Bab 6 - Sepotong Informasi

23.5K 2.3K 18
                                    

   Setelah menelpon Arthur, Malika dan Arthurmemutuskan untuk bertemu di cafe dekat kostan Malika. Kondisi Malika terlihat kacau, tangannyamasih gemetaran serta keringat dingin terus keluar dari pori-pori kulitnya. Malika langsung berdiri dari duduknya begitu melihat Arthur masuk ke dalam cafe.

   “Duduk dulu Malika, tenangkan dirimu!” ujar Arthur membawa Malika duduk kembali dan dia duduk di kursi sebelah Malika.

   “Aku harus bagaimana Arthur?” tanya Malika dengan suaranya yang terdengar pelan, pandangan mata Malika yang menyiratkan ketakutan. Bagaimana pun rasa takut tetap ada di dalam diri Malika, walaupun itu bukan perbuatannya. Dia takut kalau dia tidak akan bertemu Arthur lagi untuk waktu yang lama tentunya.

   “Sekarang kita harus tenang dulu,” Arthur merangkul pundak Malika sambil menepuk-nepuknya pelan. Perbuatannya itu seolah-olah menyalurkan kekuatannya kepada Malika, hati Malika menghangat karena setidaknya dia tidak sendirian menghadapi cobaan ini.

   “Terima kasih sudah repot-repot mau mengurusiku,” bisik Malika lirih, dirinya masih dalam rangkulan Arthur.

   “Tidak ada yang namanya terima kasih Malika untuk kita,” ucap Arthur sambil tersenyum manis, sedangkan Malika menatap Arthur bingung. Sampai beberapa saat Malika tersenyum getir begitu tahu arti bahwa mereka sama-sama diuntungkan jadi tidak ada kata terima kasih.

   “Kalau begitu aku mau pulang istirahat, sampai jumpa lagi,” Malika melepas rangkulan Arthur dan berniat berdiri tetapi, Arthur menahan tangan Malika.

   “Aku antar,” ujar Arthur, bukannya mengangguk Malika justru menggeleng dan melepaskan tangan yang menahan tangannya. Malika langsung berlalu dari hadapan Arthur tanpa sedikitpun menoleh lagi ke arah Arthur.

   Arthur masih duduk di cafe, dia sedang memijit pelan pucuk hidungnya. Pikirannya melayang memikirkan Malika, terlalu banyak yang tidak Arthur mengerti tentang apa yang menimpa Malika. Sama seperti Malika, Arthur juga yakin bahwa pisau dapur Malika lah yang akan memberatkan posisi Malika.

   Tiba-tiba seorang pelayan datang menghampiri Arthur, “Pak ini ada titipan,” pelayan itu meletakkan selembar kertas yang dilipat.

   “Dari siapa?” tanya Arthur.

   “Saya juga tidak tahu Pak, orangnya tadi duduk di meja nomor 20 tetapi sekarang sudah pergi,” jelas Pelayan itu. Arthur melihat ke arah meja 20 yang hanya beberapa meja dibelakangnya, meja itu sudah kosong.

   “Saya permisi Pak,” pamit si pelayan yang diangguki oleh Arthur.

   Arthur membuka kertas tersebut dan di dalamnya terdapat tulisan tangan yang berisi jangan bertindak terlalu jauh, lepaskan kasus itu. Arthur menggeram marah begitu tahu maksud radi kertas tersebut. Ketika tersadar bahwa orang yang mengirim kertas tersebut pergi berasamaan dengan Malika pergi, Arthur langsung keluar dari cafe.

   Berlari secepat yang Arthur bisa meunju ke kostan Malika yang memang tidak terlalu jauh dari cafe. Nafas Arthur memburu, tangannya mengepal kuat menahan emosi yang akan meledak. Arthur bersumpah di dalam hatinya bahwa dia akan menghajar orang yang sudah bermain-main dengannya dan Malika.

   Malika berjalan cepat begitu memasuki gang menuju kostannya, dia sadar bahwa dirinya sudah diikuti. Bahkan Malika sebelumnya dengan sengaja masuk ke supermarket hanya untuk membeli barang yang tidak dibutuhkannya, hal itu dilakukannya agar dia bisa kabur dari orang yang membututinya, ternyata saat Malika keluar dari supermarket hanya beberapa langkah Malika kembali merasa diawasi.

   Di dalam hatinya, Malika merutuki dirinya yang menolak tawaran Arthur untuk mengantarnya. Sekarang dia harus merasa ketakutan karena kejadian dibuntuti seperti ini bukan pertama kalinya dialami, walaupun sebelumnya orang yang membututi Malika tidak melakukan apa-apa terhadapnya, tetap tidak ada jaminan bahwa kali ini Malika tidak akan celaka.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang