[34] : Akhirnya

2K 147 1
                                    

"Kita sebenernya mau kemana sih Lis?" Akhirnya aku tak tahan juga untuk diam diantara kemacetan ini.

Sudah hampir tiga puluh menit, namun Mercedes benz Lisa hanya bergerak beberapa senti saja. Berulang kali aku menidurkan kepalaku dan memejamkan mata sejenak, lalu kembali awas dengan keadaan sekitar, tapi tetap saja kami masih terjebak di tengah-tengah lalu lintas yang membeku. Aku tak habis pikir kenapa Lisa memilih jalan arteri. Rasanya ingin memaki saja.

"Tenang dikit kali Ren, bentar lagi juga sampek." Ujarnya usai mengikuti lirik lagu Avril yang mengalun pelan di ruang sempit ini.

"Ya elo, kerjaan kantor gue masih numpuk. Besok udah senin lagi."

Sudah hampir mendekati liburan Natal dan tahun baru. Aku harus segera menyelesaikan sebagian data-data agar tak mengganggu waktu liburan nanti.

"Elah Ren, libur ya libur, kerja ya kerja. Heran gue, kapan sih loe gak mikirin kerjaan. Jangan serius-serius lah, nyante dikit."

"Mulut loe nyante. Ini menyangkut perusahaan orang, kalo gue salah perkiraan, ancur karir gue!"

"Ya pindah kantor gue aja." Ucap Lisa santai sambil mengetuk-ketuk jemarinya ke setir mobil.

"Sekate banget loe!"

"Ato... mau loe kalo jadi model majalah gue buat tahun depan?"

Aku hanya mendengus.

"Nanti gue kenalin mbak Nike. Sosialita yang lagi hot banget digosipin beberapa bulan ini!" Cerocos Lisa. "Dia kan bakal jadi model cover majalah gua tahun depan. Lumayan bokkk, loe bisa dapet koneksi kakap. Sapa tau loe dapat kerjaan bagus dari kenalannya."

"Gue gak tertarik. Lagian gampang apa temenan ama orang-orang kayak gitu. Mereka juga pilih-pilih kali."

"Gampang aja sih, apalagi kalo dia tahu loe deket ama Rinda. Nike sering gaul ama Rinda juga. Makanya dia gak begitu belagu ama gue."

Mataku  menatap kosong ke area luar kaca mobil. Mengarah pada langit yang mulai menggelap juga bulan sabit yang mulai terang.

Bukan aku tertarik  dengan ulasan yang Lisa buat. Tapi pada satu nama yang mengganggu hati.

"Rinda... gimana kabarnya? Loe masih kontak-kontakan ama dia?" Aku menoleh pada Lisa yang kali ini memainkan perseneling. Para kendaraan mulai bergerak.

"Gua udah lama gak hubungin dia sih, terakhir ya waktu ketemu di pesta kakaknya. Setelah itu gua denger dari mbak Nike kalo Rinda ke luar negeri."

"Owh...-"

"Kenapa? Loe masih kepikiran tentang situasi loe ama Bram?"

"Gua takut Rinda ngindarin gue kalo dia tahu gue sempet...," aku memang tak berhenti resah, bagaimanapun hubunganku dan Rinda sangat baik, dan juga tak ada sangkut pautnya dengan Bram.

"Ya kita tunggu aja dia pulang, baru deh loe omongin baik-baik. Kalo dia belum tahu, loe yang harus jujur Ren."

"Btw, gue masih penasaran dengan Bhe... siapa sih dia sebenernya? Pacar loe? Atau cuma temen?" Tambah Lisa cepat.

Aku hanya bisa menggedikkan bahu. Sebenarnya aku juga bingung. "Mungkin. Gue cuma ingat dia selalu ada sekitar gua."

"Loe harus tanya ke Bram, karena hanya Bram yang tahu masa lalu loe. Dan juga..."

"Gue... takut Lis, gue takut pada kenyataan yang akan gua dengar." Potongku

"Loe takut bila Bhe ternyata gak seperti yang loe bayangin. Ehmm maksud gue... mungkin dia juga udah taken kayak Bram-"

"Gua takut bila ternyata gua bukan apa-apa, dan hanya gue yang terjebak sendiri di masa lalu ini." Lagi-lagi aku memotong.

"Karena itu loe juga belum cari tahu ke Ryo? Orang yang mungkin kenal Bhe."

Tarikan napasku mulai terasa berat. Kenapa hanya membicarakannya saja bisa semenyakitkan ini? Kenapa aku tak bisa sedikit tangguh meski hanya di depan Lisa?

Sebuah gambaran seseorang yang tersenyum dan menenggelamkan matanya membentuk bulan sabit, membayangi benakku. Itu senyum Bhe yang muncul di memoriku sejak tabrakan beberapa waktu lalu. Salah satu dari klip-klip ingatan yang lain yang mulai terbuka.

"Ehm, sebenarnya kita kemana sih Lis? Kok gak nyampek-nyampek." Sekali lagi aku gatal untuk tak bertanya. Alasan sebenarnya sih untuk membelokkan pembicaraan sebelumnya. Lebih tepatnya lagi mengalihkan perasaanku yang mulai tak stabil.

"Gua lagi nyari gedung tempat dimana gua janjian ama cowok." Ekspresi Lisa mulai jenuh setelah dari tadi menoleh kanan dan kiri.

"Bangke loe, gue jadi obat nyamuk nih ceritanya?" Tanyaku kesal.

"Bukan. Gua emang janjian ama cowok, tapi buat urusan kerjaan. Dia itu  dulu tetangga gua. Baru dapat kontaknya lagi sih sebenernya, karena mumpung dia di Indo ya gua samperin aja."

"Ck, suekkk bener loe. Tahu gitu gua pulang aja naik taksi." Omelku. "Lumayan kan, kerjaan gua bisa kelar dikit."

"Ssttss... kali aja jodoh loe! Lumayan orangnya ganteng. Udah gitu punya usaha cafe di Hongkong. Dragon apa gitu..."

"Kayaknya dari tadi loe promosiin temen loe terus. Sebel gua!!"

===============

"Lis, ngapain sih kita kesini? Loe mau ikut futsal?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling area olahraga indoor yang menjadi tujuan Lisa hari ini.

"Sinting, gua janjian sama seseorang."

"Iya tau, tapi mana?" Kembali aku mengajukkan pertanyaan. Untukku, sangat canggung sekali berada di area yang sebagian besar pengunjungnya adalah laki-laki.

"Iya, iya, bentar gua telepon!" Lisa mulai memainkan ponselnya dengan wajah bingung dan gelisah. Kakinya tak berhenti mengetuk-ketuk lantai.

"Halo Rob, loe dimana? Gua udah di dalam nih?"

Aku hanya menoleh sekilas saat Lisa mulai bercakap-cakap entah dengan siapa sambil pandangan beredar ke segala penjuru. Tanpa sadar aku juga mulai mengikuti gerak matanya yang mencari-cari seseorang. Perlahan ia berjalan mendekati arena, hampir mencapai kumpulan pria yang sedang duduk menikmati pertandingan di depannya. Para lelaki dengan pakaian khas mereka yang mungkin telah usai bermain.

Saat itulah aku menangkap aksi yang sangat familiar. Bercelana olahraga di atas lutut. Baju tanpa lengan yang senada dengan celananya. Salah satu tangannya menopak di pinggang, terlihat angkuh, dan tangan yang lain bersembunyi di sisi telinga kanan. Sesekali ia menebar senyum pada orang-orang di sekitarnya.

DEG DEG DEG DEG

Di dalam kepalaku ada arus yang berputar lebih lambat. Seirama dengan isi rongga dada ini yang memacu tak normal. Ada riuh yang datang silih berganti dan membingungkan kerja otak.

Aku mengamati badannya yang mengkilap karena keringat, tapi senyum cerianya tak jua hilang. Seorang wanita mendekatinya, memberikan botol air mineral dan handuk.

Berdesing di ulu hati. Ngilu...
Bahkan laju napasku tak terkendali. Rasa nyeri lebih menusuk dari sebelum-sebelumnya. Aku menyadari sesuatu, bahwa aku telah kalah untuk kedua kalinya.

Sebuah nama itu menggema memenuhi kepala. Rasa pusing dan mual mulai menyergap.

"Lis, gue pulang duluan ya, ada dokumen yang harus gua kirim segera ke bu Rusti."

"Lah terus loe ninggalin gua gitu?"

"Sorry!" Otakku segera memerintah pergi setelah mengucapkan hal itu. Aku bergerak tergesa, memaksa kaki yang mulai lemas dan tangan yang gemetar. Sorry Lis, sorry... hati gua ternyata belum siap ketemu dia.

"Eh, Ren tunggu..." di belakangku Lisa berteriak. Tapi aku sudah kehilangan akal. Lebih baik pergi, sebelum ia juga menyadari kehadiranku. Karena aku tidak siap, benar-benar tidak siap.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang