09. Sang Genius

3.9K 446 217
                                    

9. Sang Genius

Aku adalah jiwa yang kehilangan raga.
Aku adalah kematian yang tertunda.
Aku hanyalah sampah yang tidak berguna.
Ya, seperti itulah diriku.

***

"AYO, gue antar," ucap Achel berbarengan dengan ban mobil yang berdecit di samping Rea. Rea baru saja akan mengambil sepedanya. Ia terkejut melihat Achel membuka kaca pintu mobil. Menatap Rea lamat-lamat.

"Gak perlu, Kak. Aku bawa sepeda," tolak Rea halus. Dia tidak ingin semakin berhutang budi pada Achel. Lelaki itu sudah banyak menolongnya. Entah Rea harus membalas bagaimana. Yang jelas dia merasa kedekatan ia dan Achel akan mengancam dirinya. Lihat saja, bagaimana Briana melihat ke arahnya dengan mata tajam bak elang mengincar mangsanya.

Meneguk ludah, Rea menggeleng. "Aku mau kerja. Kakak pulang aja."

"Yakin? Gak mau bareng gue?" tanya Achel sekali lagi.

Rea mengangguk. "Iya, kan aku bawa sepeda. Gimana coba kalau bareng sama kamu? Sepedanya aku tinggal?"

"Kan bisa di taruh di belakang," ujar Achel lagi. Dia masih memikirkan cara bagaimana ia bisa membawa Rea dari sini.

"Ah, nanti ngerepotin. Gak perlu, Kak. Terima kasih."

Achel bukan sosok yang pemaksa. Maka, dia mengangguk. "Oke, hati-hati di jalan." Kemudian Achel menutup kaca pintu mobil. Keluar dari gerbang kampus dan meninggalkan Rea. Seperti apa yang gadis itu inginkan.

***

Sejak ia masuk SMA, Achel sudah jatuh hati pada olahraga panahan. Meski terbilang olahraga yang jarang diminati karena selain mahal, tidak semua daerah memiliki tempat untuk berlatih. Achel adalah anak introvert semasa sekolah, dia bahkan tidak punya teman. Hanya Felix, Felix dan tentunya hanya Felix yang mau berteman dengannya tanpa memandang Achel adalah anak yang aneh. Meski tertutup, Achel selalu menyumbangkan piala-piala kemenangannya di bidang akademik. Ia pintar, dan pihak sekolah selalu menginginkan Achel mewakili sekolah untuk segala ajang perlombaan. Selagi Achel bisa, juga kedua orang tuanya setuju, maka Achel tidak pernah menolak.

Dia tidak pernah mau bergabung dengan eskul di sekolah. Achel tidak nyaman. Maka saat Achel meminta untuk masuk ke olahraga panahan, Aby langsung mengajak sang putra ke salah satu Gor di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Aby langsung mendaftarkan Achel untuk satu tahun sebagai pemula. Meski sebenarnya Achel hanya butuh waktu enam bulan sampai ia bisa menguasai segala teknik dan juga cara bermainnya.

Dan sampai detik ini, Achel masih sering berlatih di Gor selama dua kali dalam seminggu.

Achel memilih lapangan rumput untuk latihannya hari ini. Sebelum memasuki arena, dia mengganti kemeja yang dia pakai dari kampus dengan kaus khusus yang Achel cetak sendiri dengan namanya di punggung. Dengan kaus putih berlengan pendek itu, Achel justru semakin terlihat menawan. Untungnya sore itu cerah, sehingga tidak jadi masalah ia latihan di ruang terbuka.

Achel menuju kasir peralatan. Meminta perlengkapan memanah atas namanya.

Zafran mengambilkan semua peralatan yang Achel perlukan. Tersenyum ramah seperti biasa. "Sendirian aja nih? Gak sama adiknya?"

Achel menggeleng. Yang dimaksud Zafran adalah Aryan. Dia memang seperti ulet keket. Dimana saja ada, menempel dan tidak mau lepas. Aryan suka sekali merecoki Achel saat latihan. Meski pada kenyataannya, Aryan sama sekali tidak tertarik pada olahraga panahan seperti ini.

"Udah gede lah, masa ikut mulu." Zafran mengangguk. Menyetujui ucapan Achel barusan.

"Gue bantuin, ya?" tawarnya. Achel mengangguk. Berterima kasih karena Zafran mau membantunya memakaikan peralatan.

[NUG's 6✔] ARZACHELWhere stories live. Discover now