, dan selama ini dia menganggap pernikahan mereka hanya untuk bertanggung jawab. Aku tidak ingin menantuku menderita karena anakku yang tidak tegas itu, jadi lebih baik dia menghindar dulu. Aku juga sudah memberi tahu tentang ini pada Aldebaran Travoltra dan dia setuju untuk menjauhkan mereka."

Romeo terperangah, lalu tertawa kecil karena merasa sia-sia saja sudah khawatir pada Sean.

"Ternyata anda juga tidak bisa diprediksi ya, persis seperti nyonya Aldarict."

Roan mengendikan bahunya santai.

"Mau bagaimana lagi, kami berdua menyukai Hera Travoltra."

Romeo berjalan menuju tempat bola golf-nya berhenti, kemudian mengayunkan stick-nya dengan pelan.

"Saya jadi penasaran, apa yang telah dibuat Hera Travoltra hingga kedua orang tua Sean jadi jatuh cinta seperti ini?" Kata Romeo dengan senyum jenaka.

Roan tertawa, "Wanita itu luar biasa. Kau akan tahu alasannya saat kau melihat bagaimana dia mengendalikan emosi Sean hanya dengan satu senyuman."

"Dia seberpengaruh itu?"

"Mungkin lebih, istriku berkata Sean bahkan meninggalkan Aileen hanya untuk Hera saat pernikahan putra keluarga Mahardika."

"Saya tidak sabar untuk melihatnya sendiri."

Bola golf Romeo akhirnya masuk ke lubang setelah menggelinding beberapa saat.

Roan memberikan stick golf-nya kepada caddy, segera berjalan menuju teman anaknya itu, kemudian menepuk bahu pria muda itu dengan sedikit keras.

"Tapi kau sebaiknya menyingkirkan Aileen dulu dari hadapan Sean." Kata Roan.

"Aku sudah tidak tahan melihat anak itu hidup menderita karena kebodohannya."

***

"Astaga, Sean! Apa yang kamu lakukan?"

Irene tengah membawa sebuket bunga bersamanya saat membuka pintu ruang rawat anaknya lalu terkejut menemukan Sean tahu-tahu duduk di sofa dan sedang membaca tumpukan kertas-kertas dihadapannya dengan wajah serius.

"Membaca jurnal." jawab Sean, dia menoleh pada ibunya dengan tatapan datar.

"Cepat singkirkan itu! Siapa yang membawa jurnal-jurnal kamu ke sini? Kamu harus istirahat, dokter bilang kamu masih harus istirahat dua hari lagi."

Irene dengan histeris masuk, meletakan buket bunga yang dipegangnya ke samping sofa Sean kemudian menarik kertas-kertas yang sedang dipegang Sean dengan cepat.

"Aku sudah istirahat lima hari penuh Ma." Kata Sean.

Irene mengelak, "Tidak boleh! Meski dokter bilang tidak ada yang mengkhawatirkan dari CT Scan kamu, tapi kamu masih belum boleh bekerja!"

Wanita senja itu memanggil seorang pelayan yang masuk bersamanya tadi lalu menunjuk kertas-kertas di atas meja Sean dengan kesal.

"Hey kamu, bisa singkirkan kertas-kertas ini dari meja? Anak nakal ini akan makan siang dulu."

"Ma." Sahut Sean tidak terima.

"Baik, nyonya Aldarict."

Namun pelayan itu dengan patuh mengangguk dan mulai menyingkirkan kertas-kertas jurnal Sean, kemudian membawanya ke luar ruangan.

"Tidak ada penolakan Sean, kamu harus makan lalu istirahat. That's the final word from me." Putus Irene.

Sehingga Sean tanpa bisa menolak, akhirnya menghela. Dia kemudian bersandar pada sandaran sofa dan menunggu ibunya menyiapkan makanan-makanan ringan yang dibawa pelayan lain ke atas meja.

Sean melirik buket bunga mawar merah di sampingnya yang ibunya bawa tadi dengan dahi berkerut.

"Bunga itu dari siapa?" tanya Sean.

Irene menoleh, lalu tiba-tiba tersenyum senang.

"Seseorang menitipkan di resepsionis lantai empat, katanya untuk kamu, mungkin dari salah satu penggemarmu." Jawab Irene.

Sean mengambil buket bunga itu karna merasa aneh, lalu memperhatikannya dengan bingung.

"Mawar?"

Irene mengangguk, terlihat begitu senang, namun kemudian terkejut setelah melihat ternyata ada kartu ucapan yang terselip di kertas buket berwarna biru muda itu.

"Oh, ada kartunya." kata Irene.

Senyum di wajahnya sama sekali tidak luntur. Dia mengambil kartu itu kemudian memberikannya pada Sean.

Sean menatap ibunya yang besikap berlebihan itu sama bingungnya, namun dia tidak mengatakan apa-apa saat membuka kartu ucapan dari buket bunga yang dia terima, lalu menemukan tulisan kecil disana yang berhasil membuat Sean terdiam.

[ — Love is painful. Beautiful painful.
Same as you. —]

***
Enjoy!

With love.
Nambyull

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 121K 44
VERSI LENGKAP TERSEDIA DALAM BENTUK PDF Tentang Anggara yang meratapi penyesalannya, dan tentang Indira yang berusaha membangun hidup barunya.
574K 28.1K 57
Sederhananya ini adalah kisah tentang Bryan yang ditinggal menikah dan Laura yang gagal menikah.
15K 822 81
Selama 6 tahun, Alex Grey harus menahan rasa kecewa dan amarahnya. Menganggap bahwa dia akan kehilangan seorang yang dia cintai, Alaia Dean, untuk se...
4.1M 233K 45
Di dunia ini kita hanyalah boneka bagi yang berkuasa. Banyak hal yang tak terduga yang dapat mengubah semua ekpektasi dan rencana hidup kita. Akan t...