[50] : Menjemput angan

1.5K 112 0
                                    

"Yo, thanks... hari ini aku terhibur banget." Aku mengungkapkan kebenaran yang ada dibenakku. Malam ini benar-benar menyenangkan. Aku jarang tertawa selepas ini ketika menikmati film. Rasanya sudah lama sekali.

Ryo terlalu pintar untuk membuat moodku kembali membaik. Keluar dari bioskop aku seperti selesai melakukan spa. Belum lagi dijamu bak putri raja saat dinner di salah satu mexico resto, juga pertunjukan Mariachi yang sangat memukau, hingga aku hanya bisa gumam 'wow'.

"Aku bahagia kalo kamu puas sama surprise aku." Ryo menyentuh tanganku.

Suasana pelataran gedung apartemen lumayan sepi untuk jam sepuluh malam. Bahkan tak ada suara kendaraan pun yang terdengar ketika kami sejenak dalam diam.

"Ren,"tiba-tiba Ryo menarik tanganku yang satunya, meremasnya lembut. Aku tertarik dengan apa yang ingin dia tunjukan. Atau katakan? Karena tatapan matanya terlalu tajam dan juga bibirnya yang bergerak sedikit.

"Orang tua aku akan pulang dua hari lagi, mereka gak sabar ingin kenal kamu."Ucapnya penuh kehati-hatian.

Tanpa sadar aku menahan napas, dan segera menghembuskannya secara perlahan. Aku harap Ryo tidak sadar bila aku sedikit terkejut.

"Kamu gak papa?"

"Ah, oh... gak, aku gak papa. Its okay. That good. Aku juga pengen kenal orang tua kamu."

Ada binar di mata pria itu. Dia juga mengangguk dengan penuh semangat. "Aku lega, aku kira kamu bakal keberatan."

"Gak masalah. Toh cepat atau lambat aku bakal ketemu orang tua kamu."

Gak masalah.

Gak masalah...

==========

Gak masalah Renata. Jalannya memang seperti itu. Kamu yang menginginkannya, bukan? Semakin cepat semakin baik.

Aku membawa diriku naik ke lantai tempat apartemenku berada. Percakapan yang baru saja terjadi dimobil menyita sebagian isi kepalaku.

 Apa memang 'gak masalah?'

Bila iya, kenapa hal ini terasa berat untukku. Kenapa aku memikirkannya sekarang.

Ya, sebenarnya normal saja bila terlalu nervous akan bertemu dengan orang tua pacar. Itu sangat alami. Hanya saja...

"Bukannya kamu keluar kantor jam lima sore? Dan hanya butuh 45 menit untuk sampai disini!--,"

Aku mendongakkan kepala dan mendapati seseorang yang tidak ingin kupikirkan saat ini.

"--atau kantor kamu pindah ke Bandung."

"Bukan urusan kamu jam berapa pun aku pulang."

"Dulu bahkan kamu takut pulang sore." Bhe alias Bara berkata dengan nada sedikit getir.

Aku berhenti di tempat yang sedikit jauh darinya yang sekarang ada di samping pintu apartemenku.

Dalam diam aku berusaha tak larut dengan ingatan masa lalu.

"Sorry, aku lupa kalau itu sudah belasan tahun yang lalu. Mungkin kamu juga sudah lupa." Lagi-lagi dia berbicara dengan nada miris meski dengan sedikit mengulas senyum.

"Bisa kamu minggir. Aku mau masuk ke rumahku." Balasku datar. Untuk kali ini aku akan menatap matanya. Menunjukkan betapa aku tidak tertarik dengan apa yang dia ucapkan. "Dan tolong... jangan ungkit masa lalu. Karena dua orang yang ada dicerita itu... sudah gak ada."

Alih-alih memberi kebebasan aku untuk bergerak masuk. Bara dengan kurang ajarnya malah secara perlahan melangkah untuk mempersempit jarak kami.

Jantungku sudah tidak bisa bergerak normal. Denyutnya seakan-akan ingin menerobos dadaku.

Kurang lebih sepuluh senti Bara baru menghentikan langkahnya. Dan aku sudah membatu, seperti tersihir.

"Tak... lihat aku!" Suara Bara kini berubah parau. Tapi bukan berarti aku akan menuruti perintahnya. "Jangan palingkan wajah kamu seperti aku orang yang berbeda. Dari sebelas tahun yang lalu aku masih orang yang sama."

"Sorry, aku gak berminat dengar omong kosong kamu. Lebih baik kamu aja." Aku bersiap untuk berlalu dari hadapan Bara, tapi reflek dari cengkraman tangan terlalu kuat.

"Aku lelah BA-RA... bisa kita hentikan permainan ini?" Aku mengigit bibirku setelah berbicara. Suara ini kenapa terdengar bergetar?

"Lelah?" Bara mengekspresikan 'kata lelah' dengan suaranya. "Aku juga capek, dan aku ingin marah!"

Dan Bhe tidak pernah marah dihadapanku.

"Aku pernah putus asa karena kamu yang tiba-tiba hilang dari hidup aku. Aku juga sangat ingin marah ketika kamu tidak ingat satu pun tentang aku. Aku Tak... aku yang katamu sangat kamu cintai!"

Hatiku mulai terasa diremas.

"Kamu tahu betapa aku seperti kena serangan jantung ketika kita bertemu lagi di parkiran hotel waktu itu? Aku tidak tahu bagaimana harus mengekspresikannya. Aku berkata dalam hati, 'aku takkan membencimu lagi Tuhan, karena dia ada disini'. Walaupun nyata kamu masih tidak ingat aku."

Mataku mulai memanas karena rasa nyeri yang hadir bertubi-tubi tanpa henti.

"Lantas kamu bisa nipu aku? Kenapa gak langsung bicara tentang sebenarnya? Kamu pikir menyenangkan menjadi orang yang tidak bodoh? Kamu pikir aku bahagia dengan mimpi buruk yang kamu berikan? Aku mencari-cari siapa sebenarnya Bhe, dan ternyata dia ada di depanku. Datang dan pergi sesuka hati!"

Bara menghembuskan napasnya kasar. Disatu sisi aku berusaha menahan agar air mata ini tidak keluar.

"Cukup! Kita seharusnya gak berdebat tentang masa lalu." Aku mengaku kalah pada diriku sendiri yang tak mampu mendengar hal yang lain lagi.

"Aku harus bagaimana saat ternyata kamu sudah sama orang lain? Kalian tinggal satu atap dan mungkin siap menikah!" Pegangan tangan Bara melonggar.

"Aku bertemu cinta pertamaku lagi dan dia tidak ingat padaku dan juga sudah mencintai orang lain!"

Cukup Bara...

"Kamu pikir aku tega merusak kebahagiaan kamu? Tiba-tiba datang dan mengatakan sebenarnya? Aku menunggu kamu untuk ingat aku lebih dulu. Tapi kalau kamu tidak bisa mencintai Bhe lagi, aku ingin kamu mencintai Bara. Tidak apa kamu tidak ingat lagi, yang penting tetap aku yang ada di hidup kamu."

Dadaku langsung terasa sesak. Sekuat apapun aku menarik napas, rasanya ada batu yang mengganjal. Air mengalir dari pelupuk mata. Semakin deras ketika Bara tiba-tiba menarikku dalam pelukannya.

Isakanku seperti lolongan. Aku seperti dibawa kembali ke tahun dimana ayahku meninggal. Saat dadaku tak lagi kuat menahan tumpukan sedih yang mengganjal pernapasan. Ketika Bhe yang tiba-tiba datang setelah tiga minggu berada di Jakarta. Seperti saat itu, aku bagai menemukan tempat paling lapang untuk mengeluarkan semua rasa sakit ini. Dekapan Bhe seperti kantong udara yang membebaskanku untuk menghirup oksigen sepuas-puasnya.

Ini seperti aku baru saja pulang...

Last Love (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt