27) The Big Fury

381K 21.8K 994
                                    

Sean mencontohkan lagi cara bermain piano pada Ocha. Nada-nada tuts piano itu seakan mengalir merdu. Ada ketenangan di setiap nada yang diciptakan oleh jemari Sean. Ocha terperangah takjub melihat Sean tampak tak kuwalahan membaca not sambil bermain. Jemarinya ke sana ke mari, lincah seolah sudah hafal betul perbedaan nada di masing-masing tuts piano. Ocha benar-benar bersemangat memperhatikan gerakan jemari Sean dengan seksama. Dalam tiga kali lihat, Ocha sudah hafal ke mana urutan jari-jari Sean menekan tuts.

"Nah, sekarang cobain!" perintah Sean.

Ocha mengangguk, mencoba memainkan lagu for elise seperti yang diperintahkan Sean. Tapi jemari Ocha tidak bisa cepat, temponya kurang tepat. Mungkin karena ini adalah pertama kali bagi Ocha menyentuh tuts piano.

"Jari lo nggak luwes, tempo terlalu lambat, dan jari lo terlalu menekan!" tegur Sean. "Gimana sih?"

Ocha mengerucutkan bibirnya. Dia sudah terbiasa menghadapi cowok galak seperti Sean. Dan dia sudah memaklumi hal itu. Tapi bagi Ocha, Sean bukan orang jahat.

"Lo nggak boleh terlalu menekan tuts piano. Lo juga nggak boleh terlalu lembut. Rasakan nadanya! Jangan hanya dihafal!" imbuh Sean, lalu mencontohkan lagi, cara bagaimana bermain piano yang benar.

"Oke oke. Aku akan coba." Ocha mulai mencoba lagi. Intinya, dia harus merasakan nadanya. Tapi tentu saja masih juga salah. Orang jenius sekali pun tidak bisa menguasai permainan piano hanya dalam waktu satu jam.

"Begini." Sean tanpa sadar memegang jemari Ocha, mencontohkan menggerakkan jemari di atas tuts piano.

Deg deg deg

Jantung Ocha berdegup cukup kencang. Mendadak ia menjadi gugup. Ia meneguk ludah untuk menghilangkan kegugupannya. Tapi degupan jantung itu tak mau hilang, membuat Ocha tak bisa berkonsentrasi belajar bermain piano.

"Nah gitu. Paham nggak?" tanya Sean setelah selesai menggerakkan jemari Ocha. Ia terhenti, matanya dan mata Ocha saling bertatapan. Tiba-tiba perasaan aneh yang menggelitik itu datang lagi bersama aliran listrik yang seolah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sean merasa seakan ada beribu kupu-kupu yang keluar dari dalam perut dan dadanya, seolah kupu-kupu itu ibarat rasa menggelitik yang membuncah, menerobos keluar begitu saja.

Mata Sean mengerjap saat tersadar. Ia cepat-cepat melepaskan jemari Ocha lalu berdehem untuk menghilangkan rasa canggung yang dengan lancang membuatnya merasa kikuk. Sean kemudian bergeser duduk menjauh.

Tangan Axel mengepal marah di ambang pintu ruang musik, melihat pemandangan yang tidak ia harapkan. Ia mematung dengan mata yang mendelik marah. Dan yang lebih membuatnya kesal, dia tidak bisa menegur Sean karena dia sudah berjanji pada kakeknya bawasannya dia tidak akan membuat keributan dengan keluarga Radeya.

Axel memutuskan kembali ke ruang Band Metafora. Ia membanting pintu, membuat Bima, Satria, dan Karin terlonjak kaget. Ia modar-mandir seperti orang yang kebingungan, mengacak rambut seraya mengumpat. Tak pernah ia semarah ini pada Sean.

"Lo kenapa?" tanya Bima heran.

"Gue kesel karena lihat Ocha mesra-mesraan sama Sean di ruang musik. Pakek acara pandang-pandangan segala lagi," jawab Axel lalu menendang pintu loker. Amukannya meluap.

"Terus lo ngapain?"

"Ya gue diem ajalah!"

"Bagus kalau gitu. Elo emang nggak berhak marah. Soalnya Ocha itu bukan siapa-siapa lo. Adik bukan, temen bukan, pacar juga bukan."

"Gue harus melakukan cara agar gue bisa dekat dengan Ocha tanpa mengganggu Sean."

"Elo kok peduli banget sih?" tanya Karin heran.

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang