The Reason

Autorstwa radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... Więcej

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Two Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Eighth (The Last Reason)

Forty Seventh

1.4K 155 30
Autorstwa radivya

"Coba cek lagi nama-namanya, Mas."

"Halaman ini tadi udah 'kan, Dek?"

"Cek ulang Mas, buat memastikan."

"Rida, kak Salman, kak Faith, teh Rahmi." Sabiya terus menyebutkan nama-nama temannya satu persatu.

H-2 pernikahan.

Hari ini dia mengecek siapa saja teman-temannya yang akan hadir di hari Minggu besok. Hal ini ia lakukan untuk memperkirakan jumlah makanan. Rais membantunya menandai nama-nama yang akan hadir dan juga tidak. Mulai dari teman-teman kelasnya hingga teman di unit internal dan eksternal. Kebanyakam teman SD, SMP, dan SMA-nya tidak akan datang. Sebab, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Pakde, bukan di rumah orang tuanya. Hal itu tentu saja atas pertimbangan kapasitas tempat dan efisiennya acara.

Sejauh ini segala persiapan sudah aman. Undangan sudah disebar sejak malam lalu ketika ia sampai di rumah. Dekorasi dan hal lainnya pun sudah dibicarakan dengan pihak WO. Hari ini mereka sudah mulai mendekor bagian dalam rumah, memasang kain untuk menutupi dinding-dinding rumahnya. Warna putih dan mocca ditambah beberapa aksen berwarna gold. Di halaman depan akan dipasang tenda dan juga pelaminan. Katanya malam ini semua dipastikan sudah selesai, sehingga besok tinggal mempersiapkan dekorasi-dekorasi kecil dan makanan untuk hidangan prasmanan. Malam ini catering harus sudah dipesan, souvenir harus sudah dibereskan, dan juga harus menyelesaikan bingkisan untuk orang-orang yang akan datang malam ini ataupun besok sebelum hari H pernikahan.

Ternyata banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk menikah. Padahal hari pernikahannya hanya satu hari, tapi persiapannya bahkan sudah dari lama sekali. Memang benar menikah itu bukan untuk main-main, kita harus memastikan bahwa diri kita sudah benar-benar siap dan bukan hanya sekadar mau saja.

"Dek, kamu sudah kasih undangan ke Faruq?" Rais melipat kertas yang berisi daftar tamu undangan.

Sabiya menggeleng. "Belum. Gak bakal kasih juga sepertinya, tapi aku udah kasih ke ustazah Fatimah kok."

Sabiya beranjak dari tempat duduknya, "Sini, Mas," ia meminta kertas yang dipegang Rais. "Aku mau simpan ini dulu ke kamar," ujarnya kemudian meninggalkan kakaknya sendiri.

Rais menatap sosok mungil yang semakin menjauh dari pandangannya. Siapa sangka gadis kecil yang seringkali jadi bahan bercandanya itu sebentar lagi akan melepas masa lajang dan tinggal bersama laki-laki lain. Rasanya dia merasa sedikit tidak rela harus melepas Sabiya secepat ini, padahal dulu ialah yang menyuruh adik perempuannya untuk segera memiliki pasangan.

Bagaimana bisa takdir sebegitu rumitnya mempertemukan dua orang yang saling menjaga rasa. Padahal keduanya belum sempat bertatap muka pada awalnya, sampai akhirnya dipertemukan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Rais merasa takjub dengan kisah adiknya, perkenalan pertama hanya dari sebuah grup chat yang kemudian mengantarkannya pada komitmen saling menjaga tanpa kabar dan suara. Benar-benar hebat dua insan itu.

"Mas, makan dulu gih. Tuh dipanggil Bude tadi, bareng-bareng sama yang lain katanya."

Sabiya hanya datang untuk memberitahukan hal itu, setelahnya ia ikut bergabung dengan anggota keluarga lainnya yang sudah berkumpul ditemani hidangan nasi liwet yang wanginya sangat menggoda.

"Keluarga Daris jadi ke sini malam ini, Bi?" tanya Bude yang sedang mengambilkan nasi untuk suaminya.

Sabiya mengangguk. "Kemarin bilangnya begitu, insyaAllah nanti dikabari lagi kalau sudah berangkat katanya."

Tidak ada lagi yang bertanya, semua orang sedang sibuk menghabiskan makanannya masing-masing. Sabiya meneguk air di depannya, ia tidak bisa menafsirkan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Meski suasana ramai, hatinya merasa tidak tenang, cemas dan takut adalah dua kata yang paling mendominasi.

"Saya memilih kamu bukan hanya karena komitmen yang pernah kita buat, tapi ini tentang bagaimana Allah tetap menjaga dan menumbuhkan perasaan cinta saya terhadap kamu. Juga tentang bagaimana Allah menuntun saya kepadamu."

Daris mengatakannya ketika ia datang dengan keluarganya malam itu. Kata-kata yang bahkan sampai saat ini masih terus terngiang di kepalanya dan terus menggetarkan hatinya. Sabiya masih tidak percaya kalau saat ini ujungnya semakin dekat. Ia selalu meminta agar Allah menguatkannya sampai akhir perjalanan ini, serta menjadikan pernikahannya dipenuhi berkah dan rasa syukur yang tak akan pernah terhenti.

▲▽▲

Esok adalah hari yang dinanti-nanti. Perasaan tak karuan semakin mencekam, Sabiya tidak tahu harus bagaimana lagi menyembunyikan kecemasannya. Rasanya benar-benar dag-dig-dug dan tidak ada celah untuk merasa tenang.

"Dek, ada ustazah Fatimah," panggil Rais ketika ia masih mengambil hidangan untuk para tamu.

Hari ini cukup banyak tamu yang datang, terutama teman-teman Pakde dan Bude, juga para tetangga sekitar. Sabiya menyerahkan hidangan yang dibawanya kepada Rais. Ia berjalan menghampiri seorang perempuan yang duduk dengan anak kecil di pangkuannya.

"Assalamualaikum, Ustazah," salamnya seraya duduk di samping perempuan itu. Tak lupa ia juga menyapa Ameera yang saat ini terlihat imut dalam balutan busana muslim berwarna pink cerah.

Ustazah Fatimah menjawab salam seraya menahan Ameera yang akan berlari keluar. "Akhirnya kamu sudah memutuskan juga ya, Sa. Saya sempat sedih ternyata bukan Faruq orangnya. Setelah pulang dari Malang dan tidak sengaja bertemu kamu, dia jadi sering diam dan tidak banyak beraktivitas seperti biasa. Setiap hari hanya mendengarkan kajian-kajian dari youtube, baru akhir-akhir ini saya tau kalau channel youtube yang sering ditontonnya itu milik calon suami kamu."

Sabiya terdiam. Ia terkejut dengan apa yang dibicarakan oleh ustazah Fatimah. Saat ini dia bingung harus memberikan respon seperti apa, menatap lawan bicaranya pun agak segan.

"Maaf ya, Ustazah." Hanya kata itu saja yang mampu ia lontarkan dalam kondisi seperti ini.

Ustazah Fatimah menggeleng. "Tidak, Sa. Ini bukan salah kamu. Faruq yang terlalu menaruh harapan terhadap kamu, ia tidak sepenuhnya memasrahkan perasaan kepada pemilik-Nya, sehingga saat kenyataan tidak sesuai harapan dia merasa terlalu sakit."

"Faruq bukan orang yang mudah menjatuhkan hatinya untuk seseorang. Namun, ketika dia memutuskan untuk memilih, maka dia akan menjatuhkan diri sejatuh-jatuhnya. Itulah kesalahannya sejak dulu," tambahnya.

Perasaannya semakin tidak enak, Sabiya merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Faruq. Namun, tentu saja dia tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak mungkin 'kan dia membatalkan pernikahannya dengan Daris dan menerima Faruq untuk menjadi suaminya hanya karena kasihan.

"Sampaikan maaf saya untuk kak Faruq, Ustazah."

Ustazah Fatimah terlihat mengangguk, selanjutnya tidak ada lagi perbincangan. Sabiya beranjak dan izin untuk pergi menghampiri ibunya yang memanggil dari kejauhan. Katanya ada telepon dari Daris.

Daris dan keluarganya sudah sampai di Bandung sejak pagi tadi. Saat ini mereka sedang berada di hotel yang tak jauh dari kediaman Sabiya. Tidak banyak yang ikut, hanya keluarga dan beberapa teman dekat katanya.

Sabiya dan Daris sepakat untuk menggelar acara pernikahan yang sederhana saja. Biaya lainnya dialokasikan untuk kebutuhan pasca menikah. Daris berencana untuk membeli rumah setelah selesai kuliah, agar ketika sudah sama-sama lulus bisa langsung tinggal berdua meski di dalam bangunan sederhana.

Daris menelepon hanya untuk memastikan semua persiapan aman, serta memberikan sedikit kata-kata penenang agar tidak terlalu cemas katanya. Benar-benar manis.

Waktu berlalu, satu persatu tamu yang hadir mulai sedikit, tidak sebanyak siang tadi. Sabiya membereskan gelas air minum di depan, ia juga meminta Rais untuk membantunya menyapu lantai yang terdapat banyak remah-remah kue kering.

"Kayaknya gak bakal ada yang datang lagi deh Mas. Sudah hampir jam sepuluh juga," ujarnya sambil memasukkan sampah makanan ke dalam dus.

"Iya. Kamu istirahat saja, Dek. Biar besok fresh. Kan gak lucu kalau besok kamu lemas gara-gara kecapaian."

Sabiya menurut. Setelah membuang sampah ke luar, ia memutuskan untuk langsung ke kamar dan berusaha memejamkan matanya. Iya, dia harus berusaha karena jantungnya terus-terusan berdetak tak karuan. Membayangkan hari esok membuatnya tidak bisa tidur dengan benar.

Setelah cukup menguras tenaga seharian tadi menemui para tamu dan juga mendengarkan cerita ustazah Fatimah, rasanya benar-benar lelah. Perlahan ia mencoba menenangkan pikiran dan membuang perasaan-perasaan negatif yang dirasakannya. Perlahan matanya terpejam, pikirannya tetap berusaha tenang dan mengendalikan detak jantungnya.

Semuanya akan baik-baik saja.

▲▽▲

"Dek, coba lihat sini Dek."

Klik.

"Yah, blur."

"Nanti aja, Mas. Sebentar lagi juga beres."

Sabiya kembali menatap ke depan, tepatnya pada cermin yang ada di hadapannya. Ia masih tidak percaya kalau perempuan di cermin itu adalah dirinya. Sabiya yang sehari-hari jarang sekali memoles wajahnya dengan riasan tebal, saat ini terlihat sangat berbeda.

Hari ini akhirnya datang juga, setelah sekian lama perjuangan dan penantian. Ia kemabali teringat beberapa tahun ke belakang, betapa sulitnya menahan rindu yang tak seharusnya dia rasakan, sulitnya menahan perasaan yang terkadang meluap tanpa sebab, menahan tangis hanya karena berpikir semua yang ia nantikan hanya akan berakhir sia-sia, dan segala hal menyakitkan lagi menguatkan lainnya.

Sabiya memandang dirinya sekali lagi. Riasannya sudah selesai. Gaun pengantin yang dipilihkan kakaknya ternyata pas dengan ukuran tubuhnya dan sesuai dengan permintaannya—syar'i dan tidak membentuk lekuk tubuh.

"Dek coba senyum sambil lihat ke kaca, terus tunjukin henna di tangannya," titah Rais lagi setelah foto sebelumnya kurang jelas.

Sabiya mempraktekkan apa yang diarahkan oleh kakaknya. "Gini?" tanyanya memastikan.

"Nah iya sip, tahan tahan." Rais memutar fokus lensa kamera di tangannya.

Klik.

"Wih luar biasa ini," ujarnya setelah melihat hasil jepretan yang kedua. "Ini baru bagus."

"Coba mana aku lihat." Rais memberikan kameranya. "Keren. Kok kayak bukan aku ya, Mas?"

Rais mengangguk. "Mas juga pangling, Dek."

Keduanya tertawa. Apa ini yang dibilang orang-orang kalau sehari-hari jarang dandan, pas nikah bisa kelihatan beda?

Sesaat Sabiya melupakan rasa deg-degannya ketika tertawa bersama Rais. Namun, sekarang perasaan itu sudah datang lagi. Ia melirik jam dinding di sebelah kanan, sudah pukul 8, sebentar lagi Daris dan keluarganya sampai.

Sabiya menunggu di kamar, ditemani oleh Rida. Benar saja, tak lama dari dugaannya keluarga Daris sudah sampai di depan gerbang. Tentu saja hal itu membuatnya semakin tidak tenang, tangannya dingin, wajahnya memanas, dan jantungnya tak henti berdegup kencang.

"Duh, gimana nih Rid," ujarnya entah sudah yang keberapa kali.

Rida yang mulai bosan mendengar ucapan yang sama hanya bisa menggenggam tangannya seraya berkata, "Tenang, gak apa-apa. InsyaAllah lancar ya."

Sabiya mengangguk dan diam. Meski Daris sudah sampai, ia belum bisa langsung menemuinya sebelum akad terucap. Akad nikah yang dilakukan di masjid samping rumahnya itu dihadiri oleh beberapa anggota keluarga dan teman-temannya. Letak masjid yang sangat dekat membuat Sabiya diminta diam di kamar sampai akad selesai, setelah itu ia harus langsung masuk ke dalam masjid.

Rais yang sedari tadi menjadi juru informasi membuat Sabiya bisa melihat suasana di dalam masjid. Ia juga tak mau ketinggalan momen-momen akad itu terucap oleh Daris, tentu saja ia ingin menyaksikannya meski hanya lewat siaran langsung.

"Sudah mau mulai, Dek."

"Lihat, doi tegang banget mukanya. Mas ingin ketawa," ucap Rais yang sedang melakukan video call dengan Sabiya.

Melihat itu membuat Sabiya ikut merasakan ketegangan yang Daris tunjukkan. Matanya berkaca-kaca ketika mulai mendengar suara laki-laki itu mengalun lembut setelah penghulu mengucapkan kalimat ijab.

"Saaaaaaah!"

Suara itu begitu menggema dalam pendengarannya, membuat Sabiya tak kuasa menahan tangis.

"Nangisnya biasa saja, Bi. Nanti make up-nya luntur," ujar Rida mengingatkan.

Sabiya berjalan dituntun oleh Rida dan ibunya menuju ke dalam masjid. Ketika sampai di depan pintu, semua mata tertuju padanya, sedangkan pandangannya hanya tertuju pada satu orang di depan sana. Seorang laki-laki yang berdiri tegap memandang ke arahnya, senyuman itu cukup menenangkan langkahnya untuk segera mendekat.

"Hei," sapanya ketika Sabiya sudah berdiri di sampingnya.

"Oh, h-hai."

Sabiya menunduk, ia benar-benar malu. Apalagi disaksikan oleh banyak pasang mata.

"Terima kasih." Kata itu meluncur setelah ia berhasil menguasai degupan jantungnya.

Daris menatap ke arahnya dan tersenyum, "Aku yang seharusnya berterima kasih."

Daris diminta untuk membacakan doa sambil menyentuh kepala perempuan di hadapannya—istrinya—tentu saja. Setelah itu ia mencium puncak kepala Sabiya. Suasana penuh haru itu terabadikan dalam sebuah foto yang nantinya akan menjadi saksi bisu bahwa hari ini mereka telah mengucap janji suci.

"Coba sekarang foto sambil tunjukan buku nikahnya, ya."

Arahan dari fotografer langsung dilaksanakan oleh keduanya. Mereka sedikit ragu untuk berdiri berdekatan, sampai akhirnya Rais menyuruhnya untuk bergeser.

"Gak apa-apa, udah nikah kok," katanya. Benar-benar kakaknya itu bikin malu saja.

Menikah ibarat menaiki kapal, kita harus memiliki nahkoda yang profesional agar bisa selamat sampai tujuan. Namun, manusia tetaplah tempatnya salah, ketika ada kesalahan bukan berarti harus berganti nahkoda begitu saja.

▲▽▲

🍀 Sapaan Divya 🍀

Hallo para pembaca The Reason. Terima kasih sudah bertahan sampai ke part ini. Senang sekali mendapatkan komentar-komentar dari kalian, rasanya bisa saling berkomunikasi 😆

Siapa nih yang nunggu-nunggu momen ini?

Akhirnya perjuangan dan penantian mereka benar-benar terbayarkan ya.

Selesai? Tenang. Masih ada satu part terakhir yang akan diupdate nanti 😁

Terima kasih atas dukungannya. Jangan lupa tinggalkan jelak, beri bintang dan mari bercakap di kolom komentar. Kasih tahu teman-teman kamu juga ya kalau sekiranya cerita ini bagus untuk dibaca, biar hikmahnya gak hanya terhenti di kamu saja ☺

Salam,

Divya

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.6M 282K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
118K 9.4K 38
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
858K 78.2K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...
614K 26.5K 45
Cerita ini murni dari pikiran dan imajinasi ku Plagiat dilarang mencuri karya !!! Cinta pada pandangan pertama itu memang nyata, seperti yang terja...