[18] : Penganggu

3.3K 162 3
                                    

Sorry Lis, udah ngerepotin loe!” sembari bersandar pada kursi plastik di pantry, aku sibuk dengan dua hal, meminum teh dan menelepon Lisa.

“Gua harap ini yang terakhir kalinya. Bukan karena harus bersaksi, tapi gua gak mau hal kayak gini menimpa loe lagi.” Lisa mengoceh di sebrang sana.

Aku merasa bersalah karena Lisa harus ikut-ikutan berurusan dengan polisi. Selain aku yang tinggal bersamanya beberapa minggu lalu, ia juga orang kedua yang kuhubungi hari itu selain Bara.

“Gua harap, ini yang pertama dan terakhir Lis.”

“Loe muram banget kedengerannya, gak ada apa-apa, kan?”

“Gua cuma ngerasa bersalah aja sama loe, sama Bara…”

Wait, wait, wait… Siapa Bara?”
Sontak aku segera menggigit bibir.

“Ehm… temen, kapan-kapan deh gua kenalin!”

Seriously, gua baru denger nama itu, sumpah! Atau jangan-jangan…”

Stoped-right-now, lain kali aja gua ceritanya. Kerjaan gua lagi banyak!” segera saja aku memutuskan panggilan. Dan lalu menarik napas lega. Aku sedang tidak minat menjawab rasa penasaran Lisa, karena kadang lebih mengerikan dari introgasi polisi. Biarkan saja ia berpikir macam-macam.

“Mbak Rena, jangan melamun!”  sebuah tepukan ringan membawaku kembali ke Pantry kantor, jam di atas pintu baru menunjukkan pukul setengah sebelas kurang sedikit. Aku tersenyum pada Susi, office girl yang baru saja masuk dan segera sibuk membuat kopi entah untuk siapa.

“Mbak, aku jadi takut deh, sendirian lewat basement.” Ujarnya tiba-tiba sambil menoleh padaku.

“Kenapa?”

“Kalo ada yang tiba-tiba mukul aku pakai balok kayak mbak kemarin, kan ngeri!”

“Ya, udah jangan lewat basement!” aku berkata sambil tersenyum kecil.

“Terus gimana aku ambil motor-ku mbak?” raut wajah susi langsung buram, ternyata ucapanku merisukannya.

“Udah ah, gak usah terlalu dipikirin, kalau kamu merasa gak punya musuh, masak iya, ada yang tiba-tiba nyelakain kamu.”

“Iya juga sih mbak, tapi… mbak Rena berarti punya mu-suh dong…??”

Tertangkap basah seperti pencuri, aku langsung terdiam seribu bahasa. Susi menggigit bibirnya dan segera berbalik badan dengan kikuk.

“Mungkin, ada orang yang gak suka sama aku di luar sana, aku gak tahu juga sih…” aku berujar untuk menutupi jeda yang lumayan panjang di antara kami. Berusaha berpikir untuk menutupi kesalah pahaman yang mungkin akan dibicarakan oleh banyak orang.

Dengan sedikit gugup, aku kembali meminum teh tarik instan yang sudah mendingin. Rasanya berbeda dengan buatan Bara beberapa malam kemarin.

“Eh, Sus…. aku balik dulu ya, lupa kalo harus ketemu bu Rusti.” Ujarku mencari alasan untuk segera keluar dari ruang kecil ini.

“Iya mbak.”

Setelah meninggalkan susi dan cangkir-ku di bak cuci piring. Aku menyusuri lorong menuju ruang kerja dengan hati gelisah. Sesungguhnya, aku tidak tahu pasti penyebab luka yang kuterima belakangan ini. Aku tak pernah merasa punya musuh, satu –satunya orang yang saat ini kubenci adalah Sammy dan…

Oh My God!
Kenapa waktunya pas sekali? Di ujung lorong sana, yang berjalan menuju ke arahku yaitu orang yang ingin sekali kuhindari di kantor ini. Seperti menyebar terror, Ryo memunculkan perasaan takutku yang lain. Tanpa berani menatapnya, aku berjalan seperti robot. Tak ada waktu untuk menghindar, yang ada hanya menguji keberuntungan.
Mataku tidak sengaja menangkap papan menggantung yang bertulisan ‘meeting room’ , dengan senatural mungkin aku melangkah dan bersembunyi di ruang kosong itu.  Deru napas dan jantungku seakan memiliki irama yang sama. Aku menegang di balik pintu, berharap-harap cemas, semoga krisis ini cepat berlalu.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang