[33] : Perhatian

2K 135 0
                                    


Pukul tujuh pagi aku masih dengan handuk melilit kepala. Sebenarnya bukan pertama kalinya buatku bangun kesiangan, mungkin hampir menjadi tradisi. Tapi pagi ini benar-benar kelewatan, karena aku bukan hanya belum merapikan rambut atau pun ber-make up, tapi juga belum menyiapkan sarapan. Suasana kamar sudah mirip area bekas perang, amburadul. Pakaian dalam, setelan kerja yang tak jadi kupakai, catokan rambut, hair dryer, dan tetek bengek yang mengisi tempat tidur yang sudah kusut. Walaupun terbiasa bangun terlambat, aku tidak pernah se-hilir mudik ini bersiap untuk ke kantor. Entah kenapa pagiku begitu kacau dan membingungkan.

Setengah jam kemudian, aku sudah seperti wanita karir normal kebanyakan, rok pensil biru dongker dan blouse lengan panjang berkerah dengan rambut terkuncir sedikit lebih tinggi. Sembari mengatur napas dan berusaha tenang aku berjalan keluar apartemen, berharap-harap semoga taksi tak sulit ditemukan. Untuk kesekian kalinya aku sadar, bahwa aku seharusnya memesan uber lebih dulu. Dan sialnya aku lupa.

"Morning!"

Aku mendongak dan bertatapan dengan orang pertama yang menyapaku pagi ini.

"Loe ngapain di depan apartemen gua?" alisku terangkat.

"Gua punya temen di gedung ini."

"Owh, yaudah gua duluan!" aku berlalu dan tak berniat menghiraukan Ryo lagi. kalau beruntung aku bisa mencapai kantor dalam setengah jam. Dan aku tidak ingin merusak keberuntungan itu karena bercengkrama dengan Ryo.

"Sayangnya, temen gua itu baru aja ninggalin gua!"

Aku tak mengindahkannya.

"Ren! Renata, cepet masuk mobil!" kejarnya menghadangku.

"Apaan sih, gua gak minta jemput juga!"

"Tapi gua pengen jemput! Loe pengen telat dan kena marah bu Rasti lagi?"

Aku terdiam lama dihadapannya. Bingung.

Huh, apa boleh buat!

"Mata loe sembab banget, loe kurang tidur?" Ryo bertanya walaupun matanya tak berhenti menatap jalan.

"Udah, loe nyetir aja, gak usah banyak komen!" jawabku jutek.

Kenapa harus bertanya kalau kenyataannya sekarang aku nyaris terlambat. Selain itu, tak ada yang ingin kubagi dengan Ryo, apalagi tentang malam-malam panjang yang tidak pernah berhenti menyiksa.

"Loe udah sarapan? Apa kita mampir ke ..."

"Udah!" aku menyahut cepat. Bohong.

Aku bisa mendengar dengusan Ryo, namun membiarkan saja tanpa merasa bersalah. Saat pria itu akan menyentuh stereo mobilnya, tanganku segera menepis. Tapi nyatanya Ryo masih bandel, dia kekeh menyalakan radio.

"Gua lagi gak mau dengerin lagu." Ucapku ku sarkatis.

Sejenak kami saling bertatapan. Aku menampilkan wajah paling datar, dan segera melengos. Aku merasa sedikit takut akan mendengar lagu itu lagi di stereonya, lagu yang pernah membuat kepala ini pusing sepulang dari tabrakan beberapa minggu yang lalu. Lagu yang mungkin akan membawaku kembali ke dunia berbeda, kenangan yang ingin kuhindari akhir-akhir ini.

"Loe keliatan gak baik-baik aja Ren. Terjadi sesuatu?"

Aku terbangun dari lamunan atas pertanyaan Ryo. Lagu sudah berganti dengan nada sedikit upbeat. Suasana hatiku sedikit berubah, tapi aku tak bisa mengatakan begitu saja apa yang kurasakan beberapa jam ini.

