3) Damn! He Knows me

500K 35.2K 3.1K
                                    

Semua orang bernapas lega saat tahu diri mereka telah terhindar dari Axel, sang penguasa kelas IPS, kakak kelas yang terkenal jahat tanpa ampun. Lega bagi orang lain, namun tidak bagi Ocha. Ia mematung kaku, memikirkan berinteraksi dengan Axel saja, ia tak berani.

Andaikan Ocha bisa menghindar, pasti akan Ocha lakukan. Namun hari ini Ocha tidak bisa menghindar lagi. Selain pembagian kunci loker, hari ini Bu Widya juga membagikan seragam olahraga dan setumpuk buku paket untuk semua siswa.  Mau tidak mau, Ocha harus pergi ke lokernya untuk menyimpan barang-barang tersebut.

"Baiklah anak-anak, sekarang kalian boleh keluar kelas, menata buku di loker lalu kembali ke kelas untuk menunggu pelajaran selanjutnya." Bu Widya memerintahkan.

Seluruh siswa keluar kelas sembari membawa tas mereka menuju loker. Ocha masih membeku di tempat duduknya. Lisya hanya bisa menepuk pundak Ocha untuk menenangkan.

"Cha, ingat ya, jika gue disuruh memilih dua kesialan di sekolah ini, maka gue akan memilih loker sial nomor 74, sebelah loker Kak Sean daripada loker sial 89 samping lokernya Kak Axel," bisik Lisya yang kini dianggap Ocha sangat informatif.

"Kenapa?" Ocha semakin penasaran.

"Kak Sean itu emang jahat. Tapi dia nggak pernah bully cewek. Beda lagi kalau Kak Axel. Dia bully semua orang yang membuatnya kesal, tak peduli cowok atau cewek. Tenang, Cha. Selama lo nggak bikin Kak Axel marah, lo masih aman."

Entah sudah keberapa kali Ocha menelan ludahnya sendiri. Lisya menarik tangannya agar ia berhenti mematung takut. Ocha seakan enggan berjalan. Namun Lisya masih bersi keras menarik-narik tangannya.

Langkah Ocha terhenti di ujung koridor, melihat sesosok cowok tampan berambut gondrong yang sebagian dikuncir ke belakang. Siapa lagi kalau bukan Axel, pemilik loker nomor 88. Ocha mendadak bingung harus berbuat apa, kembali ke kelas, atau menata barang-barang di loker.

"Oi ngapain berdiri di sana? Cepetan tata barang-barang lo ke dalam loker sebelum masuk jam pelajaran," ujar Lisya mengingatkan.

Ocha memberanikan diri. Selama ia tidak mengganggu Axel, ia yakin akan aman dan hidup tenang seperti impiannya. Ocha mengangguk penuh tekad dan berjalan menuju lokernya, memasukkan kunci, lalu membuka pintu loker.

Salah satu alis Axel terangkat setelah membaca sekilas name tag di seragam Ocha. Dibacanya 'Okalina Taruni', nama yang bagus, batinnya.

"Oi, elo yang dapat nilai sempurna itu ya?" Axel teringat gosip yang dibicarakan salah satu pacarnya tempo hari bawasannya ada siswa baru yang meraih nilai sempurna saat ujian masuk.

Leher Ocha tiba-tiba kaku walau hanya untuk sekedar menoleh ke arah Axel. "Sa ... saya?" Ocha menunjuk dirinya sendiri.

"Nama lo cukup terkenal tau! Okalina Taruni, satu-satunya orang yang berhasil mendapat nilai sempurna saat ujian masuk."

Ocha mengangguk sopan. Lagi-lagi ia tak berani bernapas. Ia bahkan belum menata barang-barangnya karena tak berani mengalihkan pandangannya saat Axel berbicara padanya, takut dikira kurang ajar.

"Tahun lalu, ada dua orang yang mendapat nilai sempurna. Yang pertama, gue. Yang kedua, si bego Sean," imbuh Axel sembari menata buku-bukunya.

Ocha bingung harus merespon apa. Ia lebih memilih menjawab seratus soal matematika daripada harus merespon Axel.

"Eh jelek! Lo kok tegang gitu sih?" Axel menjambak pelan rambut Ocha, merasa jengkel ucapannya dari tadi tidak direspon.

"Ma ... maaf." hanya kata itu yang terlintas di otak Ocha.

"Loker lo masih berantakan tuh!" Axel menunjuk loker Ocha dengan dagunya. "Ingat, gue pecinta kebersihan. Jangan sampai gue bully elo karena mata gue diperkosa oleh loker lo yang jorok itu."

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now