Tiga Puluh Enam🍊

1.4K 132 14
                                    

"Lama banget sih." Cewek itu menggerutu, memandang kesal pada cowok yang baru datang hanya dengan kaos putih dan jeans hitamnya. "Tumben lo gak pakai jaket."

"Bukan urusan lo," ketus Jonah mendudukan tubuh di hadapan Indy. "Udah sampai mana lo?"

"Bab sepuluh," kata Indy menunjukkan bukunya. "Lo belum ada mulai sama sekali, kalau..."

"Gak usah bising!" Jonah menarik buku cewek itu. "Ambilin gue air sana!"

Indy cemberut melihat fakta bahwa Jonah selalu tidak ramah padanya. Namun menjunjung tinggi rasa di dadanya mau tak mau ia bangkit .

"Air apa?"

"Milo dingin, kalau ada buah pir sekalian. Jangan pelit-pelit lo, neraka lebih panas dari  cabe-cabean."

Menghela nafas. Sabar, batin Indy menyemangati hatinya.

Olimpiade matematika bermulai lagi. Jonah yang awalannya tidak ingin pamer kemampuan telah dipaksa kepala sekolah untuk ikut. Alhasil dia dan Indy si anak IPS menjadi satu tim, belajar bareng disarankan oleh tutor mereka. Indy kegirangan dan Jonah bodoh amat. Datang seenak jidat dan pulang semuanya, tapi masih yakin kalau dia akan menang.

"Hadiahnya apaan sih?" Jonah mendongak, menatap Indy yang baru menurunkan segelas Milo dingin.

"Katanya sih uang, piala, dan sertifikat."

"Itu doang?" Jonah menarik gelas berembun itu mendekat. "Ada sianidanya gak nih?"

"Gue bukan pembunuh loh," balas Indy mulai membuka bukunya lagi. "Oh iy gue gak ada buah pir."

"Oh."

"Lo udah baca sampai mana?"

"Bab lima belas." Indy melotot.

"Secepat itu?"

"Materi kelas 10 semua, gue gak sepikun lo untuk melupakan rumus-rumus manis mereka."

Indy iya-iya saja, malas berdebat. Matanya diam-diam mengamati Jonah yang menyesap milo dengan fokus pada buku tebal di tangannya.

Ganteng, sudah setiap hari dia menggumam kalimat itu. Rahang tegas, alis tebal  membingkai dua manik tajamnya, hidung mancung, dan bibir merah benar-benar harmonisasi yang sempurna. Tubuh tegap hasil kerajinanya berolahraga memanjakan mata. Dadanya bidang, enak untuk bersandar. Indy menutup mata, menghentikan dirinya berimajinasi lebih soal Jonah.

"Lo buta?"

Indy membuka matanya cepat. "Hah?"

"Oh pura buta rupanya," ketus Jonah kembali menatap bukunya. "Faedahnya belajar bareng apaan sih? Pada akhirnya kan otak masing-masing yang harus kerja keras. Bukanya ringan, malah bikin ribet."

Indy terkekeh mendengar dumelan Jonah. Bahkan jika cowok itu marah sekalipun dia tetap berusaha sabar. Cinta memang terlalu gila, sabar meski disakiti dan disakiti meski sabar. Apa dia harus pakai cara kasar?

"Lo keberatan?"

"Banget."

"Kenapa?"

"Gak usah kepo lo!" hardik Jonah galak. "Baca punya lo sendiri, gue gak mau ya kalah gara-gara otak lo yang amburadul."

Cuma Jonah yang bisa merendahkannya. Dan sekali cuma Jonah yang tidak membuatnya berteriak marah karena telah dihina.

"Gimana kalau besok kita belajarnya di sekolah aja, gak usah kayak gini. Sekalian biar lo gak ribet malam-malam harus ke rumah gue."

"Lo ngomong apa?," tolak Jonah. "Lo ngajak gue belajar di sekolah? Sepulang sekolah? Lo gak mikir atau gimana? Cewek gue ada disana, kalau dia cemburu gimana? Sesama perempuan bukanya saling mengerti perasaan perempuan ya?"

My Kriting GirlWhere stories live. Discover now