at: 12am

By nambyull

3.8M 361K 48.2K

Dia menolak ku. Satu-satunya pria yang pernah menolakku, satu-satunya pria yang berani mendorongku menjauh... More

Prolog
• T R A I L E R •
am
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 12
Chapter 13 A
Chapter 13 B
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 14 (Private vers.)
Chapter 15 (Private)
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28 (Private)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 35 (Private+ vers.)
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40 - the wedding.
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70 [ END ]
Epilogue
Epilogue (Private vers.)
Special Chapter

Chapter 11

45.5K 4.1K 347
By nambyull

Vote and comment please.
BGM : Hailee Steinfeld, Bloodpoop®️ - Capital Letters
***

"Bagaimana kabar pekerjaanmu sayang?"

Hera mengangkat bahu ketika mengambil salah satu roti isi dari meja makan dan mengecup pipi ibunya.

Dia baru saja keluar dari kamar setelah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit sebentar lagi.

Semalam ibunya meminta Hera untuk bermalam di rumah, ada yang ingin dibicarakan, katanya, tapi Hera yakin bahwa itu artinya Hera akan diceramahi dan dinasehati akan sesuatu hal yang sama sekali tidak penting lagi.

Maksudnya, apa ini tentang hobi Hera yang suka ke bar dan mengganggu pria? Oh yang benar saja, bukankah orang tua Hera sudah tau tentang itu sejak lama?

Lagipula, bukankah Hera sudah terlalu tua untuk diatur-atur?

Hera tentu saja berniat menolaknya, tapi ibunya berjanji akan mengiriminya tas sepulang dari Paris besok minggu, jadi mau-tidak mau dia akhirnya datang, meski dia sampai agak larut, tadi malam.

"Baik Bun, tapi kalau Ayah mau berbaik hati tidak memasukan ku dalam tim yang isi anggotanya tukang gossip semua, mungkin bisa lebih baik lagi." Kata Hera, dia meminum jus jeruk yang baru saja dituangkan ibunya ke gelas.

"Mereka hanya mencari perhatian." Ayahnya yang sedang membaca koran di ujung meja tahu-tahu membalas, membuat Hera berdecak sinis.

Nyonya Travoltra tersenyum, melihat tingkah kedua anak-ayah yang selalu berdebat itu adalah hal yang paling disukainya.

Hera dan Aldebaran sangat mirip.

Sikap, kelakuan dan juga cita-cita... Hera seperti perwujudan Aldebaran dalam bentuk perempuan, meski yah, Hera sedikit lebih sulit diatur daripada Aldebaran.

Dulu sebelum masuk sekolah menengah pertama, Hera pernah berkata bahwa pekerjaaan dokter adalah pekerjaan yang paling keren di dunia... peris seperti apa yang dikatakan Aldebaran saat dia dan nyonya Travoltea masih di sekolah menengah atas yang sama.

Karena itu, daripada memaksa Hera mengikuti jejak ibunya sebagai seorang pengacara.. nyonya Travoltra lebih memilih membiarkan Hera mengikuti cita-citanya jadi apapun yang dia inginkan.

"Ohya, Bunda baru ingat! Kemarin ada undangan dari ibunya Romeo Arvino untuk perayaan baby shower cucu pertamanya besok malam. Kita semua harus datang."

Ibunya kembali berkata, dia mendadak teringat dengan undangan yang dia terima dari nyonya besar Arvino saat mereka membicarakan pemindahan kepemilikan beberapa berkas apartemen, kemarin malam.

Hera menoleh, dia yang sedang memakan sarapannya langsung menggeleng tidak tertarik, "Uh uh, aku sibuk."

Ibunya melirik tuan Travoltra seraya mengernyit, "Bukankah jadwal operasimu baru lusa akan dimulai? Ayah memberitahu Bunda semalam."

Hera mengangguk.

"Iya, Bun tapi ada hal yang harusku urus." Tambahnya tidak bersemangat.

"Ayah jadi teringat pada dokter Sean."

Aldebaran Travoltra tiba-tiba menyela diantara percakapan mereka, membuat Hera mengerutkan dahi dan langsung menatapnya aneh.

"Apa hubungannya dengan pria itu?" Tanya Hera bingung.

Ayahnya mengangkat bahu, menyeruput kopinya lalu menatap Hera dengan tatapan seolah dia akan memulai introgasinya segera setelah ini.

"Kamu harus minta maaf padanya, Hera."

Hera yang tidak terima, menggerutu.

"Kenapa aku harus minta maaf? Dia yang harusnya meminta maaf padaku. Kalau Ayah lupa, dia lah yang sudah—"

"Ayah sudah tau segalanya."

Hera menghentikan makannya, dia menatap ayahnya dengan ekspresi wajah lelah yang sama sekali tidak ditutup-tutupi.

"Apa maksud Ayah?" tanyanya.

"Dia memperkosamu? Dia menjebakmu? Kamu sudah dewasa Hera, jangan bermain-main dengan hal seperti itu lagi."

Hera meringis saat melihat ibunya yang nampak sangat terkejut mendengar itu.

"Ayah tidak percaya padaku?"

"Ayah lebih percaya pada rekan kerja yang rasional."

Hera sentak memundurkan tubuhnya pada sandaran kursi, dia benar-benar tidak percaya pada perkataan ayahnya yang baru saja dia dengar.

"Dokter Sean menolongmu dari pria di bar yang hampir melecehkanmu, dia membawamu ke apartemennya karena kahwatir jika ayah melihat pakaianmu yang sangat berantakan dan pipimu yang memar akibat tamparan pria di bar itu." Tambah ayahnya tanpa gentar.

"Dia tidak seperti mantan-mantan pacarmu diluar sana, Hera. Ayah sudah lama mengenalnya. Dia hanya mencintai satu wanita dan sejak dulu tidak akan pernah berubah. Jangan membawanya pada kekacauan yang kamu sendiri penyebabnya."

Hera mendengus, menunduk dan mengusap dahinya dengan sedikit kasar.

Dia tertawa skeptis, "Jadi jika itu dia, aku bebas dibawanya ke apartemennya begitu saja? Ayah sadarkan bahwa kami tidak saling mengenal? Bagaimana jika dia memang berniat memperkosaku?!"

Hera berdiri, menyentak meja dan membuat kedua orang tuanya menatapnya terkejut.

"Hera." Nyonya Travoltra memegangi tangannya, meski dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi namun dia tetap mencoba menenangkan putri tunggalnya yang tampak marah itu.

"Ayah benar-benar keterlaluan." Desis Hera.

Dia beranjak, mengambil tas dan barang-barangnya untuk kemudian berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu... tepat ketika ayahnya tiba-tiba kembali berkata.

"Sudah saatnya kamu menikah."

Hera mendadak terhenti, tubuhnya keluh dan seakan dia baru saja mendengar deklarasi kematiannya, dia berbalik tanpa bisa berpikir apapun.

"Apa?!"

Hera dan ibunya sama-sama terperanjat.

"Mas, apa maksudnya ini semua? Kenapa Hera jadi disuruh menikah?"

"Ayah sudah gila?"

Aldebaran Travoltra yang menatap keterkejutan anak dan istrinya hanya bisa menghembuskan nafasnya berat.

"Sudah saatnya dia menikah sayang, sudah saatnya dia berhenti bermain-main pada setiap pria disekitarnya. Hera harus mulai bertanggung jawab dengan hidupnya dan menerima setiap konsekunsi dari kelakuannya. Semua orang sudah lelah." Dia memegang tangan istrinya yang masih terkejut, dengan lembut.

"It doesn't make any sense!" Suara Hera meninggi.

"Ayah, kita sedang membicarakan Sean sekarang, kenapa tiba-tiba jadi menyuruhku menikah? Memangnya apa hubungan pria itu dengan ku?"

"Ayah akan menjodohkanmu dengan salah satu anak rekan ayah."

"Mas!"
"Ayah!"

Kedua wanita dalam keluarga itu kembali berseru tidak terima. Kenapa keputusan kepala keluarga mereka jadi tiba-tiba seperti ini?

"Ayah dan Bundamu sudah tua, Hera. Kamu harus mengerti bahwa kami tidak bisa terus mengatasi setiap masalah yang kamu perbuat. Dokter Sean sudah menanggung malu atas sikap kekanak-kanakanmu hingga dia hampir terkena masalah dengan dewan rumah sakit. Ayah tidak mau menunggu sampai seluruh dokter dirumah sakit mengalami hal serupa."

Hera menghelah, melihat ibunya yang sama-sama terkejut dan seperti tidak mengetahui hal ini, membuatnya kembali meletakan tasnya di atas meja dengan gerakan lemas.

Pembicaraan ayahnya dalam sarapan pagi ini benar-benar absurd.

Nyaris seumur hidup kedua orang tuanya tidak pernah menyinggung tentang pernikahannya, menanyainya juga tidak... tapi kenapa tiba-tiba pagi ini ayahnya membahas masalah itu? Apa yang sudah terjadi?

Hera mengeleng kuat. "Aku tidak mau, Ayah. Jangan memaksaku!"

"Besok malam saat acara di kediaman Arvino, Ayah akan mengenalkan beberapa anak kenalan Ayah padamu."

"Ayah!" Hera berseru panik.

Namun wajah ayahnya bahkan tidak berubah.

Hera pernah melihat ayahnya marah, kesal ataupun frustasi... tapi yang dia lihat kali ini tidak, wajah ayahnya hanya terlihat datar... tidak memiliki ekspresi, dan keras kepala. Seolah apapun yang akan Hera bantah atau rencanakan tidak akan membuat keputusannya berubah.

"Hera kamu butuh seseorang untuk menuntun dan mengarahkanmu, nak. Kamu tidak bisa terus-terusan seperti ini." Ujar ayahnya pelan.

Yang justru membuat Hera mendengus.

"Aku tidak butuh siapapun Yah. Aku bisa mengatasi diriku sendiri. Jangan bercanda!"

Nyonya Travoltra menyetujui Hera, dia menggeleng dan menahan lengan suaminya pelan, mencoba untuk menenangkan situasi diantara mereka semua.

"Mas, jangan terburu-buru begitu. Kita bisa membicarakan semua ini baik-baik." Katanya.

Tapi keputusan Aldebaran benar-benar tidak bisa diganggu-gugat.

"Sebelum pertengahan tahun, Ayah akan mengadakan pernikahanmu."

Hera dan ibunya membelalak.

Dia berada diambang batas toleransi emosinya karena semua omong kosong yang dikatakan ayahnya sudah benar-benar tidak masuk akal.

Dia memutuskan untuk mengambil tasnya, kemudian hendak pergi dari sana lagi sampai dia mendadak paham penyebab tingkah aneh ayahnya pagi ini.

Hera berbalik.

"Apa semua ini karena Sean? Apa mengembalikan namanya memang sepenting itu bagi Ayah?" Tanya Hera marah.

Aldebaran terkejut.

"Tidak Hera, dia—"

"Baik." Hera menyela.

Dia mengangguk, tersenyum tipis dengan raut wajah mengeras.

"Akan ku buktikan bahwa penilaian Ayah selama ini salah, dan Sean itu hanyalah pria biasa yang sama berengseknya dengan mantan-mantan pacarku yang lain."

***

Langkah wanita itu cepat, dia melewati beberapa lorong kelas universitas pendidikan kedokteran pada siang hari ini dengan sedikit tergesah-gesah.

Suasana hatinya sudah sangat berantakan.

Sarapan pagi dengan omong kosong ayahnya adalah penyebab terbesarnya... dia tidak bisa berkonsentrasi di rumah sakit, emosinya jadi meledak-ledak, dan dia sangat kesal pada semua orang, seolah-olah semua orang sudah melakukan hal yang sangat buruk padanya.

Hera kacau, dan sekarang dia benar-benar membutuhkan seorang pendengar... seorang pendengar sekaligus orang yang bisa menenangkannya dari perasaan marah dan kesal seperti ini.

"Hardin!"

Kelas Filsafat Ilmu Pengetahuan & Etika Pendidikan Kedokteran baru saja selesai saat Hera masuk ke dalam ruangan dan mencari sesosok pria yang sudah menjadi pendengar semua hal yang dikesalkannya satu tahun belakang.

Hardin Kyle.

Pria itu memiliki perawakan yang jelas seperti dari luar negeri. London, British—dengan mata biru terang dan rambut coklat susu yang membuat sebagian besar orang tidak akan percaya bahwa sejak lahir, dia adalah warga negara ini.

Ibunya memiliki garis keturunan belanda-bandung, lalu ayahnya seratus persen keturunan Inggris dengan mata yang sama seperti miliknya.

Tampan dan pintar, semua orang selalu berkata begitu ketika menyebutkan Hardin.

Dengan sifat yang ramah dan mudah bergaul, dia menjadi begitu terkenal di universitas ini... bahkan dari semenjak pendidikan pertama sarjananya, dia seperti sudah mengambil atensi semua orang dengan penampilannya yang sedikit berbeda.

Hera mengenal Hardin saat mereka berada di seminar yang sama. Hardin adalah senior Hera dalam program spesialis, mereka cukup dekat sebagai teman dan partner belajar... semakin dekat hingga tahun berikutnya mereka memulai peruntungan dengan menjalani sebuah hubungan.

Hubungan itu tidak berjalan lama, ada berbagi hal yang terjadi hingga akhirnya Hera memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka.

Tapi baik Hera maupun Hardin tidak ingin pertemanan mereka berakhir begitu saja.

Mereka kemudian kembali mendekatkan diri... lalu hingga sekarang tetap menjalani pertemanan baik, dengan Hera yang selalu membutuhkan Hardin untuk mendengarkan setiap hari buruknya dan Hardin yang selalu menjadi pendengarnya.

"Hey, apa yang kau lakukan disini?"

Oh, Hera benar-benar suka mendengar aksen british milik pria itu.

"Aku butuh pendengar!" Jawab Hera cemberut, dia sedikit berlari menuju podium tempat pria itu barusan mengajar dan langsung memeluknya.

Hardin, seperti sudah biasa menghadapi Hera yang bersikap seperti itu hanya tersenyum, membalas pelukannya seraya mengusap kepala wanita yang jauh lebih muda darinya itu.

"Bad day huh?" Tanyanya.

Hera mengangguk.

"Bad day ever!"

Ruangan kelas sudah kosong, para mahasiswa yang tadi berada di dalam sudah meninggalkan ruangan. Mereka benar-benar tidak ingin berada di satu tempat bersama professor yang meski tampan dan ramah, tapi sifatnya terlalu perfeksionis pada penilaian dan juga pelajaran.... atau dengan kata lain, menyebalkan.

"Baiklah aku akan mendengarkan."

Hardin melepaskan pelukan mereka, dia lalu menarik salah satu bangku di belakang mejanya dan menuntun Hera untuk duduk disana.

"Apa yang terjadi?"

Hera menghela,  "Aku disuruh menikah."

Hardin sedikit terkejut, tapi dia langsung menutupi dengan menormalkan kembali raut wajahnya cepat.

"Ya, lalu?"

"Hanya karena Ayahku ingin mengembalikan nama baik orang yang telah ku libatkan dalam masalah. Dia memaksaku menikah, mengatakan aku akan dijodohkan dengan salah satu anak rekannya dan akan mengadakan pesta pernikahanku pada pertengahan tahun ini agar aku tidak melakukan masalah pada siapapun lagi. Gosh, dia pasti sudah gila!" Hera menggerutu.

Dia kesal, marah dan benar-benar muak memikirkan segala hal yang katakan ayahnya tadi pagi.

Menikah?
Yang benar saja!

Apalagi hanya untuk kebaikan pria yang selalu membuat Hera dalam masalah seperti Sean Aldarict.

"Apa orang yang akan dikembalikan nama baiknya ini adalah orang yang sangat dipercayai ayahmu?" Hardin kembali bertanya, dia mengerutkan dahi.

"Hm, entahlah. Aku tidak peduli. Ayahku hanya berkata bahwa dia sudah lama mengenal pria itu." Hera mengendikan bahunya asal.

"Jika seperti itu, ayahmu mungkin memiliki hubungan dengannya. Kau tau, seperti hubungan baik sesama profesi, hubungan yang melibatkan karir, ataupun hutang budi." Ujar Hardin.

"Manusia akan bertindak gegabah hanya pada saat dirinya terancam, Hera. Ayahmu mungkin melakukan itu semua, karena bisa jadi dia tahu bahwa kau akan merusak sesuatu, tanpa sadar."

Hera skeptis, "Yang benar saja? Itu berlebihan. Apa sebenarnya yang dipikirkan ayahku?"

"Berjaga-jaga karena putrinya bisa membuat banyak pria mengantri untuk menanti kepastian darinya?"

Hera mendadak menatap pria yang dipanggil professor itu geli, suasana hatinya perlahan mulai membaik.

"Oh ya? Kepastian seperti apa?"

Dia menggoda, bertanya dengan nada seolah-olah dia tidak tahu apa artinya pertanyaan itu.

Hardin tersenyum simpul, hidungnya sedikit berkerut.

"Yah, mungkin seperti menerima kembali mantan kekasih yang sudah menjadi teman baik?"

Hera tertawa pelan, suasana hatinya sudah benar-benar kembali. Dia tau, dia tidak akan pernah salah jika mengunjungi pria ini disaat harinya benar-benar kacau.

"Well, bagaimana kalau mantan kekasih itu memberiku sedikit serotonin*? I need some happiness now."

Hera menggigit bibir bawahnya, menahan senyum. Hardin tertawa, mengangguk dan segera menarik lengan wanita itu untuk duduk dipangkuannya.

"Are you sure?"

Hera mengangkat bahu, tidak benar-benar memberikan jawaban yang pasti karena dia sudah lebih dulu membawa salah satu tangannya pada rangang pria dan menarik wajahnya mendekat, mempertemukan bibir mereka dalam ciuman yang lembut.

Hardin menyembunyikan senyum, dia melingkari pinggang Hera dalam lengannya, memeluk wanita itu dan mendorongnya semakin mendekat.

Ciuman mereka mendalam, Hardin menyusuri bibir Hera dengan lambat. Mengecap setiap sudut, mencoba menguasai hingga tanpa terduga, tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka dan suara langkah kaki terdengar mendekati mereka.

Hera dengan cepat menarik tubuhnya, melepaskan ciuman mereka dan kembali ke tempat duduknya, membelakangi orang yang mengintrupsi mereka.

Hardin sama terkejutnya, dia dengan gerakan mendadak berdiri dari bangku dan menatap orang itu dengan canggung.

"O-oh, maaf dokter Sean. Aku tidak tahu kau akan mampir. Kelas baru saja selesai." katanya gelabakan.

Hera berkerut, terperanjat ketika mendengar nama yang disebutkan Hardin lalu secara spontan berbalik dan seluruh tubuhnya langsung terhenti ketika menemukan orang yang baru saja mengintrupsi mereka, telah melangkah mendekati meja Hardin.

"Laporan untuk kau periksa, professor."

Sean.

Suara dalam kepala Hera berteriak marah.

Dari semua hal yang bisa terjadi, kenapa bertemu Sean lah yang justru dialami oleh Hera, siang ini dan disaat dia masih kesal karena ayahnya lebih mempercayai pria itu ketimbang dirinya?

"Terima kasih."

Pria itu berhenti di hadapan mereka, menatap Hera lekat, mengabaikan Hardin, seolah hanya Hera saja yang mampu menarik atensi penuhnya.

Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup dan irisnya jadi semakin menggelap saat itu, arogan.. marah.. kesal... terasa begitu asing sekali.

Hera tidak mengenal tatapan itu, dan dia juga berharap tidak akan pernah tau apa itu artinya.

Jantungnya tanpa peringatan mendadak bergetar. Dia merasa begitu ketakutan pada hal yang bahkan dia sendiri tidak mengerti itu apa, menatap Sean yang seolah sedang mengintimidasinya membuat dia merasa seperti baru saja tertangkap basah melakukan hal yang sangat buruk, selingkuh misalnya?

Baik, itu berlebihan!

Tapi Sean benar-benar membuat Hera ketakutan sekarang.

Hardin yang melihat situasi itu kemudian berdehem, langsung mengacaukan fokus Hera dan Sean yang seperti terjebak bersama.

Sean lantas berbalik, meninggalkan Hera dan Hardin yang tidak berkata apa-apa, begitu saja.

"Maaf, dia memang selalu menatap orang seperti itu." Hardin menoleh pada Hera dengan kahwatir.

"Apa kau baik-baik saja?"

Hera menggerakan wajahnya, mengangguk, namun dia tidak bisa mencegah tubuhnya yang berbalik dan menatap pintu tempat Sean baru saja keluar dengan penasaran.

"Apa dia mahasiswa disini?"

Hardin mengheleng, duduk di bangkunya lalu mulai membereskan alat mengajarnya ke dalam tas.

"Bukan, dia pengajar." Jawabnya.

"Aku tidak pernah melihatnya."

Hera menerutkan dahi, semakin penasaran.

"Selain untuk mengajar, dia memang tidak pernah berkeliaran disekitar. Semua orang menyebutnya antisosial."

***

Hera membawa mobilnya masuk ke dalam parkiran swalayan didekat rumah sakit karena ada beberapa barang yang sedang dicarinya.

Dia hendak membelokan mobil ketika melihat seorang wanita baya tengah berusaha mempertahankan tas bawaannya dari pria yang mengenakan baju serba hitam di ujung parkiran.

Hera terkejut, tanpa berpikir panjang mengarahkan mobilnya kedekat tempat kejadian dan langsung menabrakan mobilnya pada pria yang mencoba merampok wanita itu.

Bunyi berdebum terdengar keras saat pria berbaju serba hitam itu sudah terjatuh beberapa langkah dari bagian depan mobil Hera dan meringis sambil memegangi perutnya.

Hera buru-buru keluar mobilnya, mengambil tas milik wanita baya dari pria itu dan meminta tolong pada sebagian orang yang sudah mengerumuni tempat kejadian untuk memanggil security.

"Heh maling sialan, kau tidak tau mencuri sudah tidak jaman hah?" Dengus Hera jengkel.

Dia menendang kaki pria itu, menambah rasa sakitnya kemudian berjalan mendekati wanita baya yang tadi dirampok pria itu.

Wanita itu terduduk di lantai, wajahnya syok, terlihat masih terguncang atas kejadian yang baru saja menimpahnya.

"Anda baik-baik saja nyonya?" Tanya Hera memastikan, dia memegangi lengan wanita itu dan membantunya berdiri.

Wanita itu mengangguk, memaksakan untuk tersenyum setelah duduk di bangku yang diberikan orang-orang sekitar yang berkumpul tadi.

"Ya, saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menghentikan pencuri itu." Jawabnya.

Hera mendengus, "Menghentikan apanya, saya hanya menabraknya nyonya."

Wanita senja itu tahu-tahu tertawa, lemah karena masih belum benar-benar bisa tenang setelah kejadian tadi.

Para security datang sekitar dua menit kemudian, mereka berlari dan langsung meringkus prampok itu untuk dibawa ke pos keamanan.

Hera dimintai keterangan oleh para security mengenai kejadian yang baru saja terjadi, tidak lama karena dia sudah kembali menemani wanita senja itu semenit kemudian.

"Lain kali bawa seseorang untuk menemani anda belanja, nyonya. Ada banyak sekali kasus pencurian belakangan ini." Kata Hera seraya memberikan air mineral yang dia ambil dari mobilnya untuk wanita itu.

"Saya ditemani supir, tadi saya sedang menunggunya mengambil mobil. Tapi pencuri itu tiba-tiba datang."

Wanita itu menjelaskan, membuat Hera lantas mengangguk paham.

"Ahh."

Selanjutnya sebuah mobil hitam, besar, mewah—alphard datang dan berhenti tepat di belakang mobil Hera.

Seorang supir pria berbadan tegap keluar dari sana, dia sedikit berlari menuju tempat Hera dan wanita itu dengan wajah yang setengah mati begitu khawatir.

"Itu dia." ucap wanita disebelah Hera.

"Maafkan saya nyonya Aldarict, saya tidak tau akan ada kejadian seperti ini. Saya akan lebih hati-hati."

Hera menoleh, melihat supir itu yang sudah menunduk takut pada bosnya.

"Tidak apa-apa Bagas, kau—"

Wanita itu nyaris menenangkan, tapi Hera sudah lebih dulu menyela dengan sedikit jengkel dan membuat wanita itu dan supirnya menatap dia.

"Pak lain kali, bawa seseorang lagi untuk menemani nyonya ini. Jadi jika ada penjahat yang akan menyakitinya, nyonya ini akan aman. Untung saja tadi ada aku, jika tidak mungkin nyonya ini sudah dalam bahaya!"

Supir itu tentu saja mengangguk patuh, "Baik nona, saya akan memastikan keselamatan bos saya. Terima kasih telah menyelamatkannya."

Tapi Hera masih saja mendengus.

"Kau beruntung bosmu bukan ibuku, karena kalau ibuku yang mengalami hal seperti ini, aku akan langsung memecatmu. Tsk!" Kesalnya, membuat
wanita baya yang duduk disebelahnya langsung tertawa pelan.

Wanita itu kemudian berdiri, dia dibantu oleh supirnya berjalan mendekati mobil.

"Terima kasih, nak."

Wanita itu berbalik, mengusap pipi Hera lembut—penuh terima kasih, sebentar sebelum dia benar-benar memasuki mobilnya.

Melihat itu Hera tiba-tiba teringat sesuatu.

"Ah, tas anda." Katanya.

Dia memberikan tas yang sejak tadi tersampirkan di bahunya kepada wanita itu, lalu tersenyum, ikut membalas.

"Saya pergi dulu yah."

Hera mengangguk kemudian melambaikan tangan pada mobil yang sudah melewatinya.

"Hati-hati di jalan!"

***

Tepat pada pukul tujuh tiga puluh lima malam, Hera memasuki ruang diskusi para dokter dimana mereka akan melangsungkan pembahasan pembentukan tim operasi baru yang akan ditangani lusa depan.

Seorang perawat registrasi yang tadi memberitahukannya, jadi setelah membersekan barang-barang diruangannya dia turun ke lantai tiga untuk bergabung dalam diskusi itu.

Hera hanya terlambat beberapa menit ketika pembukaan diskusi baru dimulai oleh moderator. Dia segera masuk ketika dokter-dokter, ada delapan orang di sana, berbalik menatapnya yang baru memasuki ruangan.

"Maaf," Hera berguma pelan, lantas membuat dokter-dokter itu kembali memfokuskan perhatiannya pada moderator di depan mereka.

Dia mengambil tempat di sebelah Stephen, duduk, kemudian mengeluarkan catatan serta alat tulisnya, sampai menemukan seseorang yang tadi siang bertemu dengannya di Universitas sedang menatap dari meja sebrang.

Tatapan pria itu masih sama, terlalu lekat, tapi semenit kemudian dia mengalihkan tatapannya, membuat Hera mengernyit tidak mengerti dan dengan cepat mengabaikannya.

"Untuk dokter umum yang terlibat, saya sudah menyiapkan daftar rekomendasi, namun jika para dokter memiliki saran.. saya persilahkan."

Mereka sampai di pembahasan anggota tim operasi beberapa saat berikutnya.

Dalam proyektor, terlihat nama-nama calong anggota tim yang memiliki kemampuan memadai untuk kasus ini, selain dari nama delapan orang dokter utama di dalam ruangan.

Mereka mulai berdiskusi ringan, mencoba menguatkan argumen mereka atas pilihan beberapa anggota hingga Hera dengan yakin, mengangkat tangan.

"Ya dokter Hera?" Pemoderator bertanya.

"Saya rasa kita harus memasukan dokter Anggraini dalam operasi ini. Kita menangani kasus untuk anak kecil, jadi walaupun dia masih baru saja masuk, tapi saya rasa dia cukup layak. Sejauh yang saya perhatikan, pekerjaannya selalu baik dan dia juga sangat cepat berbaur dengan anak-anak, kita mungkin bisa—"

"Dokter Anggraini, masih belum siap ikut dalam operasi. Selain masih baru, keterampilannya juga masih diragukan. Nilai yang dia miliki pada saat pendidikan, cukup. Tapi itu tidak menjamin apakah dia bisa mengikuti prosedur operasi, atau tidak. Dia mungkin hanya akan menjadi cela pada saat operasi."

Perkataan Hera dibantah, dan semua orang dalam ruangan serentak menoleh pada orang yang baru saja  melakukannya.

"Tapi kita bisa memanfaatkan dia untuk pendekatan psikis ke pasien anak. Dokter Anggraini memang cendeung menjadi cela dalam operasi, tapi dia bisa menjadi penstabil yang bagus bagi pasien dan keluarga pasien." Hera kembali berkata, tetap kukuh.

Sean menggeleng, dia dengan jelas menolak apa yang baru saja dikatakan wanita itu.

"Prosedur operasi adalah prioritas utama, dokter Hera. Keselamatan utama pasien berada pada saat operasi. Pendekatan psikis yang dilakukan dokter tidak terlalu berdampak besar dalam operasi karena pendekatan psikis bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk perawat jaga."

Dia menunjuk salah satu profil dokter dalam proyektor, "Saya menyarankan dokter Tessa, prospek kerja yang bagus dan catatan yang bersih. Dia juga akan bisa berguna dalam prosedur operasi."

Rapat selanjutnya diselesaikan dengan sedikit tidak kondusif, pendapat yang dikatakan Hera dalam setiap diskusi terus saja dipatahkan Sean.

Dia menyanggah, menolak perkataan Hera, membuat para dokter berpihak padanya dan.... tentu saja mempermalukan wanita itu, membuat Hera dibangkunya bersumpah serapah.

Rapat selesai pada pukul sebelas malam.

Beberapa dokter sudah lebih dulu keluar dari ruangan setelah di persilahkan, hanya tinggal beberapa orang yang tersisa disana, dan Hera adalah salah satunya.

Wanita yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada itu masih berada di tempat duduknya, memperhatikan dengan lekat bagaimana pria yang sejak tadi telah mengganggunya sedang berbicara beberapa hal dengan Stephen.

Lalu tepat setelah Stephen pamit dan meninggalkannya, Hera bangkit. Dia berjalan mengikuti pria itu keluar menuju lift diujung lorong dan memasuki tempat itu ketika pintu berdenting.

Tidak ada orang selain mereka disana, Hera mengambil tempat dihadapan tombol kontrol lift dengan bergegas. Dia menyipitkan matanya saat menatap pantulan pria itu dari balik pintu stainless lift ketika tertutup.

Sudut bibirnya tertarik untuk tersenyum tenang.

"Kau benar-benar pria keras kepala ya kan?" Katanya.

"Well, ku akui. Kau memang pria yang pintar sekali berdebat. Mengalahkan saran siapapun, melakukan segala hal yang kau pikir paling benar dan tidak membiarkan lawanmu memiliki sedikitpun kesempatan menang."

"Tapi itu kejam Sean, apalagi dilakukan oleh pria sepertimu."

Pria itu balik menatap Hera dari pantulan pintu, raut wajahnya tidak terbaca, dia hanya tiba-tiba saja menjawab.

"Itu adalah sebuah diskusi, jika kau tidak bisa terima dengan keputusan yang telah disetujui kau bisa meminta diskusi ulang."

Yang membuat Hera menahan tertawaannya dan lantas menoleh, "Kau tau bukan itu maksudku."

Pria itu ikut juga menoleh, tatapannya berkilat, seolah dia sedang ingin menantang.

"Apa maksudmu?" suaranya tenang.

Hera melangkahkan kakinya mendekati tombol kontrol lift, tanpa terduga menekan dua tombol lantai paling atas dan dua tombol lantai besmen rumah sakit bersamaan.

"Oh, aku ingin sekali berbasa-basi dengan mu, tapi melihat tingkah menyebalkanmu tadi membuatku jadi terlanjur muak." Katanya, bersandar di dinding lift dengan tangan yang kembali bersidekap didepan dada.

"Apa yang kau inginkan? Kau tentu sadar, kau tidak sekali dua kali mempermalukanku dihadapan mereka kan?" Hera mengerutkan hidungnya, tampak menyindir.

"Katakan padaku apa yang membuatmu melakukan itu, Sean? Apa kau punya masalah denganku?"

Sean di sampingnya diam, memandang dengan wajah sedatar yang selalu dia lakukan, menganggap bahwa dia sama sekali tidak perlu menjawab pertanyaan itu.

"Kenapa kau diam? Apa kau mendadak bisu? Tidak bisa bicara?" Hera mendengus.

Dia berada dititik dimana dia mungkin akan segera frustasi hanya karena menghadapi pria apatis seperti Sean.

"Baiklah, terserahmu. Aku mengerti, kau pasti membenciku karena kejadian semalam saat Qyra datang dan aku—"

"Hey, apa kau kesal karena aku berciuman dengan professor Hardin?"

Hera tau banyak hal gila lain selain itu, tapi menyaksikan bagaimana tiba-tiba saja bahu pria itu menegang dengan rahang yang mendadak mengeras setelah mendengar perkataannya, Hera terang saja tersenyum.

Jackpot! Teriak batinnya.

"Well, yah. Aku dan Hardin memang saling berhubungan. Tapi itu terjadi, jauh sebelum dia menikah dan aku tahu ternyata istrinya sudah lebih dulu mencintai Hardin." jelasnya tanpa diminta, suara Hera terdengar santai, cenderung menggoda dan mencemooh.

"Dan karena aku adalah wanita yang baik hati. Jadi tentu saja aku aku melepaskannya. Aku membiarkan mereka menikah dan juga mendatangi pernikahan mereka... tapi hubungan diantara kami masih tetap membaik."

Dia tersenyum, "Hardin sering menjadi pendengar dan membantuku dalam situasi-situasi menjengkelkan. Lalu aku sering memberinya masukan untuk menyenangkan hati istrinya."

"Seperti, break up, but still have situation."

Hera mendapati raut wajah dan tubuh Sean tampak lebih terganggu lagi. Dia sama sekali tidak melihat Hera, pandangannya terfokus pada pintu masuk, menunggu kapan tepatnya pintu lift itu segera terbuka agar dia bisa pergi dan menghindari pembahasan wanita itu.

"Dan siang tadi, seperti yang kau lihat, aku datang padanya. Meminta pendapat karena ayahku mulai bertingkah aneh, tapi seperti biasa... kami berakhir dengan sedikit berlebihan."

Hera mengangkat bahu dan mengangguk, "Aku menyukainnya. Selain karena dia adalah pendengar yang baik, dia juga seorang pencium yang hebat."

"He knows me."

Suara Hera memberat, dia dengan sengaja membawa ibu jarinya kedepan bibirnya, menggigit pelan dan menatap Sean dengan sebelah alis terangkat, begitu memprovokasi.

"Ah tapi itu tidak mungkin jadi penyebab tingkah menyebalkanmu hari ini kan? Kita bukan siapa-siapa."

Ketika kata itu selesai, Sean langsung menoleh. Wajahnya mengeras, tampak semakin kesal? marah? Atau apapun... Karena Hera justru membalas tatapannya dengan lekat, seraya menggigit bibir bawahnya.

"Tunggu, apa tadi aku bilang aku adalah wanita yang baik hati?"

Hera maju, menekan tombol stop pada kontrol lift dan berjalan mendekati Sean.

"Kau mau tau kenapa?"

Wanita itu membawa jarinya pada bahu Sean, mendorong pria itu pada dinding lift di belakang mereka dan memenjarakannya seketika.

"Karena aku suka memberikan setiap orang kesempatan."

Hera menatap bibir dan mata Sean yang mulai tidak terkendali, tersenyum dan melangkah semakin mendekat, menghabiskan jarak diantara mereka berdua dengan menumpuhkan tangannya di salah satu sisi didekat rahang pria itu.

"Dalam bentuk apapun. Bertemu, jatuh cinta, menghentikan hubungan.... dan, memberikan sebuah ciuman."

Dia menggit bibir bawahnya sekali lagi, sedikit menjijit untuk mencapai sisi wajah pria itu, dekat dengan telinganya.

"Pria tampan yang sulit ditakhlukan sepertimu, salah satu syaratnya. Dan karena kau memenuhi kriteria, aku bisa saja memberikanmu sebuah ciuman jika kau mau."

Hera menggerakan wajahnya, tangannya yang bebas menahan tengkuk Sean, hanya sedikit lagi menjatuhkan bibirnya pada bibir pria itu ketika Sean tiba-tiba menghindar dan membuat bibir Hera justru bertemu dengan pipinya.

Hera tertawa skeptis, "But you always won't let this easy, don't you?"

Dia maju untu mengecup pipi Sean sekali lagi, menjauhkan sedikit wajahnya dan menatap pria itu dengan sudut mata yang berkerut geli.

"Your girlfriend should be proud of you, handsome." Bisik Hera.

Dia menarik tubuhnya lebih jauh, berbalik, menekan tombol membuka pintu lift dan berkata acuh sebelum akhirnya berjalan keluar.

"Berikan salamku padanya!"

Membuat Sean yang masih membuang tatapanya, mengeratkan genggaman. Rahangnya mengeras, dan untuk sebuah alasan, dia tau bahwa wanita itu lebih mengkhawatirkan dari yang dia kira.

***
Enjoy!


Serotonin : suatu hormon ini dipercaya sebagai pemberi perasaan nyaman dan senang.

with love,
nambyull

Continue Reading

You'll Also Like

40.9K 3.4K 63
[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan...
574K 28.1K 57
Sederhananya ini adalah kisah tentang Bryan yang ditinggal menikah dan Laura yang gagal menikah.
26.7K 1.4K 30
(Diterjemahkan dengan Google Translate.) Ketika dia membuka mata, dia berpakaian seperti menantu perempuan yang bertugas di militer pada tahun 1970-a...
7.7K 782 31
Tentang petrichor. Bukan tentang angin yang berkejaran dengan daun dan debu. ditengah dahaga para beringin tua. saat hujan datang yang seolah menyura...