Just You (Bradley Simpson)

By itscutieoreo

5.1K 556 73

[Written in bahasa] All I have just you More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - See You in New York
CHAPTER 2 - Say Goodbye
CHAPTER 3 - Arrived
CHAPTER 4 - Not as Sweet as You Are
CHAPTER 5 - Just a Lucky Girl
CHAPTER 6 - Stranger Man
CHAPTER 7 - Don't Leave Me Again
CHAPTER 8 - I Won
CHAPTER 9 - May I Have Your Eyes?
CHAPTER 10 - I'll Begin My Game
CHAPTER 11 - Hurt, But That's Okay
CHAPTER 12 - He Said I'm Beautiful
CHAPTER 13 - Night Talk
CHAPTER 14 - Who Are You?
CHAPTER 15 - Lies
CHAPTER 16 - Forgive Me
CHAPTER 17 - Fear
CHAPTER 18 - The Same Feeling
CHAPTER 19 - Cupcake
CHAPTER 20 - Kiss and Tell
CHAPTER 21 - Threats Haunt Me
CHAPTER 22 - Threats Haunt Me (2)
CHAPTER 23 - Bad Day
CHAPTER 24 - When You Ignore Me
CHAPTER 25 - Coming Home
CHAPTER 26 - Ask You in 443 ft
CHAPTER 27 - Jealousy
CHAPTER 28 - Desire
CHAPTER 29 - This is Insane
CHAPTER 30 - Fucked Up
CHAPTER 31 - Kindest Person
CHAPTER 32 - Appreciate
CHAPTER 33 - This Silence
CHAPTER 34 - Voices
CHAPTER 35 - Cruel
CHAPTER 37 - Puzzle
CHAPTER 38 - Violet
CHAPTER 39 - Hometown
CHAPTER 40 - Unconditionally

CHAPTER 36 - By Your Side

23 3 2
By itscutieoreo

Summer's POV

Aku melangkahkan kaki dengan lebar dan cepat menuju elevator. Pikiranku sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang ada disekitarku. Aku menekan tombol turun dan menunggu elevator berikutnya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku mengigit kuku jariku. Aku sangat khawatir dan takut. Beberapa kali aku mencoba untuk tenang agar bisa berpikir jernih tetapi aku gagal. Kupikir aku sudah terlanjur diselimuti oleh ketakutan itu.

Tingg

Pintu elevator terbuka. Dengan segera aku masuk dan menekan tombol angka 1. Seketika aku merasa mesin elevator ini tiba-tiba bergerak lambat seiring diriku yang diselimuti oleh rasa khawatir yang luar biasa. Aku tidak bisa membohongi diriku perihal rasa khawatir yang sedang aku alami saat ini. Aku rela meninggalkan sesi wawancaraku yang baru setengah jalan setelah kudapati panggilan masuk dari Rumah Sakit karena sesuatu baru saja terjadi pada Brad.

Tinggg

Pintu elevator kembali terbuka. Aku mendesah lega dan langsung melangkahkan kaki keluar elevator. Baru satu langkah keluar dari elevator, aku terkesiap ketika tubuhku tiba-tiba menabrak seseorang yang datang dari arah kananku. Berkas-berkas yang sedang ia bawa seketika berserakan dilantai.

"Maafkan aku, maafkan aku. Sungguh aku tidak melihatmu." ujarku seraya membantunya mengambil barang-barangnya yang berserakan dilantai akibat ulahku. Tapi kupikir ia juga sedang terburu-buru, karena kuperhatikan cara ia mengambil barang-barangnya sangat tergesa-gesa.

"Tidak apa-apa—" rahangku terjatuh, terkejut dengan seseorang yang ada di depan mataku saat ini. Kupikir ia sama terkejutnya seperti diriku.

Sayangnya aku tidak memiliki waktu untuk terus mematung dan menganga melihat orang ini. Aku menyodorkan kertas-kertas yang ada ditanganku kepadanya. Ia menerimanya tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku melenggang dari hadapannya lalu mencegat taksi diluar. Beruntung ada taksi yang sedang berhenti di depan gedung. Aku merangkak masuk ke kursi penumpang dan memasang seatbelt.

"NYU Medical Center, Tuan." ujarku pada supir taksi.

"Baik, nona." dengan begitu taksi yang kutumpangi melaju meninggalkan gedung Spencers Industries Holding.

Di sepanjang perjalanan, aku bersumpah tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirku. Berulang kali aku melihat ke ponselku dan berulang kali juga aku menelpon nomor Brad, berharap ia mengangkatnya dan ia baik-baik saja. Sayangnya, itu hanyalah imajinasiku. Ponsel Brad sepertinya mati karena panggilanku selalu terhubung ke mail box. Ya Tuhan, semoga ia baik-baik saja.

Sekitar kurang lebih 15 menit perjalanan menembus padatnya jalanan New York di sore hari, aku tiba di Rumah Sakit. Setelah melepas seatbelt, tanganku merogoh tasku untuk mengambil dompet dan memberikan beberapa lembar uang kepada supir tersebut.

"Terima kasih tuan." ujarku.

"Sama-sama. Semoga harimu menyenangkan, nona." tentu saja hariku sudah tidak menyenangkan, batinku.

"Kau juga, tuan." ujarku seraya memberikan senyuman terbaikku kepada supir taksi tersebut lantas keluar dari taksi, dan melangkahkan kedua kakiku yang masuk ke gedung Rumah Sakit. Kusapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Aku bingung, tidak tahu dimana Brad berada tetapi aku sudah tidak sabar untuk melihat kondisinya.

Aku melihat tempat resepsionis lantas menghampirinya dan bertanya pada perawat yang sedang berjaga disana.

"Ada yang bisa saya bantu nona?" salah satu perawat wanita dengan tanda pengenal bertuliskan Lydia menggantung di bajunya, menyambutku dengan sangat hangat. Ia masih muda, tubuhnya kecil, dan ia sangat cantik.

"Uh—aku mencari seseorang—apakah benar pasien atas nama Bradley Simpson disini?" tanyaku.

"Ah ya benar, siang tadi Tn. Simpson tiba di NYU Medical Centre. Kau pasti Ny. Simpson?" tanyanya.

"Tidak—bukan. Aku Summer Traver." sanggahku.

"Tapi disini tertulis Ny. Summer Simpson."Astaga, siapa yang mengubah namaku tanpa seizinku. Aku tidak marah, tapi sungguh ini sangat menggelikan. "Uh—maafkan aku nona, kurasa ada kesalahan. Well mari kuantarkan anda ke bangsal Tn. Simpson."

"Tidak apa-apa Lydia. Well, terima kasih."

Aku berjalan mengekori Lydia menuju lantai 5 dimana bangsal Brad berada. Keluar dari elevator, Lydia masih berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit yang cukup sepi. Tidak berselang lama, Lydia berhenti di depan sebuah pintu putih.

"Silahkan Ny. Traver, ini bangsal Tn. Simpson."

"Oh panggil saja aku Summer, dan terima kasih Lydia sudah mengantarku kemari."

"Oh baik. Sama-sama, Summer. Baiklah saya pamit dulu. Permisi." ujar Lydia seraya mengulas senyum, dengan begitu ia melenggang, meninggalkanku sendiri di koridor Rumah Sakit. Aku memegang gagang pintu, membuang nafas dengan berat, lalu kudorong pintu tersebut dengan perlahan. Pria itu ada dihadapanku sekarang. Duduk diatas ranjang, aku tidak melihat luka sedikitpun di tubuhnya. Aku mendapati Brenda juga berada disana.

Aku menahan langkah ketika seorang dokter masih berbicara dengan Brad disana. Kedua tanganku saling terkait, berdiri menunggu didepan pintu. Aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi aku berusaha menangkap pembicaraan mereka walaupun terdengar samar-samar ditelingaku.

"Kau tidak bisa menganggap ini remeh Brad." ujar Dokter tersebut.

"Ya, aku tahu." jawab Brad.

"Aku serius Brad, ku harap kau segera mengatur pertemuan dengan Dr. Herrin."

"Ya, akan kulakukan setelah aku membicarakannya dengan kekasihku."

"Lebih cepat lebih baik Brad. Dan kau diperbolehkan pulang malam ini."

"Baik dokter, terima kasih."

Dengan begitu Dokter tersebut berbalik dan berjalan melaluiku sebelum menarik knop pintu dan keluar. Beliau sempat memberiku senyuman hangat sebelum keluar dari bangsal. Rambut yang hampir seluruhnya putih, kerutan di wajahnya, dan kantung mata yang terlihat sangat jelas, secara tidak langsung menunjukkan betapa seniornya beliau di Rumah Sakit ini.

Brad menangkap keberadaanku yang masih mematung diujung ruangan.

"Hei." sapaku, aku berjalan menghampiri Brenda dan memeluknya dengan singkat. "Astaga, apa yang terjadi padamu Brad" suaraku bergetar, tak kuasa menahan air mata yang sudah kutahan sejak tadi. Ternyata aku salah, ada memar di pelipis kanan Brad. Luka ringan, tetapi cukup membuatku merinding ngeri membayangkannya.

"Kemarilah sayang." Brad membuka kedua tanganya, menginstruksikanku untuk mendekat kearahnya. Tanpa basa-basi aku memeluknya dan menenggelamkan wajahku didadanya. Air mataku tumpah. Aku tidak peduli jika aku menangis sekarang. Beberapa menit yang lalu, Brad membuatku khawatir luar biasa. Dan betapa bersyukurnya aku sekarang, keadaannya tidak seburuk yang ada di pikiranku.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyaku.

"Hanya kecelakaan kecil, sayang. Kau tak perlu khawatir." tangan Brad mengusap puncak kepalaku dengan lembut, dan aku sangat menyukai kebiasaan itu.

"Tentu aku khawatir."

"Maafkan aku sudah membuatmu khawatir, sayang."

"Okay okay lovebirds, kurasa aku harus keluar sekarang. aku tidak mau mengganggu momen kalian." Celetuk Brenda. Seketika aku dan Brad terkekeh bersamaan.

"Oh maafkan aku Brenda, sungguh kau tidak perlu keluar." ujarku berusaha menahan tawaku, tapi sungguh aku jadi merasa bersalah padanya.

"Ya, kau lebih baik keluar, Bren." tukas Brad. Brenda membelalakan kedua matanya dan detik itu juga aku mencubit perut Brad dan kontan ia mengaduh kesakitan.

"Tidak, tidak Bren, jangan dengarkan Brad. Tetaplah disini." pintaku.

"Aku masih ada pekerjaan, Summer, jadi kurasa aku harus pergi sekarang. Lagipula aku tidak tahan berlama-lama dengan bocah itu." ujar Brenda seraya melirik ke arah Brad, lantas ia bangkit dari kursinya dan menaruh tasnya di pundak kirinya.

"Oh baiklah kalau begitu." ujarku. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk menahan Brenda agar tetap disini jika memang ia sedang ada pekerjaan. Walaupun aku sangat berharap agar Brenda tetap disini, karena aku sangat ingin berbincang banyak dengannya mengingat kami jarang sekali bertemu.

Brenda memelukku dengan singkat lalu beralih ke Brad dan mengacak rambutnya dengan kasar. Brad menepis tangan Brenda dengan gerakan cepat dan berdecak kesal.

"Jaga dirimu baik-baik, pecundang." ujar Brenda pada Brad.

"Tentu." balas Brad singkat. Sungguh sikap dua kakak beradik ini membuatku geli.

"Dan, Summer terima kasih sudah menjaga pecundang ini dengan baik." aku mengangguk sebagai respon, "Well, aku pergi dulu, daah." Brenda memutar tumitnya, dan berjalan menuju pintu.

"Bren." Brad memanggil Brenda sesaat setelah tangan Brenda berhasil meraih knop pintu. Dengan begitu Brenda memutar tubuhnya, mengurungkan niatnya untuk menarik pintu. "Terima kasih." kata itu terlontar dari mulut Brad. Dalam hati aku terkesima dan tidak percaya. Seorang Brad, adik yang sangat besar ego setiap kali berhadapan dengan Brenda, baru saja melontarkan kata terima kasih pada saudara perempuannya sendiri.

"Ya, whatever Brad." balas Brenda tidak tertarik, dengan begitu ia menarik knop pintu dan keluar dari bangsal Brad.

"Asshole." gerutu Brad, "Kau lihat?! Aku sudah berusaha bersikap baik padanya, dan kau lihat balasannya?"

"Lain kali kalau kau ingin mengucapkan terima kasih harus benar-benar dari dalam hatimu paling dalam." ujarku.

"Oh apa peduliku." tukasnya.

Aku terkekeh geli. Sejenak, pikiranku kembali dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dengan jelas mengenai apa yang terjadi pada Brad. Maksudku, Brad mengatakan bahwa ia hanya mengalami kecelakaan ringan, tetapi dokter tadi mengatakan bahwa Brad harus segera mengatur pertemuan dengan Dr. Herrin. Siapa itu Dr. Herrin? Kenapa Brad harus menemui Dr. Herrin?

Apakah Brad mengalami cidera yang cukup parah? Maksudku—cidera yang tidak terlihat oleh penglihatan secara langsung. Oleh karena itu Brad harus menemui dokter lain? Tidak, tidak. Aku tidak boleh berspekulasi terlebih dahulu.

"Summer." suara Brad membuyarkan lamunanku.

"Ada apa?" jawabku.

"Bagaimana wawancaramu?" tiba-tiba ia menanyakan perihal itu. Sejenak aku kembali bergulat dengan isi kepalaku. Bukan mengenai Brad, tetapi wawancara yang terpaksa aku tinggalkan tadi. Aku tidak boleh menggerutu dan menyesalinnya berlarut-larut. Magang ini memang impianku tapi semua yang kulakukan saat ini semata-mata demi kondisi Brad. Magangku tidak berarti apa-apa jika tidak ada Brad disampingku. "Summer?" Brad kembali membuyarkan lamunanku.

"Uh—ya um—aku tidak jadi mengikuti wawancaranya." astaga, kenapa aku menjadi terbata-bata?

"Apa?" suaranya mendadak meninggi.

"Sudahlah tidak perlu dipikirkan."

"Jangan bilang kau meninggalkan wawancaramu demi datang kemari."

"Y—ya." aku menunduk, menghindari kontak mata dengannya karena aku tahu Brad tidak akan setuju degan keputusanku kali ini.

"Sial." gumamnya. Aku sudah menebak, Brad tidak akan suka dengan keputusanku ini. Brad turun dari ranjang, berjalan mondar-mandir berkacak pinggang. Ia tidak terlihat seperti pasien kebanyakan di Rumah Sakit yang rata-rata hanya terbaring di ranjang. "Kau tahu ini kesempatan besar untukmu? Bukankah ini impianmu Summer?" sambungnya.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat, kuberanikan untuk melihat wajahnya. Tatapannya tidak bisa kuartikan.

"Ya aku tahu. Tapi impianku tidak berarti apa-apa jika kau kenapa-kenapa Brad. Aku lebih takut kehilanganmu daripada kehilangan impianku dan kupikir semua ini sepadan." tuturku. Dan detik itu juga Brad terdiam. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.

"Summer..." Brad mendesah berat, wajahnya kalut dan bingung. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba seseorang membuka pintu, muncul seorang perawat wanita dari balik pintu. Oh well, itu Lydia.

"Tn. Simpson, seseorang menunggu anda di bawah." ujar Lydia. Tunggu, apa baru saja Lydia mengedipkan satu matanya pada Brad? Apa-apaan? Kupikir ia wanita lugu dan polos. Oh Summer, kau salah besar, ia baru saja menggoda kekasihmu. Beruntung Brad acuh dan tidak meresponnya.

"Baik. Terima kasih Lydia." balas Brad. Lydia mengangguk dan tersenyum sebagai respon sebelum ia berbalik dan menutup rapat pintunya kembali. Dalam hati aku berdecak kesal. Berani-beraninya ia menggoda Brad.

"Ayo kita pulang, Paul sudah menunggu kita dibawah." ajak Brad dan aku mengangguk. Brad menggiringku, merangkulku keluar Rumah Sakit dengan sangat protektif. Begitu kami sudah keluar dari gedung Rumah Sakit dan berjalan menuju parkiran, betul saja, Paul sudah menunggu kami di dalam Audi putih yang pernah digunakan untuk mengantarku ke kampus beberapa waktu yang lalu.

Brad membukakan pintu untukku dan kemudian ia menyusulku duduk di kursi penumpang belakang. Satu pertanyaan lagi di kepalaku, dimana mobil Brad?

Paul menyalakan mesinnya lantas menginjak pedal gas, dan sedetik kemudian mobil kami melaju meninggalkan kawasan NYU Medical Centre.

***

"Apa yang ingin kau bicarakan Brad?" Brad menunduk, memandangi teh panas di atas meja yang baru saja kubuatkan untuknya. Ia menarik nafasnya untuk beberapa detik sebelum menghembuskannya dengan berat. Brad kembali mendongak, menatapku dengan lekat-lekat.

"Berjanjilah padaku untuk tidak meninggalkanku setelah kau mengetahui semuanya." aku mengernyit bingung. Kenapa ia berkata demikian?

"Kau tahu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu Brad." ujarku berusaha meyakinkannya. Tetapi aku melihat keraguan di wajahnya. Aku tidak bisa menebak apa yang hendak ia katakan. Tapi aku tahu, arah pembicaraan ini akan sangat serius. Aku bisa melihat dari perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Aku mengalami serangan panik dan kecemasan yang luar biasa, dan semakin memburuk sebulan belakangan ini. Itu mengapa aku menyimpan obat yang kau temukan di tasku. Benda yang kau temukan itu adalah xanax, aku mendapatkannya dari teman lamaku dan aku sudah mengonsumsinya sebulan belakangan ini." Brad mengambil jeda beberapa detik, "Apa yang terjadi padaku hari ini dikarenakan serangan panik dan kecemasan itu, aku lepas kendali dan menabrak kendaraan di depanku. Dr. Brooke memintaku untuk segera mengatur pertemuan dengan Dr. Herrin. Dr. Brooke mengatakan beliau adalah seorang psikolog yang bisa membantuku mengatasi permasalahan ini." ungkapnya sambil menatapku.

"Oh Brad..." hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku tercengang sekaligus merasa iba padanya. Bagaimana bisa aku tidak menyadari apa yang sedang Brad alami? Bukankah aku ini sangat jahat? Selama ini aku membiarkan Brad melaluinya sendirian. Padahal jelas ia membutuhkan seseorang ditengah kondisinya yang seperti ini. Tapi bagaimana bisa selama ini aku tidak peka terhadap kondisinya?

"Maafkan aku tidak memberitahumu sejak awal. Aku terlalu takut kau tidak bisa menerima keadaanku ini, dan akhirnya kau meninggalkanku." sesalnya.

Tangan kananku meraih wajahnya. Mengusap lembut pipi dan rambut ikalnya. Sekuat tenaga aku menahan sesuatu agar tidak meluncur keluar dari mataku. Aku tidak boleh rapuh dihadapannya, karena aku ingin Brad kuat menghadapinya. Walau kenyataanya aku tidak bisa membohongi kesedihanku ketika melihat sorot mata cokelat itu. Bagaimanapun juga pertahananku tidak boleh goyah demi Brad.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Brad, tidak peduli apapun keadaannya. Kenapa kau berpikir demikian?"

Brad menggeleng, menunduk, menghindar kontak mata denganku, seperti sedang menyembunyikan kerapuhan yang ia rasakan.

"Aku tidak tahu. Aku—hanya terlalu takut." Brad menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya nampak frustasi,  "Brengsek, aku sangat membenci diriku sendiri karena kondisi ini." umpatnya lirih.

"Hei, kau tidak perlu membenci dirimu sendiri Brad." aku mengecup bibirnya singkat, lantas membawanya ke pelukanku. "Berjanjilah padaku, kau akan menemui Dr. Herrin." bisikku tepat ditelinganya.

"Aku berjanji padamu, aku akan menemui Dr. Herrin besok. Tapi aku membutuhkanmu disana."

"Jangan khawatir Brad, aku akan selalu disisimu. Kita akan pergi bersama besok."

"Terima kasih, sayang."

"Jangan khawatir Brad."

Sungguh, betapa tangguhnya pria dihadapanku ini. Mengahadapi kondisinya seorang diri. Ia lebih takut kehilanganku daripada merasakan kondisinya yang bisa menyiksanya kapan saja. Sejenak aku berpikir, Brad tidak pantas mendapatkan wanita sepertiku, karena sungguh saat ini aku merasa gagal menjadi wanita yang selalu ada untuknya. Brad pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku.

***

Diluar sepengetahuanku dan Brad, malam ini Connor dan James datang kerumah kami. Tentu aku terkejut, tetapi disamping itu aku senang, setidaknya ada teman-teman Brad yang masih selalu ada untuknya. Sayangnya Clay tidak ikut datang kali ini. Connor tidak bercerita banyak kecuali mengatakan bahwa hubungan mereka sedang renggang dan Clay sedang fokus mengurus ayahnya. Aku menghargai itu, dan aku tidak mau mengorek privasi mereka terlalu dalam. Jika boleh jujur, saat ini aku mengkhawatirkan keadaan Clay juga. Sungguh aku ingin mengunjunginya dan memeluknya.

Melangkahkan kakiku menuruni beberapa anak tangga, aku berniat menuju dapur untuk mengambil beberapa kaleng soda untuk Brad dan Connor yang sedang asik bermain video game dilantai dua. Sebenarnya malam ini aku dan Brad berencana untuk makan malam diluar, tetapi karena kedatangan mereka yang mendadak akhirnya kami mengurungkan niat dan kuputuskan untuk membuat ayam panggang agar James dan Connor bisa ikut makan malam bersama kami.

Aku melihat dari sudut mataku seseorang tengah duduk diatas kursi kayu di halaman belakang. Aku mengurungkan niatku untuk ke dapur dan menghampirinya dan ternyata itu James.

"Rumahmu indah." ujarnya begitu jarakku hanya tinggal beberapa meter darinya. James lebih dahulu mengetahui keberadaanku.

"Ya, selera Brad memang tidak perlu diragukan lagi." jawabku tertawa kecil, begitupula dengan James, ia juga ikut terkekeh. Lampu penerangan halaman belakang yang minim membuat pengelihatanku sulit untuk menangkap jelas wajah James, "Kau tidak bergabung dengan mereka?" tanyaku.

"Aku akan bergabung dengan mereka setelah kuselesaikan ini." James mengangkat sesuatu yang terselip diantara jari-jarinya. Aku mengangguk paham. Aku tidak tahu jika James seorang perokok, "Bagaimana wawancaramu?" James bertanya. Aku tidak tahu kenapa aku mulai membenci pertanyaan itu? Ya, aku tahu, karena aku sudah gagal mendapatkan kesempatan itu.

"Well, kesempatan itu sepertinya bukan milikku." jawabku. James melirikku. Ia menghisap rokoknya yang tinggal sebesar jari kelingking itu. Asap mengepul keluar dari hidung dan mulutnya, perlahan memudar, menghilang diantara udara yang dingin malam ini.

"Aku percaya kau akan mendapatkan tempat yang jauh lebih bagus dari Spencers." gadis batinku mendesah lega, setidaknya James tidak bertanya lebih dalam. Karena aku sedang membenci pertanyaan itu saat ini.

"Aku hanya ingin fokus pada Brad dulu," aku menjatuhkan bokongku di kursi kayu disamping James. Kurapatkan piyama kimonoku karena udara malam ini hampir membuat tulang-tulangku membeku, "Ia sedang membutuhkan seseorang untuk melalui semua ini." lanjutku.

"Aku tahu. Brad beruntung memilikimu dalam hidupnya." tutur James.

"Tidak. Aku tidak se istimewa itu James." sanggahku.

"Tidak. Kau salah Summer," James kembali menghisap rokoknya lantas membuang puntungnya ke tanah dan menginjaknya dengan boots cokelat bludrunya. Asap itu kembali keluar dari hidung dan mulutnya, hingga hampir membuatku terbatuk, "Aku selalu membayangkan berada di posisi Brad dan hidup bersama wanita seistimewa dirimu." lanjutnya. Pikiranku berusaha keras menelaah apa yang baru saja James ucapkan. Aku bersumpah tidak tahu arah pembicaraanya.

"Apa yang sedang kau bicarakan James?"

"Tentu kau tahu apa yang sedang kubicarakan Summer." wajahnya mendadak serius. Aku terdiam untuk beberapa detik, tapi sejujurnya aku cukup terperangah kaget. Aku berusaha untuk tidak berspekulasi dan membuang jauh-jauh semua tebakan yang ada dikepalaku.

"Tidak, tidak mungkin James." ujarku, berusaha menolak segala spekulasi dikepalaku.

"Ya Tuhan, kenapa kau tidak menyadarinya Summer?" James mengambil jeda, membetulkan posisi duduknya. Kedua tangannya bertumpu pada kedua kakinya, "Menurutmu apa alasanku mengajakmu ke Central Park, menunjukkan jembatan Brooklyn padamu, memberitahu pekerjaan baruku padamu? Kau adalah orang pertama yang tahu mengenai pekerjaan baruku, Summer. Kupikir kau tahu apa artinya itu." sambungnya. Aku tercenung untuk beberapa detik.

"Kau tidak serius dengan ucapanmu, bukan?"

James tergelak, "Kenapa aku harus bercanda?"

"Tapi kenapa? Kenapa kau mengatakan semua ini? Kita teman, James."

"Aku tidak tahu, aku hanya ingin mengungkapkannya saja."

"Aku menghargaimu, sungguh. Tapi kita teman, dan Brad juga temanmu. Aku tidak mau hubungan pertemanan kita rusak hanya karena hal ini, dan aku juga tidak mau merusak hubungan pertemananmu dengan Brad." jelasku dan kuharap James mengerti.

"Ya, aku sudah menebaknya." gumamnya.

"Semua ini tidak akan pernah sepadan dengan pertemanan kita yang bisa hancur kapan saja, James."

"Tapi aku bisa menjadi pria yang jauh lebih baik dari Brad untukmu, Summer." sanggahnya.

"James—"

"Baiklah, lupakan saja Summer." tukasnya. James bangkit dari kursi kayu, menyapukan pandangannya ke sekitar untuk beberapa saat, "Ayam panggang buatanmu enak. Boleh aku minta resepnya kapan-kapan?" James mengalihkan arah pembicaraan.

"Y—ya tentu." jawabku sedkit ragu seraya mengulas senyum yang kurasa justru terkesan aneh.

"Terima kasih." ia menyengir seraya beranjak memutar tumitnya dan melangkah masuk ke rumah, meninggalkanku sendiri di halaman belakang yang masih bingung mencerna semua ini. Kenapa hal ini terjadi padaku? Apakah setelah ini aku dan James akan menjadi seperti orang asing? Maksudku—aku baru saja mengatakan suatu hal yang kurasa jawabannya tidak seperti yang ia harapkan dan kupikir ia akan membenciku setelah ini. Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di situasi seperti ini.

To be continue...

Hallo readerskuu

Jangan lupa vote dan commentnya ya...

Thanku :)

Love xx

Continue Reading

You'll Also Like

997K 9.9K 19
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING!!!🔞 YANG GAK SUKA CERITA BOYPUSSY SILAHKAN TINGGALKAN LAPAK INI! CAST N...
60.5K 7.8K 30
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
750K 46.4K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
165K 15.2K 28
[Update: Senin-Selasa] "I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian...