44) Omo!

330K 20.2K 573
                                    

Seperti biasa, Axel mondar-mandir di dalam ruang band, menunggui kedatangan Ocha. Meski ia tak tahu harus berbuat apa saat Ocha datang nanti, tapi setidaknya ia berharap Ocha masih mau datang ke ruang band. Axel cemas. Sudah dua hari Ocha tak ikut latihan.

"Xel, lo berhenti mondar-mandir kayak gitu bisa nggak?" tegur Satria.

"Iya. Nih anak satu sukanya mikirin Ocha mulu. Sesekali pikirin kita, Xel. Kita juga butuh perhatian lo." Karin menambahi. Sejak Axel jatuh cinta pada Ocha, memang benar band metafora cukup sering absen latihan. Padahal biasanya, Axel paling semangat latihan.

"Cinta memang buta gaes. Mengertilah derita Axel," kata Bima lalu terkikik, seolah mengolok-olok Axel yang tengah kasmaran.

Ocha membuka pelan pintu ruang band. Spontan, semua mata tertuju padanya terutama kedua bola mata Axel yang melebar senang. Axel pikir, Ocha sudah tidak mau datang lagi ke ruang band. Tapi ternyata Ocha masih mau datang latihan meskipun Ocha masih kesal pada Axel. Kejadian dua hari lalu masih membuat Ocha marah. Tapi mau bagaimana lagi? Faril butuh biaya sekolah, buku, dan uang jajan. Terpaksa Ocha kembali menjadi penyanyi band untuk mencukupi kebutuhan Faril. Gaji sebagai penyanyi band cukup banyak. Itulah sebabnya, Ocha menekan egonya dan kembali bekerja seperti biasa.

"Cha, gue minta-" Axel tercekat. Ia tidak biasa mengucapkan kata maaf pada siapa pun.

"Minta apa?" Satria bertanya-tanya. Pikirannya mendadak kotor.

"Cha, gue minta maaf soal tempo hari," kata Axel terbata-bata.

Semua mata melebar saat mendengar Axel meminta maaf pada Ocha. Karin dan Bima saling menatap satu sama lain, masih heran dengan Axel yang dengan mudah meminta maaf. Dia adalah Axel Sharafat Ardiaz, cowok tersombong di Delton International School. Sungguh terdengar aneh jika dia mengucapkan kata maaf. Apalagi pada seorang cewek biasa seperti Ocha.

"Gue janji nggak akan nyi-"

Ocha cepat-cepat membungkam mulut Axel sebelum Axel merampungkan kalimat. Kini Bima, Satria, dan Karin saling menatap satu sama lain, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi antara Axel dan Ocha.

"Iya iya. Aku maafin. Nggak usah kita bahas lagi," kata Ocha cepat.

"Nyi apa yang dimaksud Axel?" tanya Karin penasaran.

"Nyi ... Nyita. Nyita maksudnya. Kemarin Kak Axel nyita barang kesukaan aku," jelas Ocha berbohong. Ia merubah kata 'Nyium' menjadi kata 'Nyita'.

"Ooooh." Karin mengangguk paham.

Braaaaaak

Semua orang terperanjat kaget ketika seorang cowok membuka pintu dengan cara menendang. Dia Sean. Wajahnya tampak begitu marah setelah tahu Axel selalu mengancam Ocha. Hal ini tidak bisa dibiarkan, batin Sean.

"Kak Sean?" Ocha masih bertanya-tanya.

"Ayo kita pergi!" Sean meraih pergelangan tangan Ocha dan berusaha mengajak Ocha pergi. Namun Axel dengan cepat meraih pergelangan tangan Ocha di sisi yang lain.

"Lo nggak bisa bawa Ocha gitu aja," kata Axel tegas.

"Cha, lo mau ikut gue atau ikut dia?" tanya Sean.

Ocha melihat ke arah Sean lalu melihat ke arah Axel. Dia bingung. Dia mencoba melepaskan kedua tangannya dari cengkraman dua cowok itu. Tapi tak bisa. Tenaga Ocha tak cukup.

"Cha, gue tau kalau lo mau jadi vocalist band ini hanya gara-gara lo diancam sama Axel. Iya kan?" tanya Sean memastikan. Ia sudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Iya sih," jawab Ocha enggan.

"Cha, kalau lo berhenti jadi vocalist band, gue bakal bully Arvind," ancam Axel. Semua orang sudah terlanjur tahu alasan Ocha bersedia menjadi vocalist band. Tak ada lagi gunanya menutupi semuanya.

"Cha, kalau lo nggak berhenti sekarang juga, gue yang bakal bully Arvind," ancam Sean. Ocha sudah tahu bagaimana dia sebenarnya. Jadi Sean tak perlu repot menutup-nutupinya lagi.

"Oh my god. I am in danger!" batin Ocha berteriak.

Bima, Satria, dan Karin tak berani berkomentar. Bagaimana tidak? Dua orang paling berbahaya tengah berseteru. Salah ucap sedikit saja, mereka bisa terkena imbasnya. Jadi mereka bertiga memilih diam.

"Cepat tentuin lo mau tetap di sini atau ikut sama dia!" ujar Axel memaksa.

"Iiih Kak Axel sama Kak Sean apa-apaan sih?" Ocha menghempaskan tangan keduanya. Entah dapat kekuatan dari mana, ia bisa melepaskan tangannya dari Axel dan Sean.

"Berhenti ngancam aku! Aku muak. Mulai sekarang, aku nggak mau berurusan dengan kalian berdua. Aku takut. Lebih baik, aku pindah sekolah saja daripada setiap hari harus hidup tidak tenang," kata Ocha lalu berlari entah ke mana. Apa yang baru saja ia katakan merupakan salah satu idenya sejak lama. Mungkin ia akan kehilangan beberapa pekerjaan sekaligus, tapi ia yakin bisa mendapat pekerjaan yang lainnya.

Sean menatap sinis pada Axel. Ia berdecak, menenggelamkan salah satu tangannya ke saku celana, lalu pergi kembali ke kelas. Axel berteriak marah sambil menendang meja. Jika tidak karena almarhum kakeknya, mungkin dia sudah menghajar Sean habis-habisan. Sean pun demikian. Jika tidak karena janji yang telah ia buat, mungkin ia sudah membuat Axel babak belur. Mereka  masih memilih menahan kemarahan masing-masing. Rupanya logika mereka masih berfungsi.

😊😊😊😊😊
Ocha ingin pindah sekolah? Omo!

Vote dan komen untuk penyemangat author ya

Btw author minta maaf jika update chapter kurang panjang. Soalnya author cukup sibuk. Jadi harap maklum ya reader

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora