22) Astonishment

371K 21.9K 641
                                    

Sean, Lisya, Bu Liana, serta Pak Radeya mengantar Ocha keluar pintu. Mereka sudah menganggap Ocha seperti keluarga sendiri. Ocha adalah anak yang baik dan sopan, tidak ada alasan bagi keluarga Radeya untuk tidak menyukai Ocha.

"Om." Ocha mengangguk sopan pada Pak Radeya.

"Tante." Kali ini Ocha mengangguk sopan pada Bu Liana.

"Sekali lagi saya mengucapkan beribu terima kasih karena telah diperkenankan tinggal di rumah ini. Saya juga minta maaf apabila saya dan adik saya pernah berbuat salah," lanjut Ocha.

"Ocha, sebenarnya kami semua tidak ingin kamu pergi. Tapi ... mau bagaimana lagi? Kami tidak bisa memaksa kamu. Ini adalah keputusan kamu. Tapi kamu perlu ingat baik-baik, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu dan Faril," jelas Bu Liana seraya menitihkan air mata. Ia kemudian memeluk erat tubuh Ocha, membuat Ocha merasakan kehangatan pelukan seorang ibu yang sudah lama tak ia rasakan.

Mata Ocha berkaca-kaca, enggan rasanya meninggalkan keluarga Radeya. Mereka semua baik, tak terkecuali Sean. Meskipun nada bicara Sean terkesan galak dan sering bersikap semaunya sendiri, tapi Ocha tahu, Sean bukan orang jahat.

"Sudahlah, Ma. Jangan sedih," kata Pak Radeya.

"Iya. Lagian Ocha bakal sering datang ke rumah ini buat ngelesin Lisya," imbuh Sean datar.

"Iya, Tante. Jangan sedih. Selain mampir buat ngelesin, nanti saya sama Faril pasti main ke sini Sabtu atau Minggu kalau ada waktu," jelas Ocha mencoba menenangkan.

"Ceramahnya udah?" tanya Sean tanpa ekspresi.

"Ya udah saya pamit, Tante." Ocha mencium punggung tangan Bu Liana, lalu mencium punggung tangan Pak Radeya.

"Gue juga sedih lho, Cha. Meskipun kita bakal masih sering ketemu." Lisya menyambar kedua tangan Ocha sambil mengayun-ayunkannya.

"Iya. Aku juga sedih," timpal Ocha.

"Eh gendut, jangan lupa makan ya." Lisya mencubit gemas pipi Faril.

Faril tersenyum, memperlihatkan deretan giginya sambil mengangkat jempol, membuat Bu Liana kembali memeluknya gemas. Padahal sebelum Ocha keluar rumah, Bu Liana sudah memeluk Faril berulang kali.

Sean memutar malas kedua bola matanya. "Sampai kapan dramanya?" Ia meraih kerah baju Ocha bagian belakang, menariknya menjauh dari Mamanya dan membawa Ocha masuk ke dalam mobilnya.

"Sean! Yang baik sama Ocha!" tegur Pak Radeya.

"Iya, Pa," sahut Sean malas.

Sean mulai menyalakan mobilnya setelah Faril masuk dan menutup pintu. Ocha membuka jendela, melambaikan tangan pada seluruh anggota keluarga Radeya. Terharu, ia dapat merasakan kehangatan di sana selama ini.

***
Semua pasang mata melihat ke arah Ocha yang keluar dari mobil Sean. Banyak di antara mereka yang menganga tak percaya. Sean Aurelliano Radeya, ketua geng dari kelas IPA, satu-satunya orang yang berani berinteraksi dengan target bullyan Axel Sharafat Ardiaz, ketua geng dari kelas IPS.

Sean sudah melesat pergi sebelum Ocha mengucapkan terima kasih, tepat setelah Ocha menutup pintu mobil. Sean hanya tak suka jadi sorotan publik.

Ocha melangkah ke ruang kepala asrama, Bu Jenita, seorang wanita bertubuh tambun, berkacamata tebal, dan berlipstick merah menyala. Ia segera mengantar Ocha ke kamar nomor 56 setelah menjelaskan beberapa peraturan di sepanjang koridor.

Ocha memegang gagang pintu kamar nomor 56 di asrama Delton. Ocha kemudian masuk, dilihatnya ada dua buah kamar tidur, dua meja belajar, dua kursi, satu sofa, dan satu kamar mandi dalam. Ia meletakkan tas bawaannya di atas meja. Ocha tak membawa banyak barang. Semua barang-barangnya hangus dilalap api. Bahkan pakaian yang ia kenakan saat ini adalah pakaian baru Lisya yang tidak sempat terpakai karena Lisya terlalu banyak berbelanja, tak sempat memakai semua baju yang ia beli. Jadi tak ada salahnya memberikan beberapa pada Ocha.

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang