at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Chapter 14 A

38.6K 3.8K 213
By nambyull

Vote and comment please.
BGM : Red Velvet- Psycho
***

"Sayang!"

Sean sedang mengenakan dasi didepan kaca ruang tengah ketika pintu apartemennya tiba-tiba saja terbuka pagi itu, menampilkan sosok wanita senja yang sedang membawa beberapa bungkusan makanan dan tengah rersenyum sumringa kepadanya.

"Mama?"

Sean mengerutkan dahinya, merasa aneh karena tidak menyangka bahwa ibunya akan mendadak datang ke apartmentnya.

Dia tidak ingat kapan tepatnya... tapi ibunya sudah lama sekali tidak mendatanginya ke apartment, kalau dia tidak salah, mungkin sudah sejak delapan bulan lalu?

"Apa yang Mama lakukan disini?" Tanya Sean bingung.

Nyonya Aldarict mengendikan bahu, mengabaikan pertanyaan putranya sambil berjalan menuju pantri, memasukan makanan-makanan yang dia bawa ke piring dan meletakannya di meja makan.

"Memastikan kamu sarapan." Jawab nyonya Aldarict enteng.

Dia melirik Sean yang masih belum mengenakan dasinya dengan benar sambil berdecak, kemudian setelah menata makanan, dia menggerakan tangan menyuruh Sean agar mendekat.

"Sini, mama bantu pasangkan."

Sean tidak membantah saat berjalan mendekati ibunya, pun ketika nyonya Aldarict sedang menyimpulkan dasinya dia tidak juga membuka suara.

Kedatangan ibunya benar-benar membuatnya kebingungan, aneh sekali.

Setelah memastikan bahwa pakaian putranya sudah rapi, nyonya Aldarict memaksa Sean untuk duduk di bangku meja makan, menyodorkan makan dan minuman yang dia siapkan tadi, masih dengan senyuman yang benar-benar membuat Sean merasa terganggu.

Sean akhirnya menghela, dia menatap ibunya menyerah.

"Ada apa, Ma?"

Nyonya Aldarict menggeleng, "Tidak ada, Mama hanya senang bisa melihatmu seperti tadi malam, memangnya tidak boleh?"

Sean mengerutkan dahi tidak mengerti.

"Terlihat sangat hidup, persis seperti sebelum semuanya terjadi."

Sean terperangah, tidak menatap ibunya ketika pembahasan tentang kejadian yang tidak pernah mereka sebutkan itu kembali dibahas.

Nyonya Aldarict tahu-tahu memegang tangan Sean, mengusap tangan putranya itu dan masih tersenyum, namun raut wajahnya mendadak berubah sedih dan prihatin.

"Apa dia masih tetap tidak bisa menerima mu?" Tanya Nyonya Aldarict hati-hati.

Meksi dia tahu bahwa kondisi hubungan anaknya dengan perempuan itu sudah sangat tidak bisa lagi tertolong.

"Dua hari lalu Mama datang ke tempatnya."

Sean cepat menoleh, raut wajahnya marah, "Kenapa Mama datang kesana? Aku sudah bilang—"

"Dia tidak tertolong." Nyonya Aldarict menyela.

"Ma."

"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Sean."

"Aileen tidak pernah bisa berbahagia denganmu, dan jika kau tidak sadar... kau juga selama ini tidak pernah bisa berbahagia bersamanya. Lepaskan dia, nak kalian berdua berhak bahagia."

"Cukup Ma!"

Sean tiba-tiba saja berdiri dan menggebrak meja, membuat Nyonya Aldarict terperanjat, namun segera menghela nafas lelah atas kekeras kepalaan anak semata wayangnya itu.

"Mama tidak sering meminta padamu Sean, tapi tolong pikirkan kembali permintaan Mama untuk mencari seseorang yang bisa membuatmu terlihat hidup kembali."

Nyonya Aldarict memutuskan beranjak, mengambil tasnya di bangku dan bersiap untuk meninggalkan putranya yang masih terdiam di meja makan dengan wajah tidak senang.

Namun sebelum benar-benar keluar dari tempat itu, dia menoleh kembali pada Sean.

"Mama tahu kau begitu mencintainya, tapi Sean.. ini sudah terlalu jauh."

***

Sean mengurut tengkuknya begitu memasuki ruangan pasien kelas II, berharap dengan itu kaku yang sejak tadi mengganggunya bisa sedikit meredah.

Padahal hari ini bukan hari yang berat, dia hanya memiliki jadwal untuk memeriksa beberapa pasien ringan yang membutuhkan kontrol rutin biasa tanpa operasi ataupun konsultasi intensif, tapi sudah sejak tadi Sean merasa begitu lelah seolah beban masalah yang ditanggungkannya sudah terlalu banyak dan mulai menolak untuk diabaikan.

Sean menghela nafasnya pelan, kembali berusaha tetap fokus pada pekerjaannya.

Dia menoleh pada laporan medis di tangannya, kemudian pada plangkat identitas pasien di salah satu ranjang lalu melakukan pemeriksaan pada laporan penggunaan obat dan perawatan yang pasien itu terima hari ini.

"Kau tau kabar tentang dokter Sean yang meniduri dokter Hera kemarin?"

Suara seseorang yang menyebutkan namanya dari bilik sebelah tahu-tahu terdengar, membuat fokus Sean kembali terpecah.

"Ternyata kabar itu bohong, dokter Hera-lah yang ternyata menggoda dokter Sean untuk tidur bersamanya."

Suara beberapa orang lainnya yang terkesiap membalas.

"Apa? Dari mana kau tahu?"

"Aku mendengar dari perawatan yang kemarin memberikan laporan pada dokter Al. Katanya dia mendengar dokter Sean membantah kabar itu, dokter Sean menjelaskan bahwa dia bertemu dengan wanita itu dalam keadaan sudah mabuk dan bermaksud menolongnya, tapi kemudian wanita itu menjebaknya dan menyebarkan rumor bahwa dialah korban."

Sean berusaha mengabaikan pembicaraan orang-orang itu dengan beralih memeriksa sisa isi infus yang diberikan kepada pasien.

"Astaga! Pantas saja aku merasa aneh dengan kabar itu, tau sendiri bagaimana binalnya kelakuan dokter Hera selama ini. Dia mana mungkin jadi korban permerkosaan, kalau dia yang memperkosa orang lain itu baru masuk akal haha..."

"Benarkan! Aku sampai heran, kenapa dia sampai sekarang tidak malu dengan kelakuannya yang murahan itu?"

Sean mendengus, tidak bisa berkonsentrasi lagi.

Tanpa sadar, dia justru meremas laporannya, mulai terprovokasi dan terusik dengan perkataan orang-orang itu.

"Eh, aku punya ide." Salah satu orang diantara mereka kembali berbicara.

"Kalian taukan kalau dia akan datang ke pesta lajang dokter Yuna malam ini? Bagaimana kalau kita kerjai saja dia? Kita buat dia diperkosa oleh orang sungguhan, supaya lain kali dia tidak sembarangan membuat berita sampah."

"Kau sudah gila ya? Haha.. tapi aku setuju."

Sean tertegun, mendesis kesal kemudian bergegas keluar dari ruangan karena dia selalu sadar bahwa semua hal yang menyangkut Hera akan berarti masalah baru untuknya... dan juga jantungnya.

***

Hera terlihat sedang bercanda dengan salah satu petinggi dokter di cafeteria khusus staff rumah sakit siang itu, dokter Arifin, teman dekat sekaligus partner seperjuangan ayahnya membangun karir selama bertahun-tahun.

Semua orang sepertinya sudah sangat terbiasa pada kedekatan Hera dengan dokter senior itu, hingga seolah tidak asing lagi jika melihat Hera memeluk lengan dan melendoti bahu pria yang bagi Hera, selalu dianggapnya seperti paman kandungnya itu.

Tapi jika yang melihat itu adalah Sean, maka itu akan berarti kesalahan besar.

Dia tidak peduli status atau alasan apapun yang membuat Hera bisa begitu dekat dengan pria itu atau pria lainnya, karena Sean tetap tidak akan menyukainya... meski dia sendiri pun masih sering melayangkan penyangkalan atas rasa kesal yang dia terima itu.

Kondisinya Sean sudah cukup buruk sebelum kedatangannya kesini, dia kesal dan panik, lalu ketika menemukan wanita itu tengah bertingkah manja dengan pria lain, jelas saja membuat Sean semakin kesal... dan untuk sebuah alasan yang bahkan tidak bisa dia jelaskan, dia benar-benar merasa marah.

"Ikut aku!"

Sean tanpa peringatan menarik tangan Hera, suaranya sedikit menggeram, memaksa wanita itu berdiri dan membuat baik Hera maupun dokter Arifin sama-sama langsung terperanjat.

"Dokter Sean?" dokter Arifin menoleh terkejut.

Hera menarik tangannya kembali.

"Tidak mau!" bantahnya.

Sean menatap dengan rahang yang mengeras.

"Ikut aku, Hera." Intonasi pria itu berubah penuh perintah.

Hera mengerutkan dahi, " Tidak mau! Apa kau tidak lihat aku sedang bicara dengan dokter Arifin? Aku bukan bawahanmu, kalau kau mau, kau bisa menemuiku nanti."

Hera kembali duduk, menggandeng tangan dokter senja itu untuk kembali bercerita ketika Sean yang sudah kehilanan kesabaran lagi-lagi menarik tangannya, berjalan keluar dari cafetaria dan kali ini pria itu bahkan tidak mengubris Hera yang berteriak ingin dilepaskan ataupun beberapa pasang mata yang menatap mereka penasaran.

"Sean lepaskan aku!!"

Nyaris disepanjang lorong keluar Hera memukul dan meremas tangan pria itu untuk melepaskan tangannya, tapi Sean mendadak berubah menjadi tuli dan batu hingga bukan masalah besar lagi baginya untuk membawa Hera ke ruangannya.

"Lepaskan aku brengsek!" Geram Hera, menarik tangannya dengan kuat ketika Sean menutup pintu ruangannya dengan keras.

Dia berdecak, "Aku tidak mau bicara denganmu."

Hera langsung berbalik untuk keluar, namun Sean dengan cepat mendorong pintu dan menahannya diantara kungkungan pria itu.

Nafas Sean memburuh, dia tidak mengatakan apapun selain menatap Hera dengan pandangan kesal dan kalut. Dia mencoba mengendalikan dirinya dari segala hal yang memancing kemarahannya karena ada hal penting yang harus di prioritaskannya saat ini.

Keselamatan Hera.

Setelah beberapa saat memaksa dirinya sendiri untuk redam, Sean mulai berkata dengan pelan.

"Jangan pergi ke pesta dokter Yuna."

Hera tercengung, mengerutkan dahinya, tidak mengerti omong kosong apa yang sedang dikatakan pria di hadapannya.

"Apa kau sedang ada masalah?" tanya Hera tidak habis pikir.

"Apa kau sadar sedang menyuruhku untuk tidak datang ke pesta Yuna? Pesta TEMANKU sendiri?!"

Hera bersidekap, lalu menghela, "Kau sedang berpikir kalau aku ini pacarmu ya? Kau takut aku berciuman dengan pria lain lagi?"

Sean mendadak terkejut, sedikit asing dengan perkataan yang barusan Hera ucapkan... ingatan tadi malam tiba-tiba ikut memenuhi kepalanya.

Dia bahkan tidak benar-benar yakin harus bereaksi seperti apa.

Pacar?

Sean berbisik pada dirinya sendiri.

Apa mereka memang sedang berpacaran?

Sean memang menyuruh wanita itu untuk berhenti mempermaainkannya... tapi apa itu berarti mereka memang berstatus seperti itu?

Hera yang melihat itu menelisik.

"Dengar, aku tidak peduli kalau saat ini kau berpikir kita sedang pacaran atau tidak, tapi jelas aku tidak segila itu untuk berciuman dengan pria asing. Jadi jangan berlebihan, dasar posesif!" katanya berdengus, kemudian mendorong bahu Sean untuk menyingkir dari pintu dan menjauh.

Sebelum wanita itu keluar dari ruangan, dia memperhatikan wajah Sean yang masih terdiam, lagi.

Ada hal aneh yang membuat senyuman terbesit pelan di bibirnya.

Dia tahu pria itu mungkin sedang merasa terganggu dengan kalimat yang dikatakannya tadi.

"Kalau kau kahwatir aku akan berciuman dengan pria lain, kenapa kau tidak datang dan menemaniku datang ke pesta Yuna saja?"

***
Enjoy!

—we're both bit weird.

with love,
nambyull

Continue Reading

You'll Also Like

4.1M 233K 45
Di dunia ini kita hanyalah boneka bagi yang berkuasa. Banyak hal yang tak terduga yang dapat mengubah semua ekpektasi dan rencana hidup kita. Akan t...
504K 3.8K 4
~ Sally Widya ~ Aku tidak perlu kehidupan yang harmonis dan bahagia. Karena aku sudah yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah memberikannya kepadaku. Tap...
40.9K 3.4K 63
[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan...
2.5M 281K 51
Cinta Mikha pada Rio bertepuk sebelah tangan selama 12 tahun, tapi ia tidak menyerah, ia berhasil menjerat pria itu agar tinggal bersamanya... meski...