Just You (Bradley Simpson)

By itscutieoreo

5.1K 556 73

[Written in bahasa] All I have just you More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - See You in New York
CHAPTER 2 - Say Goodbye
CHAPTER 3 - Arrived
CHAPTER 4 - Not as Sweet as You Are
CHAPTER 5 - Just a Lucky Girl
CHAPTER 6 - Stranger Man
CHAPTER 7 - Don't Leave Me Again
CHAPTER 8 - I Won
CHAPTER 9 - May I Have Your Eyes?
CHAPTER 10 - I'll Begin My Game
CHAPTER 11 - Hurt, But That's Okay
CHAPTER 12 - He Said I'm Beautiful
CHAPTER 13 - Night Talk
CHAPTER 14 - Who Are You?
CHAPTER 15 - Lies
CHAPTER 16 - Forgive Me
CHAPTER 17 - Fear
CHAPTER 18 - The Same Feeling
CHAPTER 19 - Cupcake
CHAPTER 20 - Kiss and Tell
CHAPTER 21 - Threats Haunt Me
CHAPTER 22 - Threats Haunt Me (2)
CHAPTER 23 - Bad Day
CHAPTER 24 - When You Ignore Me
CHAPTER 25 - Coming Home
CHAPTER 26 - Ask You in 443 ft
CHAPTER 27 - Jealousy
CHAPTER 28 - Desire
CHAPTER 29 - This is Insane
CHAPTER 30 - Fucked Up
CHAPTER 31 - Kindest Person
CHAPTER 32 - Appreciate
CHAPTER 33 - This Silence
CHAPTER 34 - Voices
CHAPTER 35 - Cruel
CHAPTER 36 - By Your Side
CHAPTER 37 - Puzzle
CHAPTER 38 - Violet
CHAPTER 40 - Unconditionally

CHAPTER 39 - Hometown

18 2 2
By itscutieoreo

John F. Kennedy International Airport

05.15 A.M.

"Kau yakin tidak ada yang tertinggal? Di mana passportmu?" tanya Tristan kepada Brad, begitu dia selesai mengeluarkan koper terakhir kami dari mobil kemudian menaruhnya ke troli. Brad mengeluarkan passport dari dalam saku jaketnya kemudian menunjukkannya kepada Tristan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Baiklah," ujar Tristan.

Memutar bola mata, aku sedikit jengah dengan tingkah Brad di mana dia masih bersikap dingin dan enggan berbicara pada Tristan. Padahal keadaan sudah jauh lebih baik sekarang. Tristan dengan suka rela menawarkan diri untuk mengantarkan kami ke bandara pagi ini. Tentu hal tersebut cukup membuat kami terkejut. Walaupun aku sedikit terkejut, tetapi hal tersebut cukup membuatku senang karena bagaimanapun juga sekarang Tristan adalah bagian dari keluarga Brad. Tetapi Brad tetaplah Brad. Dia bersikeras menolak tawaran Tristan, bahkan Brad sampai mengancam Tristan akan menghajarnya jika dia berani menginjakkan kaki di rumahnya. Di sinilah aku bisa berperan, aku tidak akan pernah lelah mengingatkan Brad agar tidak terlalu keras terhadap Tristan maupun orang lain. Begitulah bagaimana akhirnya Brad mau menerima tawaran Tristan.

"Terima kasih Tristan atas bantuanmu. Sampai jumpa lagi," ujarku kemudian dilanjutkan dengan memeluk Tristan singkat sebagai tanda perpisahan sementara.

"Anytime, Summer, semoga penerbangan kalian menyenangkan, aku akan merindukan kalian," jawabnya.

"Kita hanya pergi beberapa hari, tidak usah terlalu mendramatisir keadaan," timpal Brad, seketika aku mencubit perut Brad dan memberinya tatapan isyarat.

"Baiklah, lihat saja nanti, siapa yang akan merindukanku," ujar Tristan.

"Jangan terlalu berharap," Brad menyangkal. Tristan memutar kedua bola matanya tanpa melontarkan kata-kata lagi. Lagipula ini bukan waktu yang tepat untuk membuat keadaan kembali memanas. Aku kembali mengucapkan terima kasih kepada Tristan sebelum kami beranjak ke tempat check-in . Oh ya Tuhan, akhirnya aku akan kembali ke London, sungguh aku sudah sangat merindukan Mum dan Clark. Pukul 06.00 A.M. waktu New York akhirnya pesawat kami lepas landas meninggalkan New York menuju London.

"Tidurlah, sayang, Penerbangan kita akan memakan waktu 8 jam, aku tidak ingin kau kelelahan," ujar Brad.

"Santailah sedikit Brad, kita nikmati saja penerbangannya," jawabku, atau lebih tepatnya omong kosongku, karena satu jam kemudian aku sudah terhanyut dalam alam mimpiku. Brad membangunkanku ketika pesawat kami sudah mendarat di London.

"Bangunlah putri tidur, kita sudah sampai." Seketika aku mengerjapkan mataku, menggeliat dan detik itu juga kudapati wajah Brad yang tiba-tiba sedikit menyebalkan, karena dia tampak seperti menahan tawa dan secara tidak langsung raut wajahnya seperti sedang mengejek diriku. Apa?

Setelah selesai mengambil barang-barang yang berada di kabin, Brad membantuku untuk bangkit dari tempat duduk lantas menggandengku keluar dari pesawat. Akhirnya aku bisa menghirup udara London setelah sekian lama tinggal di New York. Aku tidak mengerti lagi, perasaan ini terlalu bahagia, mengingat aku kembali ke London bersama Brad dan akan bertemu dengan keluargaku secepatnya. Sudah banyak sekali rencana yang tersusun di kepalaku mengenai apa saja yang akan aku lakukan di London bersama Brad maupun keluargaku setelah ini.

Aku dan Brad sedang dalam perjalanan menuju rumahku, Brad duduk disampingku, kedua tangannya memegang erat setir kemudi. Aku kembali teringat satu pertanyaan yang belum sempat terjawab sampai sekarang. Jadi kuanggap kali ini merupakan suatu kesempatan untuk bertanya padanya dari mana dia bisa mendapatkan mobil di London. Dan setelah Brad memberitahuku, bahwa ternyata dia harus memiliki kendaraan di mana saja untuk memudahkannya ketika sedang dalam perjalanan bisnis. Oh Summer, bagaimana kau bisa lupa siapa itu Brad? Kau tidak seharusnya menanyakan perihal tersebut, tentu siapa saja bisa menebak jawabannya. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama satu jam dari Heathrow menuju Westminster, akhirnya aku tiba di sebuah rumah penuh kenangan yang selalu akan ku rindukan di mana pun dan kapan pun aku berada.

Aku berlari kecil kemudian mengetuk pintu begitu keluar dari mobil, tak berselang lama seseorang membuka pintu. Aku tidak bisa menutupi rasa kebahagiaanku disaat itu pula. Aku memeluk erat-erat tubuh yang semakin hari semakin kurus itu.

"Oh sayangku, apa aku sedang bermimpi?" ujar Mum yang seketika membalas pelukanku tak kalah erat, mengecupku berulang-ulang seolah sudah berabad-abad kami tidak bertemu, "Clark turunlah!!!" pekik Mum.

"Oh Mum, aku sangat merindukanmu." Sungguh aku sudah sangat merindukan pelukan seorang ibu dan energi positif yang selalu terpancar darinya.

"Kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau akan pulang?" gerutu Mum.

"Semua ini ide Brad Mum, dia yang merencanakan semuanya. Sungguh, aku juga tidak pernah terpikirkan jika waktu dekat ini akan ke London, karena kau tahu sendiri kalau tiket penerbangan dari New York ke London tidaklah murah." Detik itu juga mata Mum beralih ke balik badanku. Rahangnya terjatuh, kedua matanya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.

