Bab 22 - Acara Makan Malam Yang Kacau

Start from the beginning
                                    

   “Memang tetangga kita pelihara kucing ya Den?” tanya Mbok Salmi ke Arthur dengan raut wajah bingung.

   “Entahlah Mbok, sepertinya enggak,” Arthur menaikkan kedua bahunya tanda tidak terlalu perduli perihal kucing mati tersebut. “Ayo ke meja makan,” ajak Arthur kepada Malika. Arthur menarik tangan Malika untuk ikut bersamanya.

   “Anu ... aku makan sama Mbok Salmi aja ya di dapur,” kata Malika yang berhenti mendadak dan menarik lepas tangannya dari genggaman Arthur.

   “Malika, kamu itu harus aku kenalkan sebagai calon istriku ke teman-temanku,” kata Arthur gemas melihat Malika yang menundukkan kepalanya dalam. “Hah, lupakan persoalan di ruang tamu tadi. Kita bisa bahas itu lain waktu,” tambah Arthur lagi.

   Malika menatap Arthur dengan ekspresi bingung, karena Arthur yang paham dengan pemikirannya saat ini. “Jadi ayo makan di sana,” ajak Arthur lagi dengan lembut dan dengan lembut menggandeng lengan Malika.

   “Teman-teman semua perkenalkan ini calon istriku namanya Malika Kamilah,” Arthur menarik Malika mendekat ke arahnya di hadapan teman-temannya.

   “Hallo Malika,” sapa mereka semua kompak kecuali Lola. Yah, Lola memang berada di sana dia memaksa ingin ikut makan malam bersama. Di dalam hati Malika dia bertanya-tanya apa yang terjadi antara Arthur dan Lola serta seperti apa hubungan keduanya.

   Makan malam pun berlangsung dengan tentram, tetapi itu hanya bertahan beberapa menit ketika suara Lola memecah ketentraman tersebut. “Rasanya hilang selera jika harus makan bersama dengan seorang pembunuh,” sindir Lola terangterangan yang tentunya ditujukan kepada Malika.

   Semua mata memandang Lola dengan terkejut, tidak terkecuali Arthur. “Apa maksud kamu Lola?” tanya Arthur dengan pandangan matanya yang tajam ke arah Lola yang duduk berhadapan dengan Malika.

   “Apa ada yang salah dengan perkataanku barusan?” Lola menyenderkan punggungnya pada punggung kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.

   “Malika bukan pembunuh, dia perempuan baik dan berakhlak tidak seperti kamu!” sembur Silvi yang geram dengan kelakuan Lola sejak tadi. Dia sudah muak dengan sikap Lola yang bak putri raja itu.

   “Kamu siapa? Jangan ikut campur deh,” Lola menatap sinis Silvi yang duduk di sebelahnya.

   “Aku ini pengacara yang membantu Malika membuktikan ketidakadilan yang menimpanya,” ucap Silvi dengan penuh penekanan.

   “Lola sebaiknya kamu ikut aku,” kata Arthur yang berdiri dari duduknya, aura gelap mulai terpancar dari bola mata Arthur. Sedangkan Malika hanya bisa diam saja dan takut untuk berkata-kata dan akan menimbulkan masalah yang lebih besar.

   Sepeninggal Lola dan Arthur, suasana meja makan menjadi canggung. Mereka terlalu bingung untuk mencairkan suasana, “pada mau makan pudding? Aku ambil dulu ya sebentar,” tawar Malika yang langsung berdiri dari duduknya dan menuju ke dapur.

   Malika menghapus setitik air mata yang jatuh dengan sendirinya, “semangat Malika,” hibur Malika untuk dirinya sendiri. Malika mengeluarkan pudding yang dibuatnya tadi dari kulkas dan membawanya menuju meja makan.

   “Ayo dicicipi pudingnya,” ujar Malika mempersilahkan anggota team A yang terlihat bingung, mereka kasihan dengan Malika yang berpura-pura tegar dan baik-baik saja.

   “Perempuan ular itu memang harus diberi pelajaran,” rutuk Silvi sambil mengambil sepotong pudding untuknya.

   “Maaf kami tidak seberani Silvi untuk ikut campur urusan pribadi Arthur,” kata Bima dengan senyum bersalah mewakili anggota team A yang berjenis kelamin laki-laki.

   “Jangan terlalu dipikirkan,” Malika memberikan senyum simpulnya kepada mereka semua, walaupun sebenarnya hatinya merasa penasaran apa yang dibicarakan Arthur dan Lola di ruang kerja Arthur.

   “Ah perkenalkan aku Bima,” dimulai dari Bima yang memperkenalkan diri seluruh anggota team A kecuali Toni memperkenalkan diri mereka masing-masing.

   “Terima kasih atas bantuan kalian, aku tidak dapat membalas kebaikan kalian ini,” kata Malika tulus berterima kasih.

   “Tenang saja Malika, kita tetap dibayar oleh Arthur secara pribadi kok,” celetuk Dodi dengan polosnya, sontak saja celetukkan itu mengundang gelak tawa mereka.

   Sementara itu di dalam ruang kerja Arthur, Lola dan Arthur berdiri berhadapan dengan tatapan mata Arthur yang tajam ke arah Lola. “Apa maksudmu berkata seperti tadi?!” tanya Arthur dengan suaranya yang meninggi. Beruntung ruangan tersebut kedap suara.

   “Kenapa? Kamu malu punya calon istri seorang PEMBUNUH?” tanya Lola yang justru menantang Arthur dengan berani.

   “Malika bukan pembunuh dan aku tidak pernah malu memiliki calon istri seperti Malika. Tetapi, aku malu memiliki mantan pacar sepertimu!” tunjuk Arthur tepat di depan muka Lola. Wajah Arthur memerah karena menahan amarahnya, suaranya ditekan menjadi jauh dan terkesan sangat dingin.

   “Apa kamu bilang?!” Lola berteriak marah mendengar perkataan Arthur tersebut. “Ingat Arthur! Kamu itu tidak akan menjadi seperti sekarang tanpa bantuan kedua orangtuaku!” bentak Lola marah.

   “Orangtuamu hanya meminjamkan aku uang dan aku sudah mengembalikan pinjaman itu, tidak ada hutang budi untuk hal itu,” kata Arthur sinis.

   Lola menatap Arthur dengan pandangan tidak terima atas perlakuan Arthur kepadanya, “ini pertama kalinya kamu membentakku seperti ini Arthur,” ucap Lola sarat atas kekecewaan.

   “Bukan kemauanku untuk membentakmu Lola tetapi itu atas kemauanmu sendiri,” Arthur berusaha mengontrol emosinya untuk tidak terlalu meledak-ledak. “Jadi aku mohon untuk kamu tidak mengganggu kehidupanku dan Malika,” mohon Arthur kepada Lola dengan sungguh-sungguh.

   “Aku tidak akan melepaskanmu Arthur, aku sungguh-sungguh sangat mencintaimu,” Lola berucap dengan diiringi air mata yang mulai meluncur deras. Arthur menghela napasnya melihat hal tersebut tetapi pertahannya tidak akan goyah hanya karena air mata wanita yang pernah meninggalkannya.

   “Ini akibat dari kesalahanmu yang meninggalkanku Lola, aku bukanlah pakaian bekas yang dengan mudahnya kamu buang lalu kamu pungut lagi,” tegas Arthur kepada Lola.

   Diam, hening dan sunyi. Tidak ada yang bersuara, baik itu Lola dan Arthur, hanya Lola yang masih sibuk menangis walaupun tidak terdengar isakan dari bibirnya hanya air mata yang terus mengalir. Sedangkan Arthur sedang mencari kata-kata yang tepat untuk membuat Lola mengerti tentang keadaan sekarang yang telah berubah.

   “Lola ...” belum selesai Arthur menyeruakan permohonannya untuk Lola mundur, gadis itu sudah terlebih dahulu menyelanya.

   “Aku tetap tidak akan mundur Arthur,” peringat Lola terakhir kali dan langsung keluar dari ruangan Arthur dengan wajahnya yang berantakkan.

   Saat Lola keluar dari ruang kerja Arthur, seluruh pandangan bertanya dari Malika dan anggota team A yang sudah berpindah tempat duduk di ruang tengah. Jelas terlihat bahwa Arthur dan Lola berselisih paham dan membuat Lola menangis seperti itu.

   “Arthur memang seram kalau sudah marah,” bisik Toni ke arah Bima yang duduk di sebelahnya. Bima pun mengangguk setuju atas perkataan Toni tersebut, sedangkan Malika yang tidak sengaja mendengar bisik-bisik Toni tersebut hanya meringis takut membayangkan luapan amarah Arthur.

   “Tenang saja, Arthur itu pria baik-baik dan penuh tanggung jawab,” hibur Silvi yang duduk di sebelah Malika.

Bersambung

Stay With MeWhere stories live. Discover now