[53] : Bagian yang hilang

1.7K 107 1
                                    

Aku menghabiskan 15 menit mengelilingi pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu sebelum janji temu dengan Bara.

Aku tidak tahu apa ini pilihan yang bodoh karena membiarkan Bara masuk ke kehidupanku lagi. Aku membiarkannya mengirimi pesan setiap hari, mengirimkanku sarapan, dan adakalanya membiarkan pria itu memasuki apartemenku.

Setiap jarak yang kulemparkan padanya, dengan mudah ia pangkas tanpa perlu bersusah payah. Dia bukan lagi Bara yang kuingat, dia bukan Bhe. Aku tak menemukan diriku yang merengek seperti dulu, lalu iya menasehatiku dengan perkataan tegas.  Kadang juga aku menunggu dia yang mengelus rambutku, tapi nyatanya aku harus membuang harapan itu jauh-jauh.

Dia sungguh berbeda. Yang ada sekarang kami lebih seperti dua teman sebaya yang tak canggung cekcok atau bertindak menyebalkan. Kadang Bara merayuku seperti aku wanita kebanyakan yang sering dia temui.

Salah bila aku merindukan sosoknya yang dulu? Padahal aku sudah berkata tak ingin mengulang masa lalu.

Sembari memelankan langkah aku tak melepaskan salah seorang yang mirip dengan Bara yang sedang berada di salah satu toko sepatu. Dari tingginya, postur badannya, gaya berpakaiannya, sulit bagiku untuk tidak mengenali pria sebagai Bara. Aku bergeming di sisi jendela kaca toko itu.

Yang  membuat aku tak bisa mendekatinya adalah pria itu sedang bersama seorang wanita. Menumpukan tangannya di kedua pundak wanita tersebut sambil ikut melihat koleksi sepatu.

Dadaku berdesir ngilu.

Aku ingat, wanita itu adalah wanita yang sama yang kulihat di pusat perbelanjaan beberapa bulan yang lalu, sepulang aku bertemu dengan dokter Bisma.

Gak Ren, loe gak boleh cemburu. Loe sendiri udah punya Ryo. Dan kalian akan menikah.

Lalu apa arti kesempatan yang Bara inginkan dari hubungan kami?

Ren, Bara bukan lagi Bhe. Dia udah menjadi playboy brengsek.

Lalu gue harus apa?

Pulang! Dan jangan hubungin dia lagi!

Aku mulai terjebak pada perasaan dan ego-ku terus berperang. Lama-lama aku memutar tubuh dan tanpa menuruti rasa sakit, kaki ini melangkah memasuki toko.

"Hai Bar." Berdiri di dekat Bara dan menyapa, berusaha memberi senyum seringan mungkin ketika pria itu tampak terkejut atas perjumpaannya denganku."Aku gak sengaja lewat dan lihat kamu."

"Tak, kamu sendirian?"

"Yups. Kamu gak seneng aku nyamperin kamu disini?" Lalu dengan sengaja aku melirik wanita yang membelakangiku, yang masih sibuk dengan sepatu-sepatu, tak menyadari keberadaanku. "Sorry, kalo aku ganggu waktu kencan kamu, dan majuin jadwal temu kita."

Bara tertawa kecil, dan mengelus rambutku.

Bergeming. Jantung terpacu lebih cepat. Baru saja ia melakukan apa yang aku harapkan beberapa minggu ini, tapi kenapa sekarang? Kenapa saat ini? Kenapa disaat aku memergokinya kencan dengan wanita lain?

"Ternyata masih ada yang belum berubah dari kamu." Bara tidak berhenti menyeringai.

"Hah?"

"Terakhir kali kamu seperti ini adalah saat aku duduk sama Erika di taman sekolah. Ingat?"

Aku termangu, dibawa oleh film masa lalu.

"Bhe kalo yang ini bagus gak?"

Lamunanku diganggu oleh suara wanita tersebut yang sekarang berdiri diantara aku dan Bhe.

"Renata ya?"

Aku terkesiap menatap seorang wanita cantik yang sepertinya pernah kutemui sebelumnya. "Iya."

"Kamu kok kurusan sih?" Katanya sambil mendekat dan langsung memelukku. "Kamu lupa sama saya?"

"Tak, kamu lupa sama mbak Andriana? Katanya kalian pernah ketemu?"

"Mbak Andriana?"

Loker otakku mulai terbuka, menampilkan kejadian sepuluh bulan yang lalu.

"Oh iya, maaf saya lupa!" Sontak aku meringis malu.

"Kalian janjian?"

"He em, dan dia cemburu saat liat gue jalan sama loe. Makannya langsung disamperin!"

"Ish, apaan sih!" Aku mencubit lengan Bara yang sekarang lebih liat.

"Awwhh, sakit Tak."

"Ya udah aku selesain transaksi dulu baru kita cari tempat buat ngobrol. Atau kalian mau tinggalin juga gak papa!"

"Terus loe pulang sama siapa? Gue males ya diomelin sama laki loe gara-gara nelantarin wanita hamil."

"Mbak Andrian hamil?" Tanya gue yang dijawab dengan anggukan.

"Iya, dan aku body guard-nya selama suami nenek lampir ini tugas diluar kota."

"Heh mulut loe ya! Jangan cemari otak anak gue!" Sahut mbak Andriana seraya menjitak Bara.

Aku tertawa pelan. Aku mulai mengelus perut, ingat bahwa dulu aku juga pernah excited ketika mengira aku sedang mengandung anak Sammy.

=========

Ren, aku tidak berpikir mengatakan ini cukup untuk membuat kamu mengerti keadaan adik aku. Entah kalian akan bersama lagi atau tidak, semuanya aku serahkan sama kalian.

Aku tidak benar-benar mengenal kamu. Hanya saja aku sudah hapal bagaimana kamu, Bhe tidak pernah berhenti mengungkitmu. Bahkan aku rasa dia sudah gila karena menceritakan tentang kamu setiap hari  bahkan saat dia berada di Jepang. Aku tahu dia sulit menerima keadaan setelah peristiwa kecelakaan itu, aku tahu dia selalu dihantui rasa bersalah. Aku bahkan harus meminta seseorang orang untuk menjaganya selama dia jauh dari kami. Bhe pernah tanpa izin ke Indonesia untuk cari kamu, hampir satu bulan. Dan aku tahu semua sia-sia saat dia bilang kamu tidak ingat lagi.

Lalu, mama kami meninggal. Entah harus bersyukur atau tidak, Bhe tidak pernah lagi merengek untuk pulang. Di bahkan tidak pernah menelponku atau papa. Bhe membuang segala apa yang ada pada dirinya dulu.

Tapi, beberapa bulan lalu dia mulai mengungkit kamu lagi.

Resah. Aku tak berhenti menghela napas setiap kali mengingat cerita panjang mbak Adriana. Ia mempunya jeda waktu untuk bercerita selama Bara ke toilet.

Dan selama dua jam kemudian perasaan bersalah mengerogoti hatiku.

Bhe, maaf. Aku tidak tahu kamu akan seterluka itu.

"Tak, udah sampai!" Bara menghilangkan lamunanku.

Aku bergegas turun mengikuti pria itu.  Kami saling terdiam sejenak di depan pintu masuk gedung. Merasa kikuk dan canggung. Ini seperti kami pertama kali berpacaran.

"Aku masuk dulu, thanks untuk hari ini." Kataku seraya tersenyum malu.

"Bhe aku bukan anak Smp lagi!"

"I love listen you calling me like that."

Dan aku mulai tersipu.

Hanya sebentar.

Karena seseorang membunyikan klakson mobilnya berulang-ulang.

Ryo.

Last Love (END)Where stories live. Discover now