Just You (Bradley Simpson)

By itscutieoreo

5.1K 556 73

[Written in bahasa] All I have just you More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - See You in New York
CHAPTER 2 - Say Goodbye
CHAPTER 3 - Arrived
CHAPTER 4 - Not as Sweet as You Are
CHAPTER 5 - Just a Lucky Girl
CHAPTER 6 - Stranger Man
CHAPTER 7 - Don't Leave Me Again
CHAPTER 8 - I Won
CHAPTER 9 - May I Have Your Eyes?
CHAPTER 10 - I'll Begin My Game
CHAPTER 11 - Hurt, But That's Okay
CHAPTER 12 - He Said I'm Beautiful
CHAPTER 13 - Night Talk
CHAPTER 14 - Who Are You?
CHAPTER 15 - Lies
CHAPTER 16 - Forgive Me
CHAPTER 17 - Fear
CHAPTER 18 - The Same Feeling
CHAPTER 19 - Cupcake
CHAPTER 20 - Kiss and Tell
CHAPTER 21 - Threats Haunt Me
CHAPTER 22 - Threats Haunt Me (2)
CHAPTER 23 - Bad Day
CHAPTER 24 - When You Ignore Me
CHAPTER 25 - Coming Home
CHAPTER 26 - Ask You in 443 ft
CHAPTER 27 - Jealousy
CHAPTER 28 - Desire
CHAPTER 29 - This is Insane
CHAPTER 30 - Fucked Up
CHAPTER 31 - Kindest Person
CHAPTER 32 - Appreciate
CHAPTER 34 - Voices
CHAPTER 35 - Cruel
CHAPTER 36 - By Your Side
CHAPTER 37 - Puzzle
CHAPTER 38 - Violet
CHAPTER 39 - Hometown
CHAPTER 40 - Unconditionally

CHAPTER 33 - This Silence

19 1 0
By itscutieoreo

Aku mengambil gelas dan piring kotor diatas meja, membawanya ke belakang lantas kembali lagi untuk mengelap meja. 5 menit lagi aku harus menutup kafe ini, dan bersiap untuk pulang. Hari ini cukup melelahkan bagiku, Mark tidak datang bekerja karena sakit sedangkan hari ini kafe lebih ramai dari biasanya, sehingga aku harus mengerjakan semuanya sendirian.

Tiba-tiba suara lonceng pintu mengalihkan aktivitasku.

"Kami sudah tutup." Aku terpaku ditempat. Ada jeda beberapa detik sebelum aku melanjutkan untuk menyapanya. "Hei..."

"Summer?" Kutebak ia juga terkejut akan keberadaanku disini. "Oh maafkan aku kafe ini sudah tutup?" Tanyanya.

"Ya, kami sudah tutup, tapi tak apa akan kubuatkan pesananmu. Duduklah."

"Sungguh?" Aku mengangguk seraya mengulas senyum. "Oh terima kasih Summer, sungguh aku sangat kedinginan di luar" Ujarnya seraya melepas mantel yang dikenakannya lalu menyampirkannya pada sandaran kursi.

"Kopi?" Tawarku.

"Yes, Americano please"

"Baik, tunggu sebentar"

Aku melenggang ke dapur untuk menyiapkan pesananya, lalu kembali lagi dengan secangkir Americano panas di tanganku. Kuletakkan di mejanya. "Ini Americano-mu"

"Oh terima kasih Summer" Ia meletakkan kedua tangannya di cangkir mencoba menghangatkan telapak tangannya sebelum menyesap kopi panas tersebut dengan hati-hati dan kembali meletakkannya di meja. "Hei kita bisa ngobrol dulu selagi aku menghabiskan kopiku? Tawarnya dengan senyumannya yang hangat.

"Ya tentu saja"

"Kau tidak sedang buru-buru kan?"

"Ah tidak, lagipula aku juga masih menunggu Brad menjemputku"

Kini pandangannya berubah canggung ketika ia mendengar nama Brad terlontar dari mulutku. "Cool" ia kembali tersenyum tetapi masih nampak canggung. Aku menarik bangku dan duduk di sebrang mejanya. Untuk sesaat aku cukup terkagum-kagum dengan parasnya yang cantik. Dia memang cantik Summer! Dress hitam yang ia padukan dengan jaket kulit dan sepatu bootsnya nampak sederhana tapi sungguh ia sangat cantik. "So, kau bekerja disini?" Tanyanya.

"Ya, seperti yang kau lihat" Jawabku.

"Kutebak?! pasti Brad tidak menyetujuinya?" Tanyanya dibarengi dengan kekehannya.

"Kau benar" Oh Summer, bahkan dia paham betul sifat Brad. Gadis batinku seketika terbakar api cemburu. Tetapi aku berusaha menepis jauh-jauh seluruh pikiran negatifku terhadap Stacey. Dia wanita yang baik, jadi aku tak perlu menaruh kecemburuan yang berlebih terhadap hubungan yang pernah Brad dan Stacey jalani.

"Oh tipkal Brad dengan segala keotoritasanya, ia menganggap semua orang bisa bahagia dengan caranya, padahal itu tidak benar" Katanya.

"Ya, kadang kala itu sangat menjengkelkan Tapi diluar itu semua, Brad pria yang baik." Stacey kembali menyesap kopinya lalu menyelipkan rambut hitam panjang dan berkilaunya ke belakang telinga. Nampak anting yang menggantung di kedua telinganya dengan berlian kecil yang kutafsir harganya bukan main.

"Ya, kau benar, Brad pria yang baik" Aku meliriknya, ada sesuatu yang berubah dari pandangannya. Mata cokelat gelapnya seolah berkata yang sebaliknya. Aku tidak tahu apa maksudnya, dan lagi, aku tidak mau berpikiran negatif tentangnya. Stacey menyadari pandanganku, seolah ia bisa membaca isi kepalaku saat ini. Stacey menghela nafas lantas membawa tangannya ke rambut, menyelipkannya kembali dibalik telinganya. "Dia pria yang baik. Tetapi aku tidak bisa berada dalam kerumitan yang dimilikinya. Terlalu sulit untukku."

Lagi, aku bingung akan maksudnya. Aku mengernyit mencoba mencerna kata kerumitan apa yang dimaksudnya. Aku mengenal Brad sejak kecil, tapi aku tidak menemukan satupun kerumitan pada Brad. Brad telalu sempurna untuk dikatakan rumit. "Kupikir Brad tidak seperti itu" Ujarku.

Stacey memandang kosong cangkir kopinya yang tersisa setengah. Mulutnya membuka dan menutup seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tertahan. Aku bersumpah, aku tidak mengerti seluruh maksudnya. Kuharap setelah ini aku tidak berusaha menggali lebih dalam sesuatu pada kehidupan Brad yang belum aku ketahui. Tidak, itu hanya akan menimbulkan percikan api yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membakar habis hubunganku dengan Brad. Aku mempercayainya dan aku yakin semuanya seperti yang ada di pikiran positifku.

"Kurasa aku yang salah. Aku turut senang kau bahagia dengannya" Ujarnya.

"Maafkan aku Stacey, aku tidak bermaksud—"

"Tidak apa Summer. Aku sudah melupakannya dan semuannya baik-baik saja."

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian tapi bukankah seseorang itu berubah? Masa lalu menjadikan alasan sesorang untuk berusaha menjadi lebih baik."

"Ya aku percaya Brad bisa berubah lebih baik. Dia pantas mendapatkan yang terbaik."

"Kau juga pantas mendapatkan yang terbaik Stace."

"Terima kasih Summer." Stacey menyesap kopinya untuk yang terakhir kalinya, lantas menaruhnya kembali diatas meja. Ponselku berdering, aku mendapati pesan dari Brad bahwa ia sudah menunggu di luar. Aku menoleh, mendapati mobil hitam yang sudah tidak asing lagi di penglihatanku berhenti di sebrang jalan.

"Brad sudah menungguku. Mungkin kita bisa ngobrol lagi lain waktu" Ujarku,

"Oh. Kalau begitu berapa harga kopiku" Tanyanya. Stacey merogoh tasnya kemudian mengeluarkan satu lembar uang dari dompet hitamnya.

"Simpan saja uangmu. Aku mentraktrimu."

"Sungguh?"

"Ya." Kedua sudut bibirnya tertarik, Stacey kembali memasukkan dompetnya kedalam Louis Vuitton-nya lantas bangkit dari kursinya.

"Terima kasih Summer. Kau bisa mampir ke rumahku kapan-kapan." Tawarnya.

"Tentu saja. Aku akan memikirkannya nanti."

"Keren. I'll text you my address. Sampai jumpa lagi Summer" Stacey memelukku singkat lantas melenggang keluar kafe.

"Sampai jumpa Stacey". Aku kembali ke dapur untuk mencuci cangkir tadi, lalu menyambar tasku. Kumatikan seluruh lampu di dalam lantas melenggang keluar kafe. Tak lupa aku mengunci pintu kafe. Menyebrangi jalan menuju mobil Brad yang terparkir di sebrang kafe. Aku merangkak masuk ke dalam mobilnya.

"Hei." Brad menggalihkan pandangannya dari ponselnya begitu aku menyapanya lalu memasukkannya kedalam saku celananya.

"Hai sayang." Brad memelukku kemudian mengecup singkat bibirku. "Aku merindukanmu." Ujarnya.

"Astaga. Pagi tadi kita berangkat ke kampus bersama. Kau berlebihan Brad."

"Memang tidak boleh?" Gerutunya.

"Oke terserah kau." Tangan Brad menarik persneling, mobil kami melesat ke jalanan dengan kecepatan sedang.

"Kau ingin makan malam apa?" Tanyanya.

"Bagaimana dengan masakan Cina?"

"Oke baiklah. Kita akan mampir di restoran makanan Cina."

Sejujurnya, aku merasa tidak enak pada Brad. Kami terlalu sering membeli makanan di luar karena aku tidak sempat masak. Ya. Aku tidak memiliki pilihan lain, sebab sepulang kuliah aku harus bekerja sampai malam dan aku terlalu lelah untuk menyiapkan makan malam sendiri. Kendati Brad tidak pernah mempermasalahkannya tetapi sungguh aku merasa seperti wanita pemalas.

"Aku melihat dia tadi. Apa yang dia lakukan?" Suara Brad memecah keheningan. Aku menoleh kearahnya, pandangannya terpaku pada jalanan. Aku bisa melihat mimik wajahnya yang datar dibawah penerangan lampu jalanan.

"Dia?"

"Stacey." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.

"Dia hanya mampir."

"Kau bicara dengannya?"

"Ya. Kenapa?"

Brad menggeleng. "Tidak ada." Aku menyadari bahwa Brad berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.

"Stacey mengajakku berkunjung ke rumahnya." Brad menoleh kearahku sekilas.

"Kau tidak akan pergi kesana bukan?"

"Kenapa tidak?"

"Bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu?" Lagi, Brad berusaha untuk mengontrolku. Aku berusaha untuk menahan dorongan dalam diriku untuk tidak marah.

"Kenapa?"

"Aku tidak suka kau berada di dekatnya."

"Apa maksudmu?"

"Oh sungguh Summer?! Haruskah aku menjelaskan semuanya satu per satu padamu? Tentu kau paham maksudku." Aku terperanjat kaget. Tidak menyangka Brad akan membentakku seperti ini.

