43) Love Triangle

332K 20K 781
                                    

Ocha menangis, menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut. Walau ia sudah membilas bibirnya berkali-kali, tetap saja rasa ciuman itu masih membuatnya begitu risih. Ciuman yang ia jaga untuk suaminya kelak, telah direbut Axel. Tak bisa dipungkiri bahwa ciuman itu membuatnya jengkel bukan main. Ocha bahkan masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Axel menciumnya secara paksa.

Ocha menggeleng kuat-kuat, mencoba menampik ingatan itu. Tapi daya ingat Ocha begitu hebat. Mungkin seumur hidup dia akan mengingat hal itu. Walaupun seberapa keras ia mencoba melupakannya. Ciuman itu bahkan membuatnya merasa bersalah pada calon suaminya nanti, yang  masih belum ia ketahui.

Ocha menangis semalaman. Atika bahkan tak bisa tidur karenanya hingga akhirnya Ocha tertidur setelah puas menangis. Atika tak tahu hal apa yang membuat Ocha menangis. Yang jelas, ia tak berniat ikut campur urusan Ocha. Atika juga ingin hidup tenang di Delton. Itulah sebabnya ia membatasi diri bergaul dengan Ocha karena ia tahu kalau Ocha sering berurusan dengan dua cowok paling berbahaya di sekolah.

Pagi pun datang. Mata Ocha terasa lengket setelah menangis semalaman. Ia menyingkap selimutnya, duduk dengan mata setengah mengatup, lalu meregangkan ototnya. Kemudian ia berjalan malas menuju kamar mandi. Ia mengamati dirinya sendiri di depan cermin. Dilihatnya kedua matanya bengkak, efek terlalu lama menangis. Momen ciuman itu kembali memenuhi otaknya dan belum jenuh membuatnya risih.

Ocha menggeleng kuat-kuat, berharap ia bisa segera lupa kejadian kemarin sore. Ia segera mengambil sikat gigi dan pasta gigi. Dengan semangat, Ocha menyikat giginya cepat-cepat agar rasa risih itu segera hilang dan tak mengganggu pikirannya.

"Dasar cowok jahat!" umpat Ocha marah. Ia berencana tak masuk sekolah hari ini. Keningnya sedikit demam, kepalanya cukup pusing, sedangkan tubuhnya agak lemas tak berstamina. Mungkin karena akhir-akhir ini, Ocha memiliki banyak tugas. Ditambah lagi, Ocha cukup tertekan dengan tindakan Axel yang seenaknya sendiri terhadapnya.

Ocha berjalan malas kembali ke kasurnya, merebahkan tubuhnya, lalu menarik selimut. Saat ini, ia hanya ingin beristirahat. Ia tak ingin bertemu siapa pun. Entah itu Sean atau Axel. Perlakuan mereka berdua cukup membuat Ocha frustrasi akhir-akhir ini.

Ocha menghela napas jengah. Ia meraba-raba nakas meja untuk mengambil ponsel, lalu ia mengirim pesan pada guru yang mengajar hari ini bahwa ia tidak bisa masuk karena sakit. Kemudian Ocha bergegas tidur setelah meletakkan ponselnya kembali ke nakas meja.

Dalam mimpinya, Ocha bisa merasakan ada tangan lembut yang membelai pipi dan rambutnya. Jemari tangan itu cukup panjang, belaiannya terasa teduh dan membuatnya nyaman. Ocha bahkan tak mau bangun, menikmati mimpi itu, mimpi yang sederhana namun terasa indah.

"Kalau sakit, kenapa nggak ke dokter sih?" tanya Sean pelan. Ia masih asyik mengusap keringat Ocha. Entah sejak kapan ia tidak risih dengan keringat orang lain. Biasanya, setiap detik ia memikirkan higienis atau tidaknya sesuatu. Tapi sekarang ada pengecualian untuk Ocha.

Jika Axel bisa masuk asrama putri dengan mudah, maka Sean pun juga bisa melakukan hal yang sama. Ia diam-diam masuk melalui jendela dan duduk di samping Ocha. Meskipun jika nanti ada penjaga yang memergokinya, ia tak akan terkena hukuman karena dia adalah Sean Aurelliano Radeya. Hukuman di Delton tak berlaku untuknya.

"Bikin khawatir aja nih anak," kata Sean lagi.

Sean melihat ke sekeliling ruangan. Matanya tertuju pada sebuah handuk kecil yang tergantung di hanger dekat lemari pakaian. Ia mengambil handuk tersebut, membasahinya di wastafel, lalu memerasnya. Ia pun kembali duduk di samping Ocha, melipat handuk kecil tersebut, lalu meletakkannya di kening Ocha.

"Gue akan tunggu di sini. Nanti pas lo bangun, gue bakal antar lo ke rumah sakit," kata Sean, tak peduli jika Ocha tak mendengar.

Sean begitu khawatir. Jika Ocha tidak segera dibawa ke rumah sakit, Sean takut Ocha kenapa-napa. Sebetulnya, Sean hanya paranoid karena dia terlalu mencintai Ocha. Demam Ocha tak terlalu tinggi. Ocha hanya butuh istirahat dan makan makanan yang begizi. Hanya saja Sean yang terlalu melebih-lebihkan.

Sean masih tak jenuh menunggui Ocha tidur. Hari ini ia sengaja membolos setelah tahu kabar bahwa Ocha tidak masuk sekolah karena sakit. Sambil menunggu Ocha bangun, ia membaca beberapa buku yang ada di meja belajar Ocha. Sesekali Sean tersenyum saat membaca kutipan-kutipan yang Ocha warnai dengan stabilo. Sean baru tahu kalau Ocha menyukai sastra.

"Astaghfirullahal adzim." Ocha terperanjat saat melihat Sean yang duduk di tepi ranjangnya. "Kak Sean?" Ocha langsung terduduk.

Sean terkekeh melihat rambut Ocha yang acak-acakan setelah bangun tidur. Ia kemudian merapikan rambut Ocha lalu mengecek kening Ocha apakah demamnya sudah turun atau belum. Sean menghela napas lega saat tahu demam Ocha sedikit turun. Tapi tetap saja ia masih cemas bukan main.

"Kenapa Kakak ada di sini?" Ocha bertanya-tanya.

"Karena lo sakit," jawab Sean sekenanya.

"Tapi ini kan asrama cewek, Kak. Kakak nggak boleh ke sini."

"Cerewet!"

Sean berjalan menuju gantungan baju, mengambil sweater Ocha, lalu memberikannya pada Ocha. Ia menyuruh Ocha agar segera memakainya. Ocha hanya menurut. Ia memakai sweater itu lalu bersedia pergi ke rumah sakit.

"Please, Kak. Jangan perhatian gini ke aku. Kalau Kakak terus perhatian, lama-lama aku bisa jatuh cinta beneran ke Kakak," batin Ocha saat di dalam perjalanan menuju rumah sakit.

😊😊😊😊😊
Vote dan komen agar author tetap semangat nulis ya...

Bagaimana dengan Arvind kalau Ocha jatuh cinta pada Sean?

Semangat author adalah berkat komentar kalian. Hehe


I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now