Just You (Bradley Simpson)

By itscutieoreo

5.1K 556 73

[Written in bahasa] All I have just you More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - See You in New York
CHAPTER 2 - Say Goodbye
CHAPTER 3 - Arrived
CHAPTER 4 - Not as Sweet as You Are
CHAPTER 5 - Just a Lucky Girl
CHAPTER 6 - Stranger Man
CHAPTER 7 - Don't Leave Me Again
CHAPTER 8 - I Won
CHAPTER 9 - May I Have Your Eyes?
CHAPTER 10 - I'll Begin My Game
CHAPTER 11 - Hurt, But That's Okay
CHAPTER 12 - He Said I'm Beautiful
CHAPTER 13 - Night Talk
CHAPTER 14 - Who Are You?
CHAPTER 15 - Lies
CHAPTER 16 - Forgive Me
CHAPTER 17 - Fear
CHAPTER 18 - The Same Feeling
CHAPTER 19 - Cupcake
CHAPTER 20 - Kiss and Tell
CHAPTER 21 - Threats Haunt Me
CHAPTER 22 - Threats Haunt Me (2)
CHAPTER 23 - Bad Day
CHAPTER 24 - When You Ignore Me
CHAPTER 25 - Coming Home
CHAPTER 26 - Ask You in 443 ft
CHAPTER 27 - Jealousy
CHAPTER 28 - Desire
CHAPTER 29 - This is Insane
CHAPTER 30 - Fucked Up
CHAPTER 31 - Kindest Person
CHAPTER 32 - Appreciate
CHAPTER 33 - This Silence
CHAPTER 34 - Voices
CHAPTER 36 - By Your Side
CHAPTER 37 - Puzzle
CHAPTER 38 - Violet
CHAPTER 39 - Hometown
CHAPTER 40 - Unconditionally

CHAPTER 35 - Cruel

16 2 2
By itscutieoreo

Brad's POV

Pikiranku berusaha menelaah apa yang ada dikepala Summer hingga ia tidak menyadari berapa gelas alkohol yang sudah masuk ke tubuhnya. Dia pergi seorang diri ke bar ketika aku sedang tidak dirumah. Aku tidak habis pikir dengan apa yang ada dipikirannya saat itu. Jelas ini sangat ceroboh.

"Kenapa kau tidak memberitahuku akan ke pesta Connor?" Summer mengangkat kepalanya dari bahuku, membenarkan posisi duduknya. Aku menoleh memandang lekat-lekat wajahnya.

"Aku sudah berusaha untuk menghubungimu tapi kau justru mengirimku pesan untuk tidak menghubungimu dulu."

"Aku sedang sibuk."

"Ya. Benar." Jawabnya terkesan ketus. Kali ini Summer menolak untuk memandang ke arahku, melainkan memfokuskan pandangannya ke arah TV yang tidak jelas acara apa yang sedang ditayangkan. Aku menyadari ini bukanlah Summer yang biasanya. Dia marah?

"Kau marah padaku?"

"Menurutmu?"

"Oke. Aku minta maaf. Aku tahu kau kesal tapi kumohon jangan marah padaku. Sungguh aku sedang sibuk malam itu."

Summer mengalihkan pandangannya kearahku. Mata kami bertemu. Sorotnya jelas mengatakan bahwa ia sedang marah padaku. Aku tidak bisa mengelak dan aku paham apa yang membuatnya kesal.

"Oke."

"Hanya oke?" Summer memutar bola matanya. Aku menahan diriku untuk tidak terkekeh melihat tingkah lakunya yang menggemaskan. Aku tidak bisa membayangkan jika hari-hariku tanpa dirinya.

"Oke. Permintaan maaf diterima."

"Oh, aku sangat mencintaimu Summer." Aku menarik tubuh Summer, merengkuhnya kedalam pelukan, menghirup dalam-dalam aroma vanilla pada rambutnya. Sejenak aku berpikir, mungkinkah Summer pernah berpikir untuk meninggalkanku? Mengingat sikapku yang begitu menyiksanya. Aku bukanlah pria sempurna. Tapi aku ingin menjadi sempurna untuknya. Aku tahu, itu tidak mungkin. Ketakutan terbesarku adalah Summer meninggalkanku. Ketika ia sudah mengetahui semuanya, akankah Summer tetap bersamaku? Akankah ia berpikir bahwa aku layak diperbaiki? Apakah aku layak mendapatkan cintanya?

Aku terlalu lemah tanpanya. Hilang arah dan tidak punya rumah untuk kembali. Suatu hari ketika Summer berkata akan ke New York, seolah aku mendapatkan harapan itu lagi. Hanya Summer yang bisa membuatku merasa dicintai dan dibutuhkan.

"Kita harus ke swalayan hari ini. Persediaan kita sudah mulai habis." Ujar Summer.

"Kalau begitu, biar aku yang pergi. Kau dirumah saja. Badanmu masih lemas."

"Kau yakin tak apa pergi sendiri?"

"Ya, tentu. Aku akan bersiap-siap dulu." Aku bangkit dari sofa, lantas menuju kamar untuk mengambil jaket dan kembali lagi ke ruang tengah.

"Cepatlah pulang." Ujarnya

"Aku akan kembali dengan segera. Aku mencintaimu. Bye."

"Aku juga." Ku kecup bibirnya dengan singkat lantas menyambar kunci mobil di atas bupet, maraih kenop pintu dan menutupnya kembali dengan perlahan. Aku masuk kedalam mobil, duduk di balik kemudi lantas melesat meninggalkan rumah. Tidak membutuhkan waktu lama, cukup 10 menit untuk menempuh perjalanan dari rumah ke swalayan terdekat.

Aku mengambil bahan-bahan yang sudah Summer buat daftar apa saja yang perlu dibeli. Alih-alih supaya aku tidak kebingungan ketika sudah di swalayan. Kuakui aku memang payah dalam hal ini. Biasanya asisten rumah tanggaku yang melakukannya ketika aku masih tinggal di apartemen sendiri. Dan sekarang hanya kami yang melakukannya. Maksudku Summer dan aku. Dan aku mulai menyadari bahwa melakukan hal sekecil apapun bersama pasangan adalah hal terindah yang pernah kurasakan. Kami saling melengkapi dan mengisi kekurangan masing-masing.

"Brad." Seseorang menyapaku. Aku mengalihkan pandanganku dari sayur-sayur yang sedang kupilih ke sumber suara itu.

"James."

"Hei, bagaimana kabarmu?" James memberiku pelukan singkat dan aku membalasanya.

"Aku baik. Terima kasih. Bagaimana denganmu kawan?"

"Aku baik. Lama tak jumpa denganmu Brad."

"Ya. Bagaimana kabar yang lainnya—Connor?"

"Well, kau pasti sudah dengar, semalam Connor mengadakan pesta. Dia sangat kesal kau tidak datang."

"Ya. Maafkan aku. Aku ada urusan yang perlu kuselesaikan."

"Summer bilang kau ke Pittsburgh?"

"Ya benar."

"Tunggu. Kau—?" Mata James menyipit, mengintimidasi, berusaha menebak sesuatu yang ada dikepalaku. Aku tidak bisa menyangkal karena semua tebakannya benar. James satu-satunya temanku yang tahu mengenai persoalan ini. Ketika mendengar Pitssburgh, dia tahu apa yang kutuju disana.

"Ya. Semua tebakanmu benar James. Hanya—tolong jangan beritahu Summer dulu. Aku hanya mencari waktu yang tepat. Tidak sekarang tapi aku pasti akan memberitahunya."

"Kuharap kau tahu apa konsekuensi yang akan kau terima?"

"Aku tahu. Sial, aku memang pria yang buruk."

"Ya. Kau sangat kacau Brad. Saranku, kau juga jangan terlalu cepat memberitahunya karena Summer akan menghadapi wawancara di Spencers pekan depan. Tentu kau tak mau melihatnya menghadapi wawancaranya sekaligus permasalahanmu bukan?"

"Spencers?"

"Summer tidak memberitahumu bahwa dia mendapat tawaran program magang di Spencers?"

"Tidak."

Sial. Apa maksud semua ini? Kenapa Summer tidak memberitahuku tentang ini? Kenapa justru aku tahu dari James?

"Mungkin Summer berniat memberitahumu sejak awal tapi kau sibuk. Maafkan aku, aku tidak—"

"Tak apa James." Tukasku. "Hei, maafkan aku. Kurasa aku harus segera pergi." Sambungku.

"Ya, tak apa. Senang bisa berjumpa denganmu lagi Brad."

"Ya, aku juga. Baiklah, bye James."

"Bye."

Aku melenggang meninggalkanya, pergi ke kasir dan membayar semua belanjaanku. Sial, pelayan kasirnya sangat lamban menghitung belanjaanku, membuatku semakin geram. Aku menyambar kantong belanjaan yang baru saja ia ambil dari bawah meja kasirnya, berinisiatif untuk memasukkan belanjaanku sendiri ke kantong plastik itu. Persetan, ia memandangiku dengan tatapan anehnya.

"Semuanya $107, 51 tuan." Ujar pelayan tadi.

Begitu selesai memasukan barang-barang ke kantong belanjaan, aku mergoh saku celanaku, mengambil dompet, dan mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikannya.

"Ambil saja kembaliannya." Aku menyambar 4 kantong plastik belanjaan tadi, dan melenggang keluar swalayan. Memasukkan semua belanjaan ke dalam bagasi, aku merangkak masuk ke mobil dan melesat meninggalkan swalayan.

Pikiranku tidak bisa terlepas dari ucapan James mengenai magang Summer di Spencers. Mencoba menebak-nebak apa alasan Summer tidak memberitahuku mengenai itu. Semakin aku berusaha untuk menebak, semakin tersiksa perasaan ini. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa Summer sudah tidak lagi membutuhkanku. Summer tidak memberitahuku artinya ia tidak mau melibatkanku dalam kehidupannya. Aku menahan diri untuk tidak berspekulasi, tetapi batinku justru sebaliknya. Ini terlalu kejam.

Aku tiba dirumah, tidak menemukan keberadaan Summer. Kupikir ia sedang tidur dikamar, tapi aku terlalu malas untuk mengeceknya di kamar. Aku sedang dalam suasana hati yang tidak bagus. Kutaruh seluruh belanjaan di atas mini bar, meninggalkannya dengan begitu saja tanpa menatanya terlebih dahulu ke tempat yang semestinya, lantas merebahkan diriku di sofa ruang tengah. Aku menunduk, memijat pangkal hidung, menatap ujung sepatuku dengan pikiran penuh dengan Summer.

Pikiranku salah. Summer tidak tidur. Aku mendengar suara pintu kamar terbuka.

"Brad." Ia memanggilku. Aku menolak untuk melihat kearahnya. Memilih untuk menatap televisi dihadapanku yang dalam keadaan mati.

"Ada apa?"

"Bisa kita bicara?"

"Tidak sekarang Summer. Aku sedang lelah." Aku mendengar langkah kakinya berjalan kearahku. Aku masih enggan untuk menatapnya karena dengan melihat wajahnya kupikir akan membuatku semakin merasa terluka.

"Benda apa ini? Aku menemukannya ditasmu." Detik itu juga aku menoleh, melihatnya mengangkat benda itu ditanganya. Sial, aku yang sudah kulakukan? Betapa cerobohnya aku. Tidak seharusnya aku menaruhnya ditas dan meninggalkannya dengan begitu saja.

"Apa yang kau lakukan! Kau tidak seharusnya menggeledah barang-barangku." Aku bangkit dari sofa, menyambar benda itu dari tangannya. Raut wajahnya berubah drastis. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Apa maksudmu aku tidak seharusnya menggeledah barang-barangmu. Bukankah kita tinggal bersama sekarang? Dan—aku hanya membereskan barang-barangmu Brad." Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan seolah sedang menahan sesuatu dikrongkongannya.

"Tinggal bersama?" Mengambil jeda beberapa detik, aku menahan diriku agar tidak lepas kontrol. Bagaimanapun juga aku terlalu takut kelewat menyakitinya. "Kita tinggal bersama tapi yang kurasakan sekarang seperti tinggal bersama orang asing."

"Apa maksudmu?"

"Sial, Summer. Hentikan sandiwaramu." Aku tergelak ironi.

"Kenapa kau jadi memojokkanku? Aku bertanya benda apa itu yang kutemukan ditasmu, dan sekarang kau membalikkan seolah aku yang bersalah. Ada apa dengamu Brad?"

"Ada apa denganku?" Aku kembali tergelak ironi. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa denganmu Summer? Jika kau sudah tidak membutuhkanku tolong katakan saja. Jangan bersandiwara dan berpura-pura seolah kau masih mencintaiku. Kau membunuhku perlahan jika caramu seperti itu." Sergahku.

"Aku bersumpah tidak mengerti apa maksudmu. Dan kenapa sekarang kau jadi marah padaku?"

"Tanyakan pada James, kau akan tahu kenapa aku marah padamu." Keningnya mengerut menatap lurus ke arahku. Beberapa detik kemudian Summer menghela nafasnya dengan berat.

"Apa ini soal magangku?"

"Ya. Dan kau tidak menginginkanku terlibat dalam kehidupanmu"

"Tidak—bukan begitu maksudku—"

"Oh, tentu saja James yang kau inginkan." Sergahku.

"Brad, apa-apaan—"

"Aku pergi sekarang." Aku melangkah cepat menuju bupet, menyambar kunci mobil.

"Tunggu. Kau mau kemana?"

"Aku butuh udara segar."

"Sekarang?"

"Ya."

Aku menarik knop, melangkah menuju mobil. Melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah. Tidak tahu kemana tujuanku sekarang. Yang ada di kepalaku hanya bagaimana perasaan ini bisa segera hilang. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Summer setega itu padaku. Aku terlalu takut untuk kehilangannya tapi batinku berkata tak lama lagi Summer akan meninggalkanku.

Aku mencintainya melebihi hidupku. Summer satu-satunya seseorang yang kumiliki dikehidupanku sekarang. Hanya dirinya yang bisa membuatku merasa menjadi seseorang. Perasaanku padanya tidak pernah berubah sejak pertama kali aku menyadari bahwa aku mencintainya. Aku hanya menginginkan Summer seorang dalam hidupku. Aku menginginkannya dalam kehidupanku tapi kenapa ia justru sebaliknya? Aku tahu, aku kacau, aku tidak sempurna. Tapi sungguh ini sangat kejam.

Mungkin aku tidak pantas mendapatkan seseorang yang berharga di kehidupanku. Mungkin selamanya aku akan hidup dibawah bayang-bayang kesendirian. Aku tidak ingin putus asa, tapi apa yang ada dihadapanku memaksaku untuk putus asa. Berhenti berharap pada sesuatu yang tidak mungkin bisa kudapatkan. Kehidupan sempurna hanyalah dongeng belaka.

***

Aku terbangun dari mimpi buruku ketika kudengar suara kegaduhan disekitarku. Mengerjapkan mataku, aku meyapukan pandanganku ke sekitar. Sial, dimana aku? Pandanganku menangkap ruangan dengan beberapa kaca besar—lebih mirip seperti ruang ganti. Dan aku semakin bingung ketika menyadari bahwa aku tertidur di atas sofa. Suara kegaduhan apa itu? Tak berselang lama seorang wanita berpakaian gaun dengan minim bahan muncul dari balik pintu. Ia tersenyum padaku, tapi aku benci senyuman itu.

"Kau sudah bangun ternyata. Oh maafkan kegaduhan disini, partner kerjaku selalu berdebat dengan bosku. Kau tahu, masalah gaji." Ujarnya.

"Dimana aku?" Tanyaku.

Ia justru terkekeh. "Beruntung aku menyelamatkanmu dari pria besar yang bisa menghajarmu kapan saja, dan aku membawamu kemari. Kupikir kau mabuk berat."

"Apakah kita—"

Ia kembali terkekeh menampakkan deratan giginya yang berjajar rapi dengan berlian kecil di gigi taringnya. "Apa yang kau pikirkan? Kau meniduriku? Aku tidak melayani anak muda, sayang. Kau tahu, mereka terlalu labil dan hanya memberi tip kecil. Well, walaupun aku bisa menebak berapa harga jam tanganmu dan kau bukan anak muda seperti yang kupikirkan, tetapi, tetap saja aku tidak mau melayanimu."

Aku mendesah lega begitu mendengar penjelasannya. Betapa bodohnya aku jika hal tidak diinginkan itu terjadi padaku.

"Aku harus pergi. Terima kasih—"

"Cassey."

"Terima kasih Cassey."

"Sama-sama." Dengan begitu aku aku melenggang keluar dari bar melalui pintu belakang. Merangkak masuk kedalam mobil, memasang seatbelt, menurunkan rem tangan, mendorong persneling, lantas menginjak gas, aku meninggalkan bar tersebut dengan kecepatan tinggi.

Sesampainya dirumah aku bergegas membuka pintu rumah. Kali ini terkunci. Tiba-tiba pikiran negatif terbesit di kepalaku. Sial, sial, sial. Tidak, Summer tidak mungkin pergi meninggalkanku. Aku mencari tempat kami biasa menyimpan kunci jika sedang meninggalkan rumah. Dan benar, aku menemukan kuncinya disana. Aku bergegas masuk kedalam rumah begitu pintu itu berhasil kubuka. Kakiku melangkah tergesa-gesa menuju kamar, lantas membuka lemari dan memperhatikan setiap pakaian-pakaian yang tertata rapi di dalamnya. Aku mendesah lega ketika kudapati pakaian-pakaian Summer masih utuh di dalam lemari. Oh sial, hampir saja aku mati mendadak di tempat.

Aku mengecek jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 07.00 A.M. tidak biasanya Summer pergi sepagi ini. Dengan begitu aku bergegas keluar rumah dan melaju menuju kampus dengan segera. Demi Tuhan, aku menyesal telah bersikap kasar pada Summer. Aku tidak bisa membayangkan jika tadi Summer benar-benar angkat kaki dari rumah. Betapa bodohnya aku terlalu mementingkan egoku dan mengesampingkan perasaan Summer. Ia mungkin memiliki suatu alasan tetapi hatiku terlanjur dibutakan oleh kemarahan sesaat itu.

Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan dari rumah menuju kampus, aku tiba di kampus. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju ruangan kelasku pagi ini. Untuk yang kesekian kalinya aku terlambat masuk kelas. Dan kali ini aku terlambat 15 menit. Beruntung Prof. Scott cenderung acuh terhadap mahasiswa yang terlambat jadi aku diperbolehkan mengikuti kelasnya. Mataku menangkap keberadaan Summer disana. Duduk di bangku nomor dua dari depan. Dia tidak mengalihkan pandangannya kearahku sedikitpun. Perasaan lega dan tersiksa secara bersamaan menyerangku. Aku lega bisa melihat Summer lagi tapi disamping itu aku tersiksa bahwa faktanya ia akan sangat membeciku kali ini.

Aku duduk di bangku paling belakang, mengamati setiap inci pergerakan tubuh Summer dari belakang dan mengabaikan Prof. Scott yang mengoceh tanpa jeda. Ocehan Prof. Scott layaknya sebuah dongeng pengantar tidur karena pria di sampingku sudah hanyut ke alam mimpinya. Aku mungkin akan berakhir seperti pria di sampingku jika di kelas tidak ada Summer.

Setelah 1 jam diselimuti oleh kebosanan yang luar biasa, akhirnya Prof. Scott mengakhiri kelasnya hari ini. Aku mendesah lega lantas meregangkan otot-ototku yang sudah kaku sejak 1 jam yang lalu. Aku mengamati Summer yang sedang memasukkan buku-bukunya kedalam tas dengan tergesa-gesa. Dengan begitu aku langsung menghampirinya.

"Summer." Ia tidak menoleh sedikitpun kerahaku melainkan sibuk memasukkan buku-bukunya kedalam tas.

"Ada apa Brad?" Gumamnya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Aku membuang nafas dengan sedikit berat. Aku mulai merasa tersiksa ketika mengetahui bahwa faktanya ia menjadi bersikap dingin padaku.

"Kumohon, maafkan aku. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu padamu."

"Jangan bahas sekarang. Aku sedang terburu-buru."

"Kau akan pergi kemana?" Summer terdiam untuk beberapa saat.

"Bukan urusanmu." Jawabnya ketus lantas mencoba melenggang dari hadapanku tetapi aku menahanya lagi. "Brad!" Protesnya.

"Kau akan pergi kemana?" Aku mengulang pertanyaanku.

Summer memutar kedua bola matanya yang mana aku sangat membenci itu. "Aku ada wawancara di Spencers. Jadi, kau jangan membuatku terlambat. Sekarang lepaskan aku!"

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak, tidak perlu. Aku bisa naik bus."

"Kau tidak mau terlambat bukan? Jadi biar kuantar kau ke Spencers." Summer terdiam untuk beberapa detik. Ia memberikan tatapan sengitnya padaku dan aku tidak keberatan dengan itu, karena aku tahu akulah yang salah disini. "Summer, kumohon."

"Oke. Baiklah."

Batinku meloncat kegirangan. Aku berhasil sedikit meruntuhkan tembok penghalang diantara kami. Setitik harapan seolah baru saja timbul dari perairan yang sangat dalam.

Kami berjalan menelusuri koridor, keluar gedung, menuju ke arah parkiran. Kubuka pintu untuk Summer, lantas ia masuk dan langsung memasang seatbelt nya, kemudian diikuti diriku merangkak masuk ke balik kursi kemudi. Menarik persneling, memutar kemudi, mobil kami meninggalkan kawasan kampus. Sepanjang perjalanan, hanya suara khas jalanan yang menyelimuti kami. Summer bungkam seribu bahasa, entah ia enggan berbicara denganku atau sedang sakit gigi. Yang jelas ini bukanlah Summer yang biasanya. Summer yang ceria dan banyak bertanya adalah dirinya yang sesungguhnya. Ya, aku tahu, akulah penyebab dari semua ini.

"Kau gugup?" Tanyaku berusaha memecah keheningan diatara kami karena sungguh aku tidak tahan dengan suasana seperti ini. Summer menoleh memberiku tatapan dengan mengernyitkan dahinya dan menyipitkan kedua matanya. "Kau gugup?" Tanyaku kembali.

Summer membuang tatapannya ke arah jendela. "Ya." Gumamnya.

"Kau tahu, kau tak perlu—"

"Aku bisa mengatasinya." Tukasnya.

"Oke—" Kami kembali diselimuti oleh atmosfer keheningan. Pandanganku hanya bisa menyapu keluar jalanan dan sesekali memperhatikan Summer dengan sikap dinginnya. Berpikir keras, apa yang bisa kulakukan untuk membuat diriku termaafkan.

"Dengar, aku sungguh minta maaf Summer. Sial, jangan mendiamiku seperti ini. Kau boleh menghukumku dengan cara apapun tapi sungguh jangan mendiamiku." Ujarku, mengeluarkan isi hati yang sedang kurasakan saat ini. Persetan dengan ego, jika memilih, aku akan memilih harga diriku jatuh daripada Summer mendiamiku seperti ini.

"Sudah kukatakan aku tidak mau membahasnya sekarang, bisakah—"

"Tidak, tapi aku harus mengatakan ini padamu Summer. Aku benar-benar menyesal. Kau berhak memberikan penjelasan tapi aku justru lari layaknya pengecut." Aku mengambil jeda beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kata-kataku. "Pagi tadi, aku tidak mendapatimu dirumah. Aku begitu takut. Aku takut kau benar-benar meninggalkanku. Tetapi ketakutanku seketika menghilang ketika mendapati pakaianmu masih tertata rapi di lemari. Detik itu juga aku meyadari bahwa betapa bodohnya aku. Bagaimana bisa aku bersikap seperti itu padamu. Aku tidak membayangkan jika kau benar-benar meninggalkanku." Tetapi aku tidak mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya sebagai respon. Membuatku semakin putus asa. Apakah aku benar-benar tidak termaafkan? Seburuk itukah yang telah kulakukan padanya?

"Kau satu-satunya yang berjalan melewatiku, membanting pintu layaknya aku ini patung tidak memiliki perasaan. Memojokkanku, tidak memberiku sedikitpun ruang untuk berbicara. Mengapa kau berpikir bahwa aku meninggalkanmu? Jelas-jelas kau yang sudah meninggalkanku Brad." Summer angkat bicara dengan suaranya yang lirih nyaris tidak dapat tertangkap oleh pendengaranku. Ia menamparku dengan kata-katanya. Tapi aku tidak bisa mengelak, karena semua itu benar.

Aku memutar kemudi, meminggirkan mobil di bahu jalan tepat di depan gedung Spencers Industries Holding. Mendesah berat, aku harus mengurungkan niatku dan menahan penjelasanku untuk saat ini karena tidak ingin membuat Summer terlambat dengan wawancaranya.

"Kita bicarakan lagi malam nanti oke." Ujarku.

"Terima kasih atas tumpangannya." Summer melepas seatbelt nya, merapikan rambut dan bajunya dengan tangan kosongnya. Aku menahan lengannya, sebelum ia membuka pintu mobil.

"Pukul berapa kau selesai?"

"Seperti biasa"

"Malam? Tunggu—kau tetap masuk bekerja?"

"Ya."

"Baiklah. Aku akan menjemputmu seperti biasa." Aku membawa tangannya kearahku, lalu mengecupnya dengan singkat. "Semoga berhasil sayang. Aku mencintaimu." Dengan begitu Summer keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Membalas ungkapan tulus cintaku saja tidak.

Aku meninggalkan gedung Spencers Industries Holding dengan perasaan berkecamuk. Aku telah melakukan hal yang benar-benar menyakitinya. Dan bodohnya, aku tidak pernah memikirkannya sebelum bertindak. Dan sekarang semuanya telah terjadi, dan hal yang paling aku benci adalah penyesalan yang datang setelah semua kekacauan ini ada. Rasanya seolah penyesalan itu tidak ada gunanya. Ini adalah bagian terburuk yang membuatku semakin membenci diriku sendiri.

Kepalaku kembali dihantui oleh ketakutan itu lagi. Ketakutan akan kehilangan seseorang. Perasaan itu datang kembali tanpa peringatan. Aku takut. Luar biasa takut. Seperti masuk kedalam kotak kecil dengan ruang sempit. Rasa ini terlalu berlebihan sehingga aku tidak mampu menampungnya lagi. Oksigen disekitarku seolah menyusut dengan drastis. Leherku tercekik nyaris tidak bisa bernafas. Seluruh otot tubuhku tegang dan gemetar, tidak bisa mengendalikan kedua tanganku yang ada di atas kemudi. Jantungku semakin berpacu dengan kencang. Separuh diriku yang masih sadar berusaha mencari benda yang harus aku konsumsi ketika keadaan seperti ini tiba-tiba menyerangku. Sial, aku tidak menemukannya.

Tiba-tiba tubuhku terdorong ke depan cukup keras. Kedua telingaku mendengar suara keributan diluar, tetapi pandanganku tidak bisa menangkap apa yang sedang terjadi. Semuanya buram, dan rasanya seperti tidak nyata. Aku bertanya pada diriku sendiri 'Apa yang sedang terjadi?' sebelum semuanya gelap.

To be continue...

HAPPY NEW YEAR FELLAS!!!

Apa resolusi kalian di tahun 2022?

Continue Reading

You'll Also Like

56.6K 3.1K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
1.4M 119K 63
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
367K 30.6K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
764K 47K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...