"Bagaimana caraku untuk bisa memahami maksudmu? Katakan padaku! Bahkan kau tidak memberiku alasannya"

"Aku tidak menyukai kau berada di dekatnya. Kupikir itu sudah menjelaskan semuanya."

"Stacey baik padaku, jadi apa yang menjadi permasalahan? Kau tidak mungkin melarangku jika tidak ada alasan besar dibaliknya."

"Sudah kukatakan aku tidak menyukainya. Itulah alasannya." Suaranya penuh dengan penekanan. Aku menelan ludah. Lebih tepatnya menahan gejolak air yang ingin meluncur keluar dari mataku. Brad tidak pernah membentakku dan ini yang pertama kalinya ia lakukan padaku. Rasanya sangat sakit dan sesak seolah paru-paruku menolak oksigen ini untuk masuk. Aku memilih untuk tidak menanggapinya dan mengalihkan pandanganku ke jalanan. Bisakah Brad cukup menjelaskan padaku. Kendati aku tidak tahu apakah aku sudah siap medengar kebenarannya atau tidak, tapi sungguh aku jauh lebih benci ketika Brad berusaha menutupinya dariku dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

***

Sesampainya di rumah, kami tidak melontarkan sepatah katapun setelah pertengkaran kami di mobil tadi. Bahkan kami makan dalam suasana hening, hanya suara dentingan piring dan sendok yang memenuhi setiap sudut ruang makan. Tenggelam dalam kesunyian yang bisa membuatku gila.

Setelah selesai makan, kubawa piring-piring dan gelas ke bak cuci piring untuk mencucinya. Brad beralih ke ruang tengah, lantas menyalakan televisi tetapi pandangannya terfokus pada ponselnya. Aku benci ketika kami sedang bertengkar, tapi aku bersumpah masih kesal padanya. Setelah selesai dengan piring dan gelas kotor, aku pergi ke kamar, menanggalkan seluruh pakaianku, menaruhnya di keranjang pakaian kotor lantas masuk ke kamar mandi. Membiarkan air hangat merendam seluruh tubuhku, kurasakan seolah seluruh beban pikirkanku turut larut dalam air. Tenang, rileks, dan ringan, itulah yang sedang kurasakan sekarang. Aku tahu, ini hanya sementara, tetapi dengan begitu setidaknya aku memiliki secercah harapan untuk menyelesaikan masalah kecil yang sedang aku hadapi ini.

Semua yang sedang aku hadapi, menyadarkanku bahwa setiap hubungan tidak selamanya baik-baik saja. Aku pernah berpikir bahwa, dengan mencintai sahabatku sendiri hanya akan merusak hubungan yang selama ini telah kami bangun. Dahulu kami baik-baik saja, hanya pertengkaran dengan permasalahan konyol yang pernah kami alami. Dan sekarang, letak perbedaanya ada pada konteks permasalahan yang berbeda. Kepercayaan dan masa lalu adalah tantangan terbesar dalam suatu hubungan. Aku tidak tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dengan masalah yang sudah menunggu kami di depan.

Aku meraih kimonoku yang tergantung dibalik pintu kamar mandi, lantas melangkah keluar kamar mandi. Aku mengintip keluar kamar, dan masih mendapati Brad di ruang tengah dengan TV yang menyala. Aku beralih ke meja rias untuk mengeringkan rambutku sebelum beranjak untuk tidur. Mengecek ponselku, aku mendapati sebuah email yang baru saja masuk beberapa menit yang lalu.

Spencers Industries Holding memberiku tawaran untuk bergabung pada program magang mereka. Sungguh, ini adalah kesempatan emas untukku. Bekerja di perusahaan besar merupakan sebuah impian. Tetapi aku tidak tahu, bagaimana caraku untuk memberitahu Brad. Apakah akan terdengar mengkhianati jika aku menolak tawaran magangnya tetapi disamping itu aku magang di tempat lain? Kurasa Brad mengerti apa yang kuinginkan, mengingat kami sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, hanya saja aku takut menyakiti perasaanya karena ia terlalu baik untukku.

Membuka lemari pakaian, aku meraih kaos hitam milik Brad untuk kupakai. Entahlah, aku mulai menyukai tidur mengenakan kaos maupun kemeja Brad. Harum tubuhnya yang khas menempel permanen di seluruh pakaiannya, menjadi obat penenang tidurku setiap malam. Aku merangkak ke tempat tidur, menarik selimut, bersiap untuk pergi ke alam mimpi. Mungkin besok aku akan menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk program magang tersebut dan tentu saja memberitahu Brad kabar ini. Mungkin aku akan sedikit meminta bantuan pada Brad, mengingat ia sudah cukup berpengalaman di dunia perusahaan. Tapi yang pertama, aku harus menyelesaikan pertengkaran kami terlebih dahulu. Kuharap besok pagi suasana hatinya jauh lebih baik dan kami bisa membicarakannya.

Samar-samar kurasakan kasur dibawahku bergerak, seperti ada seseorang yang merangkak naik. Sebuah tangan melingkar di tubuhku dan sebuah suara yang halus dan dalam berbisik tepat di telingaku. Aku merasakan hembusan nafasnya di sekitar telingaku.

"Selamat malam sayang, aku mencintaimu." Semakin lama kesadaranku semakin hilang dan hanyut dalam mimpi.

***

Aku bergegas mengeringkan tanganku begitu roti panggangku keluar dari toaster. Menyiapkan dua piring, kutaruh roti panggang tadi diatas piring bersama kacang, telur mata sapi, dan daging asap sebagai makanan pendampingnya. Sarapan pagi ala Inggris menjadi pilihanku pagi ini. Entahlah aku hanya ingin mengobati rasa rinduku pada Westminster.

Tak berselang lama, Brad keluar dari kamar dengan pakaiannya yang sudah rapi dengan kemeja motif, celana formal bahan serta boots kecintaanya. Tak lupa 3 kancing atas kemejanya sengaja tidak ia kaitkan. Well, akhir-akhir ini ia lebih sering mengenakan pakaian semi formal daripada mengenakan kaos dan skinny jeans-nya. Aku tidak pernah bertanya apa alasannya. Lagipula mau seperti apapun gaya pakaiannya akan tetap menjadi favoritku. Sungguh, aku tidak mengerti lagi, bagaimana bisa pria ini sangat mempesona.

"Duduklah, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu." Brad meliriku dari sudut matanya, ia melangkah menuju mini bar tanpa sepatah kata-pun. Aku membuang nafas, mengambil secangkir kopi dari mesin espresso otomatis untuk Brad lalu menuangkan susu kedalam gelas untukku. Aku menyodorkan secangkir kopi pada Brad, ia menerimanya dengan mulut yang tertutup rapat. Aku benci suasana ini. Brad melahap semua yang ada di diatas piring, sedangkan aku berharap cemas takut jika Brad tidak menyukai masakanku.

Tiba-tiba aku tidak berminat menyantap makanan dihadapanku, perutku seperti sudah terisi penuh oleh suasana yang aku benci ini. Lelah dan memuakkan, sungguh rasanya aku ingin keluar dari lapisan atmosfer tanpa oksigen ini.

"Bisa kita bicarakan ini?" Akhirnya sebuah suara keluar dari mulutnya. Perlahan pandanganku beralih ke arahnya. Sial, Brad sudah lebih dulu memandangiku. Berujung aku mengurungkan pandanganku, menunduk menatap piringnya yang sudah bersih tanpa sisa. Dalam hati aku bernafas lega. Kurasa Brad menyukai masakanku. "Summer, kau mendengarkanku?"

"Uh—ya. Tentu."

"Habiskan sarapanmu dulu. Jangan biarkan perutmu kosong di pagi hari." Nada suaranya dingin, tapi ini jauh lebih baik daripada kami saling diam dan membiarkan masalah ini sampai berlarut-larut. Gadis batinku, mulai mengulas senyumnya lagi dan kembali ceria. Dengan terpaksa dan sedikit mual aku menghabiskan sarapanku. Memang aku sudah sedikit lega karena Brad mau membicarakan masalah ini, tetapi perutku tidak bisa membohongi karena aku belum sepenuhnya keluar dari atmosfer itu. Begitu selesai dengan sarapan kami, aku beralih ke bak cuci piring untuk mencuci semua piring dan gelas kotor. Aku benci meninggalkan rumah dengan keadaan barang-barang yang masih kotor baik peralatan dapur maupun pakaian.

Begitu selesai berurusan dengan piring dan gelas kotor, aku kembali bergabung dengan Brad di mini bar. Aku memilih untuk diam, menunggu Brad angkat bicara.

"Aku ingin kau tahu bahwa tidak ada yang aku rahasiakan tentang Stacey darimu."

"Kuharap begitu." Aku lebih memilih untuk menunduk, memandang jari-jariku, menolak memandangi wajahnya.

"Summer, lihat aku!" Dengan perasaan ragu dan berkecamuk, aku mendongak bertemu dengan mata cokelat itu. "Kau percaya padaku?"

Aku menggeleng lemah. Aku percaya padanya, tetapi separuhku mengatakan sebaliknya. "Aku tidak tahu Brad."

"Hubungan kita tidak akan berhasil jika kau tidak mempercayaiku Summer."

"Aku sedang berusaha Brad tapi kau yang menggagalkan usahaku." Brad menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya. Sorot matanya menujukkan kefrustasian yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Oke sekarang apa yang ingin kau ketahui?"

"Brad, aku hanya ingin kau menyadari apa saja yang seharusnya perlu aku ketahui darimu. Aku benci ketika ada rahasia diantara kita. Kau tahu, rasanya seolah aku ini orang baru yang tiba-tiba masuk di kehidupanmu." Jelasku.

"Aku tidak bermaksud menyembunyikan rahasia darimu Summer. Hanya saja—aku membutukan waktu untuk memikirkan bagaimana caranya agar tidak berujung menyakiti hatimu." Sorot matanya berubah menjadi sedih. Ada jeda beberapa detik diantara kita. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Tidak mungkin aku terus mendorong Brad untuk mengungkap rahasianya. Terdengar sangat jahat dan egois. Dan, Brad juga sudah menjelaskan bahwa ia takut menyakitiku. Seharusnya itu sudah cukup bagiku untuk membungkam seluruh keinginan tahuku. "Dengar, Stacey tidak baik untukmu. Dia maipulatif. Apa yang sudah aku alami, membuatku berpikir bahwa ia tidak jauh dari seorang yang manipulatif."

"Bagaimana dengan anggapan orang itu berubah?"

"Summer kumohon kali ini dengarkan aku." Brad menyisir rambutnya kebelakang menggunakan jari-jarinya nampak frustasi. Mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkannya kembali. "Oke, aku tidak melarangmu untuk bergaul dengannya. Tapi kuharap kau berhati-hati dengannya. Aku sudah memperingatkanmu."

"Aku akan selalu mengingatnya. Terima kasih sudah mengerti." Sungguh. Di detik itu pula aku merasa sangat bersyukur bahwa Tuhan mengizinkanku bersama pria ini. Pria berhati besar yang lebih mengutamakan perasaan orang lain dari pada dirinya sendiri. Kebaikannya membuatku berpikir bahwa Brad pantas mendapatkan kehidupan yang terbaik. Brad pantas hidup dengan kasih sayang dan kehangatan keluarga yang sebenarnya. Maksudku, dengan kedua orang tua yang sangat ia sayangi.

"Kemarilah sayang" Brad membuka kedua lengannya, menginstruksikanku untuk mendekat kearahnya. Aku berjalan kearahnya dan jatuh ke pelukannya. Mengirup dalam-dalam aroma tubuhnya. "Aku benci ketika kita bertengkar." Ujarnya disela-sela pelukan kami.

"Begitupun denganku."

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud berkata demikian semalam." Ujarnya.

"Tak apa. Aku juga minta maaf telah bersikap egois belakangan ini."

"Oh sayang. Kau tidak pernah egois hanya saja kadang menjengkelkan."

"Apa?!" Brad terkekeh geli sedangkan aku mengeryit sebal padanya. Aku menyubit perutnya kemudian Brad bertingkah seolah aku baru saja memukulnya dengan balok. Dasar ratu drama.

"Aku akan pergi ke Pitssburgh hari ini." Ujarnya yang membuat rotasi kehidupanku seolah berhenti tiba-tiba. Apa? Brad akan meninggalkanku? Berapa lama? Dengan siapa ia akan pergi? Kenapa ia baru memberitahuku sekarang? Ah sial.

"Kenapa mendadak sekali?"

"Maafkan aku. Aku berniat memberitahumu semalam tetapi kau sudah tidur." Gadis batinku menggerutu kesal. Kenapa disaat hubungan kami sudah membaik, Brad justru pergi dengan urusannya. Ini menyebalkan. Tak bisa kah ia pergi tidak di hari akhir pekan. Mengingat akhir pekan adalah waktu dimana kami biasa menghabiskan waktu bersama. Lagi-lagi, batinku mengingatkanku untuk menahan gejolak keegoisanku. Oke, Summer, Ini adalah pekerjaan Brad. Kau tidak berhak melarangnya ataupun berusaha mengontrolnya sesuai dengan keinginanku. Pekerjaan ini sudah merupakan tanggung jawabnya. Kau harus menerimanya.

"Apakah ini urusan pekerjaan?"

"Ya. Ada sedikit masalah perusahaan yang harus kuatasi di Pitssburgh."

"Jadi kau tidak bisa menghabiskan akhir pekan bersamaku?"

"Ya, terpaksa. Aku akan kembali di hari minggu. Aku janji."

"Oke. Pukul berapa kau berangkat?"

"8 malam. Ada apa?"

"Bisakah kita makan malam bersama sebelum kau berangkat?"

"Kau tidak bekerja hari ini?"

"Tidak. Semalam aku menggantikan shift Mark, dan hari ini dia berjanji akan menggantikan shift-ku."

"Oke. Lovely."

Sejurus kemudian Brad meraih kunci mobil diatas bupet. Kami pergi ke kampus bersama hari ini. Brad bilang bahwa ia tidak ingin melewatkan kelasnya lagi walaupun malamnya ia harus berangkat ke Pittsburgh. Well Brad sudah terlalu sering melewatkan kelasnya karena pekerjaanya dan itu terlalu beresiko untuk kelulusannya.

Di sore harinya kami pergi ke swalayan untuk membeli beberapa bahan makanan untuk kumasak dimalam harinya. Aku memutuskan untuk membuat shepherd's pie sebagai menu utamanya dan yorkshire pudding sebagai makanan penutupnya. Lagi-lagi menu ala Inggris. Ku akui ini cukup membuatku kualahan untuk mengerjakannya seorang diri. Jadi aku meminta tolong Brad untuk membantuku memotong-motong daging dan sayuran sedangkan aku yang mengolahnya. Berulang kali Brad menggerutu ketika aku memprotes karena memotong dagingnya terlalu besar.

"Sial. Aku jadi bau domba. Kenapa kita tidak makan di luar saja? Kita tidak perlu susah payah di dapur." Gerutunya.

"Bisakah kau diam. Aku hanya ingin membuat malam ini istimewa sebelum kau pergi."

"Astaga Summer. Aku hanya pergi untuk 2 hari. Itu bukan waktu yang lama."

"Kau tidak menyukai ideku ini?"

"Aku tidak bermaksud demikian Summer. Aku hanya tidak tega melihatmu kelelahan melakukan semua ini."

"Brad. Aku senang melakukan semua ini. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu malam ini. Lagipula aku jarang sekali memasak seperti ini."

"Sungguh, aku tidak pernah memaksamu setiap hari masak untukku."

"Aku tahu Brad." aku mengambil shepherd's pie dari dalam pemanggang. "Duduklah, makanan kita sudah siap." Aku menginstruksikannya untuk duduk di mini bar karena makanan kami sudah siap. Aku menaruh kedua menu hidangan kami di atas meja, tak lupa dengan wine kesukaan kami.

Aku tidak menyangka Brad sangat menyukai menu makan malam masakanku ini. Ia begitu lahap ketika menyantapnya. Setiap suap yang masuk ke mulutnya menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Kuakui Brad sangat lihai dalam menghargai usaha orang lain. Itulah mengapa aku menganggap Brad adalah pria terbaik yang pernah kutemui setelah ayahku. Aku beruntung memiliki pria ini di didalam hidupku.

"Paul akan mengantar jemputmu selama aku pergi." Ujar Brad setelah menyesap habis wine di gelasnya.

"Tidak perlu Brad, aku bisa naik bus."

"Jarak rumah kita ke halte cukup jauh Summer."

"Aku suka berjalan. Masalah teratasi." Brad membuang nafas dengan berat. Apa? Ada yang salah? "Oh ayolah, kau perlu memberi hari libur untuk Paul." Gerutuku.

"Kalau begitu kau pakai mobilku."

Aku medengus pasrah. "Oke. Baiklah."

"Oke. Bagus." Oh kuharap aku bisa menghabiskan akhir pekan bersama Brad. Kenapa suasana hatiku tiba-tiba murung? Ya Tuhan, Brad hanya pergi selama 2 hari. 2 hari bukanlah waktu yang lama Summer. Aku hanya bingung, apa yang akan kulakukan tanpanya apalagi di hari libur. Sungguh, kurasa aku akan mati kebosanan di rumah ini. "Baiklah, kurasa aku harus berangkat sekarang." Brad bangkit dari duduknya lantas meraih tas dan membawa ke pundak kirinya. Aku menghampirinya, memeluk erat dan menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya untuk yang terakhir kalinya sebelum ia pergi untuk 2 hari.

"Kuharap aku bisa ikut denganmu ke Pittsburgh." Rengekku.

"Oh sayang. Percayalah padaku tidak ada yang menarik di Pittsburgh. Aku berjanji setelah perayaan Thanksgiving kita akan ke London."

"Sungguh?"

"Ya." Brad mempererat pelukan kami, mencium puncak kepalaku diikuti mengecup bibirku cukup lama. "Baiklah aku harus pergi. Jangan menabrakkan mobilku di trotoar. Aku belum melunasi cicilannya."

"Sial kau Brad." Brad tertawa keras hingga matanya menyipit.

"Sampai jumpa sayang. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan merindukanmu." Brad mengecup puncak kepalaku untuk yang terakhir kalinya sebelum menarik tubuhnya dari pelukan kami.

"Sampai jumpa sayang." Aku terus memperhatikannya berjalan keluar pintu hingga aku tidak melihat punggungnya setelah ia keluar dan pintu tertutup rapat. Aku medesah berat. Atmosfer di sekitarku mendadak terasa aneh. Hening dan hampa. Mataku terasa panas, sesuatu ingin meluncur keluar dari mataku. Dengan sekuat tenaga aku menahanya. Hanya 2 hari Summer. Kau bisa melewatinya.

To be continue...  

Continue Reading

You'll Also Like

146K 15.2K 61
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
673K 14.1K 7
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
153K 14K 26
[Update: Senin-Selasa] "I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian...
55.9K 5.8K 19
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++