ephemeral

By passhion

41.9K 4K 1.1K

ephemeral (adj.) lasting for a very short time. More

tgthr
stdyn
hrtn
aplgzn
cnvrstn
fghtn
scldd
lvn
chttn
drvn
lst
brkn
frgttn
lft
hppnss
lf
lv
mtn
flln
trn
sn
strtn
bth
ntrdctn
mtl
rvl
fr
dvc
trp
rmt
str
rgrt
tll
brth
spndn
nw
trth
rvld
cthrss
rlzn
sprhrs
shw
aftrshw
qns
vctn
wtnssn
thnkn
svn
chsn
ttckd
plyn
bs
ngl
here comes question
fld
chrstms
dry
stll
stts
clbrtn
ffndd
shckn
sltn
wy
dnt
bff
whl
prps
rfg
prmss
dsppntmnt
vsttn
wrst
pln
grmny
plg
paraprosexia
new story

prlg

3K 122 17
By passhion

Hari ini, lagi-lagi Audrey menghilang entah ke mana.

Max dan segala rasa khawatirnya sudah mencoba untuk menghubungi gadisnya itu. Dari satu cara ke cara lain, dari satu aplikasi ke aplikasi lain, dari satu manusia ke manusia lain. Hasilnya tetap sama. Audrey Agatha Jeremia tidak bisa ditemukan.

Pernah suatu kali, gadis itu pergi begitu lama, tapi tidak selama ini. Walaupun tidak memberi kabar, gadis itu masih bisa ditemukan. Tidak seperti sekarang.

Max merasa dia sudah kehilangan segala cara ketika satu nama terlintas di kepalanya.

Dengan terburu-buru, cowok itu menghubungi ibunya.

"Ma!"

"Apa sih, Kak, teriak-teriak?" gerutu Stephanie, adiknya, terdengar kesal dan kaget. "Mama lagi ke dokter sama papa. Hapenya—"

"Ada Audrey gak di sana?"

"Hah, Kak Audrey mau ke rumah?!" suara bocah perempuan itu terdengar sangat bahagia. "Yes, nanti—"

Max segera memutus panggilan.

Setelah memastikan gadisnya tidak ada di dalam gedung sekolah, termasuk di dalam gudang dan toilet, cowok idola para gadis itu segera menaiki motornya dan melajukannya secepat yang dia bisa.

***

"Drey, Max nyariin lo."

Audrey menghela nafasnya lelah. "Iya, gue lupa ngabarin dia."

Fiona, sahabat satu-satunya yang saat itu meneleponnya terdengar sangat jengkel. "Sebenernya lo di mana sih sampe gak bisa ngabarin pacar lo sendiri?"

Audrey terdiam.

Di ujung sana menghela napas pelan. "Gue cuma kasian aja sama Max, dia udah kayak orang gila nyariin lo."

Kali ini, cewek itu menjawab, "Gue matiin sekarang, ya, Fi. Gue mau ngabarin dia."

Pukul sembilan malam, Audrey yang masih berada di luar rumah baru teringat akan pacarnya. Namun, tepat sebelum dia sempat menelepon Max, Fiona sudah lebih dulu meneleponnya. Itulah mengapa tadi dia minta teleponnya diputus.

"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi..."

Panggilan ke-10 gagal juga.

Audrey menghela nafas lelah untuk yang kesekian kalinya di hari itu.

Dalam hati, dia menganggap wajar Max yang tidak mengangkat teleponnya. Pasti cowok itu marah karena dia hilang tanpa kabar selama sembilan jam, terhitung dari jam 12 ketika jam istirahat kedua berakhir.

Hatinya mengatakan, tak apalah cowok itu tidak menjawab panggilan. Toh, dia baik-baik saja. Max juga pasti baik-baik saja.

Esok hari, Audrey yakin, pasti keduanya akan baik-baik saja karena cewek itu akan meminta maaf dan memberikan Max pengertian.

Hal seperti itu sudah sering terjadi, dan akhirnya selalu sama. Walau Max marah, cowok itu tidak bisa marah lama-lama terhadap beberapa orang tertentu, termasuk pacarnya, Audrey.

Ketika sedang menunggu angkutan umum di halte terdekat, Audrey yang masih mencoba untuk menghubungi Max melihat sebuah motor berhenti di hadapannya.

Motor hitam polos itu begitu familiar. Sebenarnya, ada dua motor yang sama persis, sama-sama berwarna hitam polos tanpa sentuhan warna atau ornamen apapun. Dari dua motor itu, jika akhir nomor polisinya berhuruf T, maka itu milik Tyler, dan, jika akhir nomor polisinya berhuruf M, maka itu milik Max.

Dan, motor yang berhenti di depan Audrey saat itu memiliki akhiran T.

"Tyler?" Audrey tersenyum, sedikit mendengus. "Ngapain lo di sini?"

Cowok bernama Tyler itu sedikit merapikan rambutnya setelah sebelumnya melepaskan helm full face-nya. "Lo sendiri, ngapain di sini?"

"Gue nunggu angkot."

"Max mana?"

Audrey menghela nafas lelah lagi. "Gak tau. Di mana sih dia? Gue dari tadi nelepon gak diangkat-angkat."

Tyler turun dari motornya, duduk di sebelah cewek itu. "Udah coba telepon ke rumahnya?"

"Astaga belum." Audrey segera menyalakan layar kunci ponselnya untuk— "Mati."

Tyler mendengus mengetahui ponsel Audrey kehabisan baterai. "Sedih amat sih lo, Drey." Cowok itu meminjamkan ponselnya kepada gadis di sebelahnya. "Nih."

Setelah telepon selesai, isi percakapan tersimpul jelas bahwa cowok itu tidak berada di rumah. Bahkan, keluarga Max juga kelimpungan mencari keberadaan cowok itu.

Sebagai seseorang yang memiliki hati, Audrey mulai merasa khawatir. "Di mana, ya, dia? Ini kan lagi musim begal."

Tyler menepuk puncak kepala cewek yang sedang kalut itu. Dengan tangan kanannya, dia menarik Audrey dengan lembut.

"Gue anter lo pulang, abis itu gue cari pacar lo."

Audrey menggigit bibirnya. "Serius? Gue ikut deh."

"Jangan, Drey, bahaya."

Audrey bersikeras, cewek itu menggeleng.

"Drey, Max pasti—"

"Di sini."

Keduanya menoleh ke sana, tempat di mana Max sudah berdiri dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana seragamnya.

"Max?" Audrey mendekati pacarnya yang terlihat lelah sekaligus lega. "Max, maaf, gue—"

"Maaf lo murah banget, ya," ujar cowok itu pedas dan menusuk. Di akhir kalimatnya, dia mendengus.

Audrey mengusap wajahnya. "Jadi gue harus bilang apa?"

"Apa pun yang lo bilang saat ini useless, Drey." Lalu, cowok itu melepas jaketnya, memberikannya pada gadisnya. "Pake."

Dan Audrey mengenakannya segera. Tidak bisa dipungkiri, cewek yang sedari tadi tanpa balutan jaket itu sangat merasa kedinginan.

"Ayo," ajak Audrey. Tidak ada jawaban, jadi cewek itu sedikit menengadah, menatap cowok di sebelahnya yang lebih tinggi darinya. "Max?"

Max, cowok yang emosinya sedang berkecamuk itu berkata kepada sahabatnya, terdengar dingin dan marah, "Lain kali, lo nggak perlu nyentuh pacar gue."

Tyler mengangkat kedua tangannya. "Oke, sorry."

Selama di perjalanan, yang terdengar hanya hembusan angin dan deru kendaraan.

Bahkan, ketika Audrey sudah sampai di depan rumahnya, Max tidak mengucapkan sepatah katapun.

Sama sekali.

***

Maximus sampai di rumahnya pukul 23.30 malam. Dia tadi tidak langsung pulang, dia mampir di mini market untuk membeli jajanan yang adiknya titip dengan bercanda tadi pagi. Bercanda di sini maksudnya mencoba peruntungan, barangkali kakaknya yang terkadang cuek itu mau membelikannya barang sebuah biskuit cokelat.

Max berjalan dengan lelah, melintasi ruang keluarga untuk naik ke kamarnya. Tapi, tiba-tiba, dia melihat sekelebat bayangan melintas di hadapannya.

Awalnya, dia kira itu hantu atau apa. Ternyata, itu ibunya yang berlari dari kamar ke dapur untuk—

"Ma?" panggil Max, menyusul ibunya ke dapur.

Tidak lama kemudian, ayahnya menyusul, menghampiri ibunya dan mengurut tengkuk wanita paruh baya itu yang kini sedang mengeluarkan isi perutnya di wastafel, mengingat kamar mandi kamar orangtuanya sedang rusak.

Max bergeming di tempatnya ketika dia paham akan apa yang sedang terjadi.

"Ma, Pa?!" Rahang cowok itu jatuh, tertarik gravitasi. "Seriously?!"

Zachary berkata kepada anaknya, "Kamu tidur di kamar papa dulu, ya."

Masih tecengang, cowok itu mengangkat kedua alisnya. "Udah berapa bulan?"

Zachary berkata sambil memegangi rambut istrinya, "Tiga."

Max menggeleng takjub. Cowok itu berkata, antara senang dan shock.

"Keren."

***

welcome, fellas! ❤

to God be the glory,
nvst.

Continue Reading

You'll Also Like

7.6K 2K 68
[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = =...
708K 10.2K 12
「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝Darling, just remember this; don't fight fire with f i r e.❞ Seharusnya mungkin tidak seru...
9.7K 1.9K 40
(Selesai) "Waktu kita mendaki bareng gue banyak belajar. Di sini gue nemenin lo dari pagi buta jalan bareng di bawah langit biru tanpa mengeluh ketik...
50.2K 6.3K 29
Potongan-potongan cerita tentang Brian dan Enam Hari basis Surabaya.