Empat Puluh Delapan•🍊

517 86 18
                                    

Prang

Gadis itu terjangkit dari tidurnya. Ia memendarkan mata untuk menemukan keberadaan Jonah. Cowok itu berdiri di sudut ruangan. Dibawah kakinya vas sudah hancur berkeping-keping.

"Sialan!" Cowok itu menumbuk dinding di hadapannya.

"Jonah, lo kenapa?" Nasya meninggalkan ranjangnya, menghampiri Jonah dengan tertatih-tatih.

"Gue gak apa-apa." Jonah membalikkan tubuh, seulas senyum terukir di bibirnya.

"Maaf udah buat lo terbangun." Jonah menarik Nasya dalam pelukannya. Ia mengusap pelan surai panjang gadis itu. "Udah, lanjut tidur gih. Gue mau ke ruangan papa."

Jonah mengurai pelukannya. Menepuk-nepuk puncak kepala Nasya pelan. "Good nigh," katanya sebelum meninggalkan kamar.

"Bi, tolong bersihin pecahan vas di kamar." Ketika melewati tangga, Jonah memberi perintah kepada pembantunya yang tengah membersihkan tangga.

"Baik, den."

Jonah melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Seperti biasa, jika malam begini Jontahan akan berada di tempat tersebut.

"Pa?"

Jonathan mengangkat kepala dari buku yang dibacanya. "Nasya udah tidur?"

"Udah," bohong Jonah. Ia mengambil duduk di hadapan sang ayah.

"Maaf, membuat kamu terlibat." Jonthan menutup bukunya. Sepenuhnya ia memberikan atensi pada putranya yang lelah.

"Kamu juga sudah besar, Jo. Ini bukan saat dimana kamu menomorsatukan perasaan. Ini saatnya kamu menomorsatukan tanggungjawab."

"Iya, Pa." Berat hati Jonah setuju.

"Kamu tahu kan seberapa penting kerjasama ini?"

Jonah mengangguk. "Ini jalan emas kamu untuk bisa membiayai Bulan seumur hidup. Dibanding pacar, darah persaudaraan lebih kental, bukan?"

Jonah mengangguk. Tidak mungkin juga di membuat Bulan di nomor dua pada daftar prioritasnya. Terlebih ini kesempatannya setelah hampir 17 tahun berpisah dari adiknya yang malang tersebut.

"Aku ngerti, Pa."

"Mungkin setelah gadis itu mati, kamu baru bisa kembali dengan kekasih kamu."

"Keburu nama aku dicoret, Pa."

"Biarkan saja," kata Jonathan santai. "Kalian juga masih remaja. Membangun hubungan dimasa itu hanya berujung hancur saja. Kecuali ketika kamu sudah berusia dewasa, kalian baru bisa berakhir happily ever after seperti di film-film dengan ikatan pernikahan."

"Iya, Pa." Semua yang ayahnya katakan memang benar. Tidak ada guna bagi Jonah mempertahankan hubungan saat ini. Karena mereka belum tentu menuju apa-apa selain hanya status saja karena takdir di masa depan mungkin akan menamparnya.

"Memangnya seperti apa cewek itu, sampai membuat cowok homo seperti kamu pusing eh?"

Jonah mendengkus. Gak ayahnya, gak temanya, semua melabelinya homo. "Papa lihat sendiri deh."

Jonah menyodorkan ponselnya. Jonathan menerimanya suka rela. Langsung saja ia jantungan melihat rupa cewek di walpaper anaknya tersebut. "Kamu serius suka sama dia?"

Jonah mengangguk.

"Kayak gak ada cewek lain aja," cibir Jonathan. "Tapi syukur juga ada yang mau sama cowok homo kayak kamu sih." Jonathan terkikik.

"Menurut Papa. Aku cocok gak sama dia?" tanya Jonah ingin tahu.

"Kalau urusan hati, papa gak bisa beri komentar. Tapi dari standar, sepertinya kamu lebih bagus sama Nasya."

My Kriting GirlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora