Just You (Bradley Simpson)

By itscutieoreo

5.1K 556 73

[Written in bahasa] All I have just you More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - See You in New York
CHAPTER 2 - Say Goodbye
CHAPTER 3 - Arrived
CHAPTER 4 - Not as Sweet as You Are
CHAPTER 5 - Just a Lucky Girl
CHAPTER 6 - Stranger Man
CHAPTER 7 - Don't Leave Me Again
CHAPTER 8 - I Won
CHAPTER 9 - May I Have Your Eyes?
CHAPTER 10 - I'll Begin My Game
CHAPTER 11 - Hurt, But That's Okay
CHAPTER 12 - He Said I'm Beautiful
CHAPTER 13 - Night Talk
CHAPTER 14 - Who Are You?
CHAPTER 15 - Lies
CHAPTER 16 - Forgive Me
CHAPTER 17 - Fear
CHAPTER 18 - The Same Feeling
CHAPTER 19 - Cupcake
CHAPTER 20 - Kiss and Tell
CHAPTER 21 - Threats Haunt Me
CHAPTER 22 - Threats Haunt Me (2)
CHAPTER 23 - Bad Day
CHAPTER 24 - When You Ignore Me
CHAPTER 25 - Coming Home
CHAPTER 26 - Ask You in 443 ft
CHAPTER 27 - Jealousy
CHAPTER 28 - Desire
CHAPTER 29 - This is Insane
CHAPTER 30 - Fucked Up
CHAPTER 31 - Kindest Person
CHAPTER 32 - Appreciate
CHAPTER 33 - This Silence
CHAPTER 35 - Cruel
CHAPTER 36 - By Your Side
CHAPTER 37 - Puzzle
CHAPTER 38 - Violet
CHAPTER 39 - Hometown
CHAPTER 40 - Unconditionally

CHAPTER 34 - Voices

25 3 0
By itscutieoreo

Brad's POV

Kedua mataku menyaksikan seolah aku berada dalam pemutaran film lama. Menyaksikan diriku versi 15 tahun yang lalu. Meniup lilin dengan angka 11. Sumbu itu kemudian mengeluarkan asap begitu api itu kutiup. Menghilang di udara bersama harapan-harapan yang kupanjatkan dalam hati. Seseorang menarikku kedalalam pelukan. Hangat dan aman. Sentuhan ini terasa sangat nyata. Harum itu—Aku tidak pernah melupakannya. Aroma cendana manis yang menjadi ciri khasnya. Tetapi dengan tiba-tiba ia menarik diri dari pelukan kami. Tidak, tidak. Aku tidak mau ia pergi lagi.

Bersamaan dengan itu sosok pria paruh baya datang kepadaku. Seolah memberiku sedikit harapan. Ia membawa sebuah gitar akustik ditangannya, lantas memberikannya kepadaku dengan senyuman hangatnya. Kedua tanganku menerima benda itu tanpa perasaan ragu sedikitpun. Memberikan kecupan singkat di puncak kepalaku lantas duduk dihadapanku. Mom, Dad, dan Brenda memberikan tatapan seolah meyakinkanku untuk memainkan benda ini. Motivasi dalam diriku seketika naik dengan cepat layaknya kencangnya laju rollercoaster. Aku mencoba petikan pertama dan seterusnya hingga menciptakan nada sebuah lagu kesukaan Mom dan Dad. Mereka tersenyum padaku.

Sial. Jariku berdarah karena memetik terlalu kencang. Tiba-tiba sesuatu menarikku ke suatu tempat yang berbeda. Sangat cepat hingga aku sulit mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku membuka mataku lebar-lebar. Menyaksikan sebuah upacara pemakaman. Pemakaman siapa ini? Kenapa aku ada disini? Aku membeku ditempat, kedua mataku menangkap sesuatu yang tidak asing di penglihatanku—foto Mom dan Dad. Kedua lututku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Sial, aku terjatuh dan seluruh tubuhku lemas. Brenda? Summer? Dimana kalian?! Seseorang tolong aku?! Aku ingin berlari merengkuh Mom dan Dad untuk yang terakhir kalinya, tetapi tubuhku menolak—lemas dan tidak bisa bergerak. Seseorang meraih tubuhku, membantuku untuk menopang tubuhku agar bisa berdiri tegak. Ia membalikkan tubuhku sehingga kini aku berhadapan dengannya. Tubuhnya yang semapai memaksaku untuk mendongak—mengintip dari balik bulu mataku, aku melihat sebuah wajah dengan guratan duka yang mendalam. Charlie mendekapku dengan sangat erat. Air mataku tumpah di dalam pelukannya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku kecuali isakan menyedihkan ini.

Tubuhku tersentak—membuka mata dan berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku menyadari bahwa nafasku terengah-engah, tubuhku berkeringat, dan air mata sialan keluar dari mataku, membasahi bantal dan wajahku. Tanganku berusaha meraih sesuatu yang ada di sampingku, berharap aku mendapati Summer disampingku, tetapi aku tidak menemukan siapapun. Aku menyapukan pandanganku ke sekelilingku. Sial. Aku baru menyadari bahwa saat ini aku sedang di Pittsburgh. Tanganku meraih ponsel diatas nakas  yang sudah terisi penuh baterainya. Pukul 4:00 A.M. Sial, mimpi buruk itu lagi.

Tanpa pikir panjang aku menekan tombol panggil pada nomor Summer. Mengingat aku belum sempat mengabarinya ketika aku sampai di Pittsburgh.

"Halo." Terdengar suaranya dari sebrang telepon. Oh aku sangat merindukan suara itu.

"Hei."

"Brad? Ada apa? Kau sudah sampai di Pittsburgh?" Aku mendengar suara kekhawatirannya disana. Aku merasa bersalah karena tidak menghubunginya sejak tiba di hotel.

"Ya. Aku sudah berada di hotel 2 jam yang lalu. Maafkan aku baru bisa menghubungimu sekarang. Aku tertidur tadi."

"Tidak masalah Brad. Aku tahu kau pasti kelalahan."

"Ya. Perjalanan darat sangat memakan waktu. Hei, tidak biasanya kau sudah bangun pukul 4 pagi."

"Well, ponselku berbunyi dan ternyata kau yang menghubungiku. Jadi aku harus beranjak dari mimpiku." Ujarnya dibarengi dengan kekehannya yang menggemaskan, dan tanpa kusadari membuatku ikut terkekeh dengannya.

"Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku minta maaf."

"Hei, santai saja. Justru aku senang kau menghubungiku. Jadi bagaimana perjalananmu?"

"Lalu lintasnya sangat mengerikan. Aku bertaruh pasti kau tidak tahan melihat lalu lintasnya."

"Benarkah?"

"Ya. Oh kuharap aku sedang tidur nyenyak memelukmu saat ini. Aku sangat merindukanmu Summer."

"Aku juga merindukanmu Brad. Cepatlah pulang."

"I will. Kalau begitu akan kuhubungi lagi nanti. Aku mencintaimu. Bye baby."

"Aku mencintaimu juga. Bye."

Kepalaku mulai terasa sakit, dadaku sangat sesak, keringat dingin mengucur diseluruh tubuhku. Aku benci ketika perasaan ini kembali menyerangku. Dihantui oleh bayang-bayang peristiwa buruk yang tidak bisa kukendalikan. Aku merogoh sesuatu di dalam tasku. Mengambil sesuatu berbentuk silinder berisi benda putih berbentuk lingkaran. Ku ambil satu benda itu lantas menelannya bersama air mineral. Aku menarik nafas dengan dalam-dalam seraya memejamkan kedua mataku. Menahanya untuk beberapa detik, lantas menghembuskannya dengan perlahan. Berharap perasaan ini semakin membaik.

Ponselku bergetar, kudapati sebuah pesan yang baru saja masuk. Dengan malas aku meraih ponselku.

Jangan lupa. Rumahku pukul 20:00.

Kuabaikan pesan itu. Dan bergegas untuk menganti pakaianku dengan celana olah raga dan kaos, serta sneakers ku. Kupikir dengan lari pagi akan membuatku jauh lebih baik. Persetan, aku tidak peduli sekarang masih pukul 4 dini hari. Aku harus bisa mengontrolnya. Tidak ada yang bisa mengendalikan pikiranku selain diriku sendiri. Persetan dengan suara-suara dikepalaku.

***

Summer's POV

Untuk yang kesekian kalinya aku berusaha untuk meyakinkan diriku untuk menerima tawaran program magang di Spencers. Pandanganku tidak bisa lepas dari layar laptopku. Haruskah aku mengirimnya sekarang? Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika kinerjaku mengecewakan? Ya Tuhan. Summer, ini adalah kesempatan yang belum tentu datang dua kali. Apa yang kau tunggu? Kenapa kau jadi meragukan dirimu sendiri. Bukankah kau pernah bilang bahwa tidak ada seorangpun yang bisa meragukanmu termasuk dirimu sendiri. Kau harus mengirimnya sekarang Summer! Keraguan dan ketakutan adalah pembunuh pikiran. Akan kuhadapi rasa takutku dan membiarkannya melaluiku. Kau harus selalu mengingat itu Summer. Akhirnya setelah melalui pergulatan dalam pikiran, aku membulatkan tekad lantas menekan pilihan 'kirim' dan pesan tersebut terkirim pada alamat email Spencers Industries Holding.

Aku menghela nafas sejenak seraya merebahkan punggungku pada sandaran sofa. Kusapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Astaga, aku baru ingat bahwa saat ini aku sedang dirumah sendiri. Aku benci suasana sepi dan tidak ada satu orangpun yang bisa kuajak berbicara. Sebenarnya aku cukup lega dan senang, pagi tadi Brad sempat menghubungiku, memberi kabar bawa ia sudah berada di Pitssburgh. Setidaknya rasa rinduku sedikit terobati walau hanya mendengar suaranya dari sebrang telepon.

Ponselku berdering dan mendapati nama Clay yang tertera pada layar ponselku. Tanpa pikir panjang aku mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo Summer." Terdengar suara khasnya dari sebrang telepon. Kedua sudut bibirku tertarik, mengingat betapa rindunya aku dengan Clay.

"Hei Clay. Ada apa?"

"Kau tidak menanyakan kabarku?" Gerutunya. Aku terkekeh geli. Astaga, Clay. Aku sungguh merindukan energi ceria pada dirinya. Akhir-akhir ini kami memang jarang bertemu di kampus.

"Okay. Bagaimana kabarmu Clay?"

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik. Terima kasih Clay. Hei ada apa tiba-tiba kau menghubungiku?"

"Kau ini sangat menyebalkan. Tentu aku merindukanmu."

"Kemana saja kau Clay? Kenapa aku jarang menjumpaimu di kampus?"

"Mmm. Well aku mengambil cuti untuk satu semester."

"Sungguh? Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Well ceritanya panjang. Akan kuberitahu lain waktu. Ngomong-ngomong Connor akan mengadakan pesta malam nanti. Kau dan Brad harus datang.

 "Pesta?"

"Ya. Perayaan ulang tahun Connor."

"Dimana?"

"Bar di daerah Brooklyn."

Oh tidak-tidak. Aku tidak mungkin, dan tidak akan datang ke suatu pesta lagi. Kejadian tempo lalu cukup membuatku trauma. Apalagi ini disebuah bar. Sungguh? Di kepalaku bayangan sebuah bar benar-benar sangat kacau. Bar hanyalah sebuah tempat yang dipenuhi oleh orang-orang pemabuk dan bermasalah.

"Aku tidak bisa. Maafkan aku Clay ."

"Oh ayolah Summer. Kita jarang bertemu. Apa kau tidak merindukanku?"

"Tentu aku merindukanmu. Tapi sungguh, aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Aku dan Brad pindah di kawasan Saddle Rock. Kupikir akan sangat memakan waktu untuk ke Brooklyn."

"Apa? Kau pindah? Kenapa kau tidak membeitahuku?"

"Hei, tenanglah Clay. Ini semua ide Brad aku juga tidak tahu apa-apa sebelumnya."

"Oh Brad sialan. Kalau begitu aku akan menjemputmu." Apa dia sudah gila? Yang ada ia akan bolak balik dengan jarak yang terhitung tidak dekat. Dan juga akan lebih memakan waktu.

"Tidak—tidak perlu Clay." Aku menolak.

"Kumohon sekali ini saja. Aku akan menjamin kau akan baik-baik saja sampai rumah. Bagaimana?" Oh sungguh. Clay selalu pandai dalam membujukku. Ia akan menggunakan berbagai jurus bujukan untuk membuatku menuruti ajakannya. Tapi diluar itu semua, Clay merupakan wanita yang baik. Kalau bukan karena Clay, mungkin aku tidak akan mendapatkan pekerjaanku sekarang.

"Okay. Tapi aku tidak bisa janji."

"Bagus! Pukul 21.00. Jangan lupa."

"Okay."

"Okay. I'll see you around. Bye Summer."

"Bye Clay."

Aku menutup panggilannya lantas meletakan ponselku ke tempat semula. Kepalaku berpikir keras. Haruskah aku datang ke pesta Connor? Tidak mungkin aku pergi sendirian. Aku tidak memiliki nyali seberani itu. Mungkin jika aku pergi bersama Brad, tidak akan seburuk yang ada dipikiranku. Mungkinkah Brad mengizinkanku pergi ke pesta sendirian? Mengingat akhir-akhir ini sikapnya sedikit mengontrol. Tapi Brad mengatakan bahwa aku bisa menggunakan mobilnya selama ia pergi. Oke, kuanggap Brad mengizinkanku pergi kemana saja selama tidak menimbulkan masalah.

Pukul 20.00 aku sudah bersiap untuk pergi ke pesta Connor. Ya. Karena perjalanan dari sini menuju Brooklyn memakan waktu kurang kebih 30 menit. Itupun jika lalu lintasnya lancar. Aku menjatuhkan pilihanku pada pakaian casual daripada menggunakan dress. Alasan yang pertama yaitu, menurutku dress terlalu formal untuk pesta di bar dan yang kedua, udara diluar cukup dingin karena bulan ini sudah memasukki musim dingin.

Aku kembali meraih ponselku untuk menghubungi Brad yang kesekian kalinya. Sudah terhitung lima kali aku menghubunginya dan berujung tersampung pada mail box. Aku kembali menekan tombol panggil pada nomor Brad. Kali ini Brad menolak panggilanku. Serius? Apa ia sangat sibuk hingga mengangkat panggilanku saja tidak bisa? Padahal aku hanya ingin memberitahunya bahwa aku akan pergi ke pesta Connor. Alih-alih menghindari pertengkaran yang mungkin terjadi dikarenakan kesalah pahaman.

Selang beberapa detik, ponselku berbunyi. 1 pesan masuk.

Bradley xx

Jangan hubungi aku dulu.

Oh sungguh! Berulang kali aku mengumpat dalam hati. Apa yang sedang kau lakukan disana?! kau kelewat sibuk, sampai-sampai lupa orang-orang disekitarmu. Aku tidak tahan menahan gejolak kemarahanku, memilih untuk bergegas menuju ke Brooklyn. Kini aku berterima kasih pada Clay karena mengundangku ke pesta Connor. Setidaknya pikiranku bisa teralihkan.

