16) I Don't Know What Is This

387K 24.9K 1.5K
                                    

Ocha dan Arvind berjalan-jalan di taman. Sesekali Arvind melirik tangan Ocha. Arvind berdehem, mengumpulkan keberaniannya untuk meraih tangan Ocha.

"Minggu depan ujian ya?" Arvind memulai percakapan.

"Iya." Ocha mengangguk.

"Em ... Kita beli itu yuk!" tangan kanan Arvind menunjuk seorang penjual arum manis. Sementara tangan kirinya meraih tangan Ocha cepat.

Ocha tersipu malu, senang karena Arvind menggandeng tangannya. Mereka membeli setusuk arum manis dan memakannya bersama, berjalan di taman, menikmati sapuan angin yang menyejukkan.

"Eh cowok yang ganteng itu namanya siapa? Aku lupa," tanya Arvind sembari mengingat nama Sean.

"Cowok ganteng yang mana? Aku cuma kenal satu cowok ganteng namanya Arvind," goda Ocha lalu terkikik.

"Eh eh sekarang kamu bisa gombal ya." Arvind mengacak gemas rambut Ocha.

"Ih apaan sih? Rambut aku jadi berantakan nih." Ocha mengerucutkan bibirnya sembari merapikan kembali rambutnya yang dibuat berantakan oleh Arvind.

"Cowok yang itu lho, Cha. Yang traktir kamu ayam krispi."

"Ooooh. Kak Sean?"

"Iya itu."

"Kenapa?" alis Ocha sedikit terangkat.

"Aku nggak suka lihat kamu deket-deket sama dia. Aku takut kamu suka sama dia."

Tawa Ocha spontan riuh memenuhi taman. "Aku suka sama Kak Sean? Nggak mungkinlah!"

"Kenapa enggak? Dia kan lebih ganteng daripada aku, jauh lebih tajir, lebih keren, lebih pinter, dan lebih dalam segala hal. Lagian kalian satu sekolah." sejak awal, Arvind takut jika Ocha jatuh cinta pada cowok lain karena mereka tidak satu sekolah dan jarang bertemu.

"Iya sih. Dia ganteng, tajir, keren, pinter, atletis pula. Tapi aku nggak mungkin suka sama dia. Soalnya dia tuh homo."

"Homo?" Arvind terlonjak kaget. "Yang bener?"

"Iya." Ocha mengangguk. "Adik kandungnya sendiri yang bilang ke aku kalau Kakaknya itu homo."

"Syukurlah kalau gitu." Arvind bernapas lega sembari mengelus dadanya.

Tangan Arvind menuntun tangan Ocha menuju ke salah satu tempat duduk. Malam minggu seperti ini, mereka menjadi salah satu pasangan yang menghabiskan waktu di taman, menikmati bintang-bintang yang menggantung di langit. Sesekali mereka bisa melihat muda-mudi yang saling berciuman di dalam jaket.

"Vind, aku ingat setiap sajak puisi yang kamu kasih ke aku. Sayangnya, puisi-puisi itu hangus karena kebakaran. Kapan-kapan, kamu mau nulisin aku lagi kan? Nanti aku kirim lewat WA."

"Kalau kamu udah ingat, ngapain kamu mau aku nulis buat kamu lagi?"

"Soalnya ... aku suka baca tulisan kamu," ungkap Ocha malu.

"Oh ya?" Arvind terkekeh. "Eh kamu tau nggak, kenapa aku jarang lihat bintang?"

"Kenapa?"

"Soalnya kamu lebih cantik daripada bintang."

"Ih gombal banget ih." Ocha memukul gemas lengan Arvind.

Arvind kembali terkekeh. "Iya-iya. Aku bakal nulis ulang puisi-puisi itu buat kamu. Apa sih yang enggak buat kamu?"

"Ciyaelah. Mulut kamu tambah manis ya! Nih makan arum manis biar bibir kamu digigit semut." Ocha menyobek arum manis lalu menyuapkan arum manis tersebut pada Arvind.

"Daripada digigit semut, mendingan aku digigit kamu." Arvind terkekeh, senang melihat pipi Ocha yang sudah memerah malu karena gombalannya.

"Ih apaan coba? Nih makan lagi! Biar nggak jadi tukang gombal!" Ocha kembali menyuapi Arvind dengan arum manis lagi.

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now