"Gua gak papa, cuma ngantuk doang!" jawabku sembari memejamkan mata.

"Loe tuh tukang tidur banget ya... kayakya kapan sih gua gak liat loe ngantuk? paling pas ada meeting atau kunjungan ke kantor klien. Itu pun masih sempet-sempetnya merem di mobil." Ryo terkekeh.

Aku tak mengubrisnya. Biarlah Ryo dengan pemikirannya sendiri tentang aku. Hanya Sammy yang tahu betapa tidak normalnya waktu tidurku. Meski gejala insomnia sempat berkurang semenjak kami pacaran dan tidur bersama, tapi penyakit itu bukan sesuatu yang mudah dihilangkan. Dan nyatanya aku nyaris menjadi benar-benar gila ketika kami putus.

Aku ingat, satu orang lagi yang mengetahui betapa sulitnya aku tidur di malam hari. Bara. Aku tak ingin mengingatnya, tapi ia juga sedikit berjasa mendinginkan otakku dikala malam menjebakku dengan beragam emosi yang berlarian keluar. Bara dengan kata-kata jahilnya, pesan-pesan pendek yang sempat menemaniku beberapa malam.

Namun nyatanya, pria itu-yang aku kira salah satu obat yang membuatku tenang, adalah orang yang semalam menguras air mata ini. Yang menjadikan aku wanita paling bodoh karena baru saja menyadari betapa aku telah jatuh cinta.

=============

Sesampai di kubikel aku hanya menaruh tas dan langsung ngeloyor ke pantry. Pagi ini aku benar-benar butuh banyak kafein daripada biasanya. Aku tak menghiraukan tatapan Lulu yang ternyata lebih dulu duduk santai dengan gelas mengepul di hadapannya. Tujuanku hanya satu mug kopi hitam pahit sebelum rapat jam sembilan nanti.

"Ren!"

"Renata!"

"Woy!"

Puk!

Aku lantas menggosok pelipis ketika terkena lemparan-entah apa. Bukannya aku tidak mendengar dia memanggilku, hanya saja suaranya terlalu pelan, bahkan awalnya aku mengira hanya halusinasi saja.

"Apa?" aku bertanya tanpa suara. Lulu langsung menyengir saat aku merespon.

"Ngelamun apa bikin kopi?" ujarnya, yang segera kujawab dengan melengos sebal.

"Ren, lo mau ikut gak?" kembali Lulu berbicara padaku dengan pelan.

"Kemana?"

"Anak-anak mau ke Bidadari tahun baru entar. Kalo loe mau ikut, gua bilang ke Arga."

Aku diam sebentar, seolah berpikir, padahal juga tidak. "Ehmm... kayaknya gua..."

"Yah... pasti gak bisa! Tahun lalukan juga gitu. Emang beda ya kalo udah punya pacar." Balas Lulu dengan wajah cemberut dan kembali menyeruput minumannya.

Tanpa izin otakku segera memberitahu kemana dan dengan siapa aku merayakan malam tahun baru setahun yang lalu. Dan desahan pelan keluar tanpa bisa kutahan.

Hanya saja alasanku kali ini bukan itu. Tak ada sedikit pun rencana terpikirkan untuk malam tahun baru sebulan lagi. Paling mentok mungkin aku hanya menghabiskan malam di Bar langganan seperti biasa, mungkin bisa memaksa Lisa untuk ikut. Yang aku tahu wanita itu juga sedang sibuk dengan majalahnya untuk season 2017.

Selain itu, ke pulau bidadari juga harus menyebrangkan? Jadi itu bukan salah satu pilihan yang harus kuambil, sudah jelas aku pasti menjawab tidak. Tidak lucu bila harus merepotkan anak-anak dengan mabuk laut-ku yang parah dan bisa heboh kalau mereka tahu aku trauma naik kapal.

Last Love (END)Where stories live. Discover now