Meraih kunci mobil di atas bupet, tempat biasa dimana Brad menyimpan kunci mobilnya. Meraih knop pintu—aku keluar rumah, tidak lupa aku mengunci pintu sebelum pergi. Merangkak masuk kedalam mobil, kunyalakan mesinnya. Menurunkan rem tangan—menarik persneling—kakiku perlahan menginjak pedal gas. Mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kawasan Saddle Rock.

Dalam perjalanan menuju Brooklyn, aku menyempatkan untuk membeli sebuah kado untuk Connor. Mengingat pesta ini sangat mendadak, jadi aku tidak sempat menyiapkan segala sesuatunya termasuk kado. Aku menjatuhkan pilihanku pada sebuah kacamata hitam dengan harga rata-rata. Well, tidak terlalu murah dan tidak terlalu mahal. Aku harap Connor tidak keberatan dengan kado sederhana pemberianku.

Sesuai perkiraan aku sampai di Bar kurang lebih 30 menit perjalanan. Lalu lintas cukup padat akan tetapi masih terhitung lancar. Aku memandangi Bar tersebut dari dalam mobil. Nampak sepi dari luar. Aku keluar dari mobil, lantas masuk ke Bar tersebut dengan perasaan sedikit ragu. Seketika suara musik, memekakan kedua gendang telingaku. Seperti tebakanku, tempat ini penuh dengan orang-orang. Nyaris tidak ada ruang longgar untukku berjalan. Kusapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan, dan menemukan keberadaan Clay dan teman-temannya duduk di sebuah booth. Clay melambai kearahku lantas berjalan kearahku.

"Aku senang sekali akhirnya kau datang." Clay menarik tubuhku ke pelukannya begitu ia sudah berdiri dihadapanku. Aku membalasnya dengan hangat. Aku menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Clay. Warna rambutnya berubah menjadi pirang. Terakhir aku melihatnya ia mengecatnya dengan warna hijau.

"Well, ini pertama kalinya aku datang ke Bar." Clay tertawa kecil mendengar pengakuan konyolku.

"Ayo ikut aku." Clay menarikku menuju booth dimana teman-temannya sedang berkumpul. Mataku mendapati Connor dan James beserta 3 pria dan 2 wanita lainnya yang tidak aku kenal disana.

"Hei Summer. Kau datang." Connor menyambutku dengan sangat hangat dan memelukku dengan singkat.

"Ya. Seperti yang kau lihat."

"Hei, dimana Brad? Dia tidak datang?"

"Brad sedang di Pittsburgh."

"Apa yang ia lakukan di Pittsburgh?'

"Well, pekerjaan."

"Oh Brad sialan. Anak itu lupa jika aku sedang berulang tahun." Gerutu Connor.

"Anyways, Selamat ulang tahun Con. Ini untukmu." Aku memberikan kado pada Connor yang sudah dibungkus dengan minimalis yang kumasukkan kedalam paper bag.

"Kau tahu, kau tak perlu repot-repot Summer. Tapi sungguh, terima kasih atas kadonya." Connor menerima kado yang kuberikan padanya.

"Anytime Con. Maafkan aku jika kadoku terlalu sederhana."

"Well, aku suka sesuatu yang sederhana." Ujar Connor.

Connor mempersilahkanku untuk duduk bergabung dengan teman-temannya di booth. Connor memperkenalkan beberapa temannya yang mana 3 pria dan 2 wanita tadi yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Mereka Daniel, Harry, Jaxon, Anne, dan Kate. Mereka dari jurusan dan fakultas yang berbeda. Pantas saja aku merasa sangat asing dengan wajah-wajah mereka. Well, di NYU antar fakultas sudah berbeda gedung, jadi wajar jika aku tidak pernah melihat wajah-wajah mereka.

Aku duduk disamping James, dimana terdapat ruang kosong di sofa yang sedang ia duduki. Sedangkan Connor dan Clay melenggang dari booth untuk menemui beberapa temannya yang lain.

"Hei Summer." James menyapaku.

"Hei James. Bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik seperti biasanya. Bagaimana denganmu?"

"Aku baik. Terima kasih. Kau tahu, kita sudah jarang berkumpul di kafetaria seperti biasanya."

"Ya. Aku sedang sibuk dengan pekerjaan baruku."

"Kau punya pekerjaan baru? Itu sangat hebat James. Katakan padaku apa pekerjaanmu itu!" James menggaruk tengkuknya, tesipu malu dengan pujian yang kulontarkan padanya.

"Aku menulis lagu untuk musisi-musisi Amerika." Rahangku terjatuh. Tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja James lontarkan.

"Kau bercanda? Aku tidak pernah tahu kau pandai dalam bidang itu. Kau sangat menakjubkan James!"

"Well, beberapa dari mereka ada yang masih musisi berkembang dan ada pula yang sudah besar di dunia musik. Bekerja dengan mereka sungguh sangat menakjubkan."

"Aku turut bahagia mendengarnya."

"Terima kasih Summer. Aku sangat menyukai bekerja di studio. Kau tahu, rasanya seperti ada sesuatu yang melegakan ketika kau meluapkan isi hatimu pada sebuah lagu"

"Wow. Kau benar-benar hebat James. Kau tahu? Kita harus merayakan ini!"

"Apa—" Tanpa basa-basi aku menyergap tangan James, bangkit dari booth lalu menuju tempat bartender.

"Berikan kami 2 gelas tequila terbaik disini." Ujarku pada bartender. Kulitnya

"Oke." Balas bartender dengan name tag Eric yang menggantung di bajunya. Sejurus kemudian Eric melenggang menuju rak-rak berisi minuman alkohol yang tertata rapi dengan berbagai macam jenis dan merk. Eric melayangkan tangannya ke sebuah botol dan mengambilnya. Ia kembali dengan botol tadi beserta 2 gelas yang kemudian ia taruh dihadapanku dan James. Eric menuang tequila dari botol ke gelas kami.

"Jose Cuervo. Tequila terbaik di Amerika. Selamat menikmati." Ujar Eric.

"Terima kasih Eric." Eric membalas dengan anggukan dan senyumannya, lantas ia melenggang dari hadapan kami untuk melayani pelanggan yang lain.

"Well James. Ini pertama kalinya aku merasakan tequila. Kulakukan ini demi teman terbaikku."

"Sungguh? Ini yang pertama kalinya?" James menganga tidak percaya.

"Aku tidak berbohong. Jadi, cheers untuk pekerjaan baru James yang sangat hebat." Aku mengangkat gelasku.

"Cheers." James mengikutiku untuk mengangkat gelas dan kami bersulang merayakan kegembiraan ini. Satu tegukan melintas di tenggorokanku dan seketika sensasi rasa panas ditimbulkan mengejutkanku. "Wow. Bagaimana menurutmu Summer?"

"Tidak seburuk itu. Kurasa aku akan mulai menyukainya."

"Bagus. Kau bisa menikmati sepuasnya. Connor mereservasi bar ini untuk pesta ulang tahunnya."

"Sungguh? Wow."

James mengangguk. Aku menganga, tidak percaya. Kudengar dari James, seisi bar semua dipenuhi oleh teman-teman Connor. Mayoritas adalah mahasiswa NYU tetapi ada juga beberapa temannya diluar kampus. Wow. Ini gila. Ya. Aku tidak mungkin lupa bahwa Connor adalah putra pengusaha kaya raya di New York.

"Jadi, apa kesibukanmu saat ini." Tanya James membuyarkan lamunanku.

"Well, aku masih menyesuaikan diri di lingkungan baru dan berpikir untuk menerima tawaran progran magang di Spencers."

"Lingkungan baru?"

"Kami pindah rumah. Di kawasan Saddle Rock—Ide Brad."

"Oke. Keren—Bagaimana dengan Spencers?"

"Aku akan mengikuti wawancaranya pekan depan. Tidak yakin tapi aku harus mencobanya."

"Tentu saja kau harus yakin Summer. Ini kesempatan besar. Kau pasti akan menjadi bagian dari Spencers."

"Terima kasih James."

Aku sangat menyukai pribadi James. Ia adalah tipikal pria yang selalu ada untuk temannya. Menjadi penyemangat dibalik proses seseorang. Walaupun aku belum mengenalnya cukup lama layaknya Brad, Connor, dan Clay mengenal James, tetapi aku bisa langsung menyimpulkan bahwa James akan berjalan disamping teman-temannya dalam kondisi apapun itu.

Aku menyadari bahwa musiknya berganti menjadi alunan dengan tempo cepat. Pandanganku menangkap keberadaan Clay tengah berlari kecil menghampiriku dan James.

"Maafkan aku karena menganggu obrolan kalian. Tapi bolehkah kupinjam Summer untuk menari bersamaku?" Ujar Clay pada James.

"Ya. Tentu saja." Jawab James.

"Keren." Dengan begitu Clay menarikku menuju ke tengah ruangan bergabung dengan orang-orang yang juga berkerumun untuk menari menikmati alunan musiknya.

Aku tidak pandai dan tidak terbiasa melakukan hal semacam ini. Menari bukanlah keahlianku. Clay menggoyangkan tubuhnya dengan asal, menikmati setiap alunan musik yang berdentum. Aku memandanginya dengan bodoh. Tidak tahu apa yang harus kulakukan dan kugerakan.

"Apa yang kau tunggu Summer? Ayo menari bersamaku!"

"Aku belum pernah melakukan hal ini."

"Oh ayolah." Tanpa peringatan, Clay menarik kedua tanganku mengajakku untuk melompat-lompat, berputar-putar, dan melakukan gerakan-gerakan asal. Aku mengikutinya dengan perasaan ragu. Tapi semakin lama, aku menikmati alunan musiknya. Well, tidak terlalu buruk.

Tubuh dan pikiranku ikut hanyut bersama kerumunan orang-orang yang ikut menari bersamaku. Tidak peduli sekeras apa musik disini. Kedua gendang telingaku sepertinya sudah mulai terbiasa. Tidak peduli sekacau apa orang-orang disekitarku sekarang. Tidak peduli seberapa banyak tequila yang sudah kuteguk. Tubuh bekeringat, gelas tequila di tanganku, tubuhku terasa sangat ringan. Ini adalah hal terhebat yang pernah kulakukan. Oh kemana saja kau Summer selama ini?

"Kau berhutang padaku bercerita kenapa kau mengambil cuti." Tanyaku ditengah-tengah kami masih menari tanpa kenal lelah.

"Ayahku sakit keras. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Jadi aku yang merawatnya." Seketika aktvitasku terhenti mendengar penjelasan Clay. Mengamati wajahnya yang tidak memperlihatkan kesedihan sedikitpun tetapi ada sorot kepedulian disana.

"Bagaimana dengan ibumu?"

"Oh. Aku belum pernah melihat ibuku seumur hidupku. Ada yang bilang dia sudah mati, ada juga yang bilang dia pergi dengan simpananya. Oh aku tidak peduli."

"Maafkan aku Clay. Aku turut prihatin."

"Oh tidak apa Summer. Lagipula aku tidak berharap ingin bertemu dengannya."

Aku menariknya kedalam pelukanku. Aku tahu ini yang dibutuhkan Clay. Aku hanya tidak habis pikir dibalik keceriaan dan energi positifnya ternyata ia menyembunyikan kesedihan yang amat kejam itu. Clay pantas mendapatkan hidup yang dia inginkan. Dan ia tidak pantas menerima kekejaman hidup ini karena yang aku tahu Clay adalah wanita yang ceria dan kuat.

"Kau bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan. Aku akan selalu ada untukmu." Ujarku.

"Terima kasih Summer. Kau sahabat terbaikku."

"Anytime Clay."

Sebagai sahabat aku harus memberikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Clay pantas mendapatkannya. Clay pantas mendapatkan cinta dari orang-orang sekitarnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 12:00 A.M. Oh, ya Tuhan, ini sudah terlalu larut untukku. Aku memutuskan untuk berpamitan dengan Clay sebelum malam semakin larut.

"Kau yakin akan pulang sendiri?" Tanya Clay begitu kami sudah berdiri di depan mobil Brad yang kupakai.

"Ya. Aku akan baik-baik saja."

"Oke. Hati-hati dijalan."

"Oke. Bye Clay. Terima kasih untuk malam ini." Aku memeluknya dengan singkat sebelum merangkak masuk ke kursi kemudi.

"Anytime Summer. Bye."

Menarik persneling lalu menginjak pedal gas, mobil yang kutumpangi perlahan melaju meninggalkan bar. Aku berusaha keras untuk menjaga kesadaranku selama menyetir setelah beberapa gelas tequila yang kuteguk. Sungguh, aku sangat bodoh, betapa bahayanya mengendarai mobil dengan keadaan hampir sepenuhnya mabuk. Tidak seharusnya aku minum terlalu banyak. Aku memutuskan untuk memacu mobil dengan kecepatan sedang cenderung pelan. Mengantisipasi resiko buruk jika tiba-tiba kesadaranku hilang.

Aku tiba dirumah setelah menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit. Ya, lebih lambat dari yang seharusnya. Aku tidak peduli. Yang kupentingkan adalah keselamatan daripada waktu.

Aku berjalan masuk rumah melewati setiap ruangan, untuk menuju ke kamar. Kepalaku sudah terasa sangat berat. Tubuhku sangat lemas. Dengan begitu aku langsung menghempaskan tubuhku diatas kasur begitu masuk kamar. Tanpa berganti pakaian, mencuci muka, dan menggosok gigi terlebih dahulu, ketidaksadaranku telah mendahuluinya.

Di pagi harinya aku terbangun dengan keadaan yang sangat kacau. Wajah dan rambutku sangat berantakan, sedangkan pakaianku sudah sangat bau. Oh, Summer tidak seharusnya kau mabuk semalam. Kualihkan pandanganku kearah jam dinding. Jam 10 pagi. Astaga, baru kali ini aku bangun se siang ini. Untung saja hari ini hari Minggu. Menyibahkan selimut, aku bangkit dari kasur untuk mengambil ponselku yang sedang aku isi baterainya semalaman diatas nakas. Sial, tiba-tiba perutku terasa mual dan sesuatu ingin keluar dari perutku. Lantas aku berlari kecil menuju ke toilet untuk memuntahkan isi perutku. Oh ya Tuhan, perutku terasa sangat tidak enak serta kepalaku yang tiba-tiba berdenyut-denyut hebat. Tubuhku melemas tidak sanggup untuk bangkit dari toilet.

"Kau baik-baik saja?"

Aku terperanjat kaget. Menoleh ke samping dan mendapati dirinya sudah berdiri diambang pintu dengan raut wajah yang tidak bisa kuartikan. Ia meraih punggungku, mengusapnya dengan lembut. "Apa yang telah kau lakukan selama aku pergi?" tanyanya, tanpa berhenti mengusap punggungku.

To be continue...

I hope you guys give me a comment and the star. Thank you.

Love x

Continue Reading

You'll Also Like

175K 15.2K 83
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1.1M 43.6K 37
(CERITA YTH. BAPAK DOSEN DAN SELURUH ISINYA HANYA TERSEDIA DI WATTPAD @eestehpanas , SELAIN DI WATTPAD SAYA KLAIM PLAGIAT) ...... "kok bapak si yang...
Fantasia By neela

Fanfiction

1.6M 5.1K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
352K 26.4K 54
Renner dan Sabila, dua orang dengan profesi berbeda yang menguras tenaga- seorang kapten polisi dan dokter emergensi, bertemu dalam sebuah keadaan ya...