"Brad? Oh ya Tuhan, kemarilah sayang." Mum berjalan melewatiku lantas merengkuh Brad ke dalam pelukannya.

"Hei Carol, senang bisa bertemu denganmu lagi," ujar Brad seraya membalas pelukan Mom.

"BRAD!!!" seseorang berteriak seraya berlari dari dalam rumah. Clark keluar dengan wajah berbinarnya.

"Hei Clark," sapa Brad. Clark mematung di ambang pintu, mulutnya menganga, matanya tidak bisa melepaskan pandangannya dari Brad. Oh sungguh, dia hanya antusias pada Brad? Clark memeluk erat Brad bahkan dia hampir lupa kalau aku juga ada di sini.

Sesaat setelah selesai saling melepas rindu, Mum mengajak kami masuk ke rumah. Brad bersikeras membawa semua koper dan tas dengan sendiri, dan tidak mengizinkanku sedikit pun untuk membantunya. Untuk beberapa hari kedepan kami akan tidur di kamar lamaku, well, karena di rumahku hanya ada tiga kamar sehingga mau tidak mau aku dan Brad harus berbagi kasur yang cukup kecil ini.

"Hei, bagaimana keadaanmu saat ini?" tanyaku pada Brad. Brad tengah menatap keluar jendela tiba-tiba berbalik dan menatapku. Ya, aku tahu, pertanyaanku ini mungkin terdengar aneh. Tidak ada angin maupun hujan tiba-tiba menayakan keadaannya padahal sudah seharian ini aku bersamanya.

"Aku baik-baik saja, terima kasih. Ada apa kau menanyakan keadaanku, sayang?"

"Aku hanya memastikan kau baik-baik saja─maksudku─"

"Aku baik-baik saja, sayang, tidak ada yang perlu kau khawatirkan." Aku menghelas nafas lega. Aku hanya takut dia mengalami cemas dan serangan panik lagi, karena kondisi seperti itu bisa menyerang kapan saja. Brad beranjak dari tepi jendela, lantas berjalan menghampiriku yang duduk di tepi ranjang. Kedua tanganya menangkup wajahku, seketika aku terhipnotis dengan sorot mata cokelat nan indah itu. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, okay?" sambungnya. Aku mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, sekarang bersihkan badanmu terlebih dahulu, aku akan turun membantu Mum menyiapkan makan malam. Kutunggu kau dibawah."

"Summer," suara Brad seketika membuatku mengurungkan langkah kaki yang hendak menuju pintu. Aku berbalik. "Menurutmu siapa yang menempati rumah itu?" tanyanya dengan suara yang sedikit lirih. Brad kembali berdiri menghadap ke jendela, matanya memandang sesuatu ke arah luar jendela. Dia memandang sebuah rumah klasik khas era victoria yang sudah direnovasi dengan cat tembok berwarna abu-abu, di mana sebelumnya berupa bata ekspos.

"Mereka keluarga kecil berasal dari Paris. Ada apa kau menanyakan?"

"Apa yang mereka lakukan disini? Bukankah Paris jauh lebih keren dari London?"

"Oh aku tidak tahu Brad, kenapa kau tidak tanya sendiri saja."

"Oh yang benar saja." Brad berbalik, memutar bola matanya seraya mengangkat kedua tangannya dengan dramatis. Aku terkekeh.

"Kau merindukannya, bukan?" Brad terdiam untuk beberapa detik.

"Apa?"

"Rumah itu, dan semua kenangan yang ada di sana."

"Tidak, hidupku sudah berubah sekarang, aku sudah tidak merindukannya sama sekali." 

"Hei." Aku maju beberapa langkah ke arahnya. "Dulu aku duduk persis di tempatmu berada sekarang, memandang rumah itu, membayangkan jika kau masih berada di dalam sana sementara kau di New York, di saat itu aku menyadari bahwa aku sedang merindukan seseorang. Menurutku, merindukan seseorang bukanlah hal yang memalukan atau membuatmu terlihat seperti pengecut. Tapi dengan menaruh rasa rindu pada seseorang berarti menunjukkan betapa bersungguh-sungguhnya kita mencintai orang itu," tuturku. Aku berusaha memandang wajahnya dari samping. Mengamati kemana arah matanya memandang. Sorot matanya menampakan guratan kesedihan yang mendalam, tapi dia berusaha menutupinya. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Brad." sambungku kemudian mengusap pipinya lantas berbalik, meraih pintu dan keluar kamar.

Makan malam kali ini entah mengapa terasa begitu hangat bagiku. Membicarakan banyak hal hingga kami tidak menyadari sudah menghabiskan waktu 2 jam lebih di meja makan. Banyak hal yang Mum tanyakan padaku, entah itu mengenai keseharianku di New York, kuliahku, bahkan Mum sangat penasaran dengan bagaimana lingkungan di New York. Tak hanya padaku, Mum juga menanyakan banyak hal pada Brad. Aku mengamati setiap respon maupun gerak geriknya, dan nampaknya semuanya baik-baik saja. Brad berbicara pada Mum sebagaimana biasanya dia berinteraksi dengan orang lain.

***

"Oh ya Tuhan, aku bersumpah ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku naik wahana itu," gerutuku.

"Oh ayolah Summer, kesan pertama memang tak jarang kurang menyenangkan. Percayalah padaku, kau akan menyukai pada percobaan kedua," timpal Ashley.

"Tidak, terima kasih," tukasku. Bukannya menyesal, Ashley justru tertawa keras melihat penderitaanku akibat perbuatannya.

Berjalan membelah ramainya kerumunan orang-orang, tiba-tiba kepalaku terasa sedikit pening dan perutku mual akibat dari naik wahana roller coaster. Tidak seharusnya aku menuruti perkataan Ashely tadi, sial, dan sekarang aku merasakan akibatnya.

Saat ini kami sedang berada di Winter Wonderland yang terletak di Hyde Park London. Beruntung aku datang ke London di saat yang tepat, di mana bertepatan menjelang musim dingin dan natal sehingga bisa berkesempatan mengunjungi salah satu festival terkenal di London yaitu Winter Wonderland. Mengingat aku pun sudah lama sekali tidak mengunjungi tempat semacam ini. Sayang sekali, Brad tidak bisa ikut kali ini. Dia berkata bahwa ada urusan pekerjaan mendadak yang harus dia hadiri. Well, bukan masalah besar sih, lagipula ada teman terbaikku Ashley yang sangat antusias menunjukkan tempat menakjubkan ini padaku.

"Kau baik-baik saja?" Jantungku hampir meloncat ketika tiba-tiba suara pria terdengar sangat dekat di telingaku. Aku menoleh ke samping, berusaha mendongak ke atas karena tubuhnya yang menjulang. Setiap kali aku melihat ke arahnya, pandanganku selalu teralihkan pada rambut panjangnya yang sengaja dia ikat asal-asalan . Kai melihat ke arahku dengan raut wajah yang tidak bisa kujelaskan. Kai adalah sepupu Ashley. Kami datang ke Winter Wonderland bertiga. Ashley bersikeras mengajak Kai karena dia pikir akan semakin menyenangkan jika tidak hanya kami berdua. Well, akupun juga tidak keberatan dengan niatnya. Lagipula sejauh ini Kai cukup menyenangkan.

"Y─ya, aku hanya sedikit pusing karena roller coaster tadi," jawabku.

"Ashley, kupikir kita perlu beristirahat. Summer sedikit merasa tidak enak badan─" ujar Kai.

"Tidak. Aku baik-baik saja," tukasku.

"Baiklah, kalian berdua tunggu di sini, aku akan kembali dengan milkshake," ujar Ashley lantas langsung melenggang tanpa menunggu persetujuan dari kami. Aku bernafas lega, dan mengistirahatkan kakiku di sebuah bangku tak jauh dari tempatku berdiri sebelumnya selagi menunggu Ashley kembali.

"So, sekarang kau kembali ke London, bagaimana perasaanmu?" Kai tiba-tiba membuka topik. Untuk beberapa detik aku sedikit bingung mencerna pertanyaaannya hingga dia kembali berbicara. "Ashely bercerita tentangmu. Tak banyak, tapi cukup membuatku tahu beberapa. Kau studi di New York, benar?"

Aku mengangguk. "Ya, kau benar, aku tidak akan heran jika Ashley menceritakan tentangku padamu, kutebak tadi hanya sebagian kecil dari semua yang sudah Ashley ceritakan padamu." Aku terkekeh begitupun dengannya.

"Ceritakan padaku tentang New York, aku selalu bermimpi bisa pergi kesana suatu saat."

"New York cukup menakjubkan."

"Cukup? Apa maksudmu cukup? Bukankah New York jauh lebih menakjubkan dan keren dari kota manapun?"

"Kuakui New York memang keren, tapi satu hal yang selalu ada dalam benakku bahwa di mana pun aku berada, London akan tetap menjadi kota paling menakjubkan bagiku, jika kau bertanya alasannya, well aku tidak tahu, aku sudah terlalu mencintai kota ini."

"Wow, diluar dugaan"

"Berhentilah menduga-dugaku karena aku akan selalu diluar dugaan." Kai tertawa kecil. 

Aku mengintip jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00 P.M. Bahkan aku tidak menyadari bahwa ini sudah terlalu malam untukku, lagipula kami juga sudah mencoba beberapa wahana dan menikmati live musik. Brad juga belum menghubungiku sama sekali, jadi aku tidak tahu apakah dia sudah selesai dengan urusannya atau belum. Ashely kembali, dengan tiga gelas milkshake. Dia menyodorkan padaku yang berwarna putih, dimana kuasumsikan merupakan rasa vanilla dan memberikan varian cokelat pada Kai.

"Oh, terima kasih Ashley," Aku menerima milkshake yang disodorkan padaku. Satu tegukan melewati kerongkonganku, seketika membuat energiku seolah kembali terisi. Minuman manis memang tidak diragukan lagi.

"Kau yang terbaik, Ash," ujar Kai. Dia meneguknya dengan begitu cepat. Sepertinya dia sudah menahan haus dari tadi. Batinku tertawa geli.

Sesuatu memaksaku menghentikan aktivitas menikmati milkshake vanillaku. Dia berjalan kearahku, jaraknya semakin mendekat, dan sekarang dia sudah berdiri di hadapanku. Raut wajahnya datar, tidak menunjukkan senyuman maupun ekspresi marah. Tiba-tiba aku merasa separuh oksigen di sekitarku menurun drastis. Aku masih tidak mengerti sampai sekarang, aku sudah mengenalnya cukup lama, tapi sampai sekarang aku masih tidak bisa mengendalikan perasaan berlebihan ini setiap melihat pesonanya.

"Di sini kau rupanya," Dia memandang langsung ke mataku. Aku bersumpah, aku ingin menyembunyikan wajah konyolku ini. "Kau sudah selesai bersenang-senang?" tanyanya.

Aku mengangguk dan menjawab, "Ya, kurasa kami sudah selesai, bukankah begitu Ash?"

"Ya, sayang sekali kau melewatkan kesempatan menyenangkan ini Brad," ujar Ashley.

"Oh sayang sekali," jawab Brad sarkas. Ashley berdecak seraya memutar bola matanya. "Bisa kita pulang sekarang?" tanya Brad padaku.

"Ya tentu." Dengan begitu aku menuruti permintaannya. Aku mengucapkan terima kasih pada Ashley dan Kai sebelum berpamitan dan pulang bersama Brad.

Sepanjang perjalanan ke rumah, Brad lebih banyak diam. Aku tidak tahu, dia diam karena lelah atau kesal padaku. Tapi kenapa dia harus kesal padaku? Lagipula aku tidak merasa melakukan sesuatu yang menjengkelkan baginya.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Aku membuka mulut berusaha mencairkan suasana aneh ini.

"Baik-baik saja," ujarnya dingin. Gadis batinku tiba-tiba merasa geram dengan sikap dinginnya yang tiba-tiba tapi aku berusaha untuk menahan.

"Okay," Aku terdiam sejenak, memikirkan topik yang akan kulontarkan untuk memancingnya agar berbicara. "Kau baik-baik saja?" Tapi hanya kalimat itu yang terlintas di kepalaku.

"Aku baik-baik saja sampai aku melihatmu asik berbincang dengan pecundang itu."

Aku mengernyit bingung. "Apa maksudmu? Ashley bukan pecundang." Di sini aku sedikit naik pitam karena kupikir Brad mengatai Ashley pecundang. Well, aku tidak akan terima jika siapa pun merendahkan temanku tidak terkecuali Brad.

"Aku tidak berbicara tentang Ashley," gumamnya. Brad tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari jalanan. Dia memilih untuk tidak menatapku. Disitu, aku mengerti bahwa dia sedang kesal padaku.

"Lalu siapa?" Aku berpikir keras, mengingat-ingat apa yang telah kulakukan dan dengan siapa aku pergi ke Winter Wonder─Tunggu. "Kai yang kau maksud? tunggu─sejak kapan kau mengawasiku di sana?"

"Aku tidak peduli siapapun namanya, dan aku tidak sedang mengawasimu, aku hanya lewat dan melihatmu," ujarnya ketus.

"Benarkah? Kau bilang sedang ada urusan pekerjaan tapi bagaimana bisa tiba-tiba kau muncul di sana?"

"Sudah kubilang aku hanya lewat, dan jangan mencoba untuk mengalihkan permasalahanmu bahwa kau baru saja asik mengobrol dengan pria lain di luar sepengetahuanku."

"Apa ini masalah besar bagimu?"

"Menurutmu?"

"Oh for God's Sake, aku sedang tidak berminat untuk bertengkar denganmu, dan berhentilah mengontrolku."

Setelah perdebatan tadi, sepanjang perjalanan ke rumah, Brad dan aku bungkam satu sama lain. Suasana di dalam mobil semakin membuatku tidak nyaman, sementara tidak ada pilihan lain bagiku daripada berdebat dan bertengkar dengannya. Begitu juga ketika kami sudah di rumah, dia lebih banyak diam dan pergi tidur dengan begitu saja.

Pukul 01.00 A.M aku terbangun dari alam bawah sadarku, tanpa ada pemicu apapun yang membuatku terbangun. Terbangun begitu saja. Spontan aku meraba sisi lain kasurku. Kosong. Untuk beberapa detik aku berusaha mengumpulkan kesadarkanku sebelum menarik kepalaku dari bantal untuk mencari keberadaan Brad. Aku mendesah lega ketika mataku menangkap keberadaannya di bangku yang menjadi tempat belajarku dulu. Entah apa yang sedang dia lakukan, tapi yang kulihat dia sedang menulis sesuatu.

Aku memanggilnya, "Brad." Dia menoleh. "Kenapa kau tidak tidur?" tanyaku.

"Oh hei, kau terbangun─aku hanya lupa melakukan sesuatu jadi aku harus meyelesaikannya sekarang," jawabnya.

"Pekerjaan kantor?"

"Tidak, tapi ini." Brad menunjukkan sebuah buku berukuran kecil dengan sampul berwarna cokelat lengkap dengan pengaitnya. Aku beranjak dari kasur dan menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan dengan ini?"

"Dr. Herrin memberiku terapi buku harian, jadi setiap harinya aku harus menulis sesuatu disini."

"Itu terdengar bagus."

"Tidak, ini terdengar konyol," tukasnya.

"Kenapa?"

"Ya karena aku tidak tahu apa yang harus kutulis pada benda ini, aku bukan pengarang yang handal."

Aku terkekeh "Oh ya Tuhan, siapa yang menyuruhmu mengarang tuan? Buku ini sebagai sarana untuk menumpahkan apa yang ada di perasaanmu, kau tidak bisa menipu dirimu dengan menulis hal yang sebaliknya dengan kebenaran yang kau alami, semua yang kau lakukan akan kembali pada dirimu sendiri, semua ini untuk kebaikanmu Brad."

"Kau tahu Summer, aku melakukan ini untuk kebaikan kita, satu hal yang kuinginkan yaitu menjadi pria terbaik untukmu, bukan pria sakit jiwa pecandu xanax."

"Oh jangan katakan itu lagi Brad, tapi sungguh aku berterima kasih padamu, aku bersungguh-sungguh, terima kasih atas semua yang telah kau korbankan untukku, tapi satu hal yang perlu kau ingat, jangan berlebihan membahagiakan orang lain hingga kau lupa bahwa dirimu sendiri juga butuh bahagia."

"Apa yang kau bicarakan, sayang, aku bahagia ketika kau bahagia." Aku tersenyum bangga padanya. Brad, mungkin bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan bahkan pergi kemana saja yang dia inginkan. Dia bekerja keras, hingga segalanya mungkin bisa dibelinya dengan mudah. Tapi dia tidak peduli, keinginan hatinya hanya sederhana, cukup melihat orang lain bahagia, dia pun akan bahagia.

"Kau sangat manis." Aku mencium pipinya kilat lantas kembali ke kasur dengan segera.

Dia menoleh kearahku dengan wajah bingungnya. "Apanya yang manis?"

"Kau. Kembalilah tidur Brad." Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku bahkan kepalaku. Beberapa detik kemudian aku merasakan kasurku bergerak, seperti ada seseorang yang sedang berusaha naik ke kasur. Dia berhasil menyingkap selimutku hingga terbuka sampai sebatas bahuku.

"Seseorang bilang bahwa aku manis, benarkah begitu?" Dia berbisik di depan wajahku, bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku berpura-pura masih memejamkan mata supaya dia pikir bahwa aku sudah terlelap. "Kau sudah tertidur? Well, cepat sekali." Sedetik kemudian aku merasakan sesuatu hangat mengecup keningku. "Aku mencintamu, maafkan atas sikapku padamu tadi. Selamat malam, sayang." Aku bersumpah, kupu-kupu di dalam perutku terasa ingin meledak dibuatnya. Gadis batinku memaafkannya dengan begitu saja, tidak peduli seberapa menjengkelkan sikap mengontrolnya terhadapku. Egoku selalu berhasil menahan naluriku untuk tidak berpikir negatif terhadapnya. Well, sejauh itulah bentuk rasa cintaku padanya. Aku tidak mau membuka mataku karena aku tidak mau terlihat lemah dengan kalimatnya. Dengan begitu aku semakin menenggelamkan diriku ke alam bawah sadarku hingga aku jatuh ke alam mimpi.

To be continue...

Hello again

im sorry for not update the chapter for a couple month. I've been busy lately and had a problem with my laptop. But I'm still trying to finish this fanfict. Thank you for everyone who still staying on this fanfict. lots a love xx

Luke Eisner as Kai Edvard

Continue Reading

You'll Also Like

133K 21.9K 41
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
178K 15.5K 84
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
Fantasia By neela

Fanfiction

1.6M 5.1K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
160K 27.2K 30
Semua orang pasti memiliki idola di hidup mereka, sama halnya dengan Lalisa yang begitu mengidolakan penyanyi asal Korea Selatan bernama Jennie. Sepe...