[25] : Friends

2.5K 161 0
                                    

 Ren, mas Ryo ngantar kamu sampek rumahkan?"

"Aww!" Pekikan pelan meluncur ketika tanpa sengaja kucuran air panas dispenser mengenai telunjukku.
Aku cukup kaget dengan pertanyaan Rinda tiba-tiba, hingga  sedikit sembrono.

"Ya... tentu aja!" Sahutku dengan pelan, bahkan sangat sanksi dua orang di ruang tamu itu akan mendengarnya, walaupun dapur dan living room tidak bersekat.

Sembari mengaduk green coffe instans pesanan dari nona-nona di depan tv sana. Ingatanku berlarian pada jumat malam lalu, hari paling sial yang tak bisa kuabaikan begitu saja. Tepatnya saat Ryo dengan lancang menciumku.

Rasa bibirnya, entah kenapa sulit sekali melupakan hal itu. Ada yang aneh dengan cara ia menciumku. Saat tangannya menarik leher... tidak! Ryo memakai sikunya untuk mengurung leherku. Dengan tangan lain berada di tengkuk. Aku terlena. Merasa seperti... dejavu?

Aku hampir tidak sadar bahwa Ryo lah yang melumat bibirku. Hanya saja bau parfumnya, mengembalikan kewarasanku. Aku seperti diberi keberanian untuk menampar keras pipinya

PLAK

" Brengsek loe yo, jangan pernah harap gua bakal maafin loe setelah ini!" Amarahku menggelegar. Rasanya ingin aku menumpahkan air panas ke wajahnya bila saja saat itu kami di pantry.

Ada banyak makian yang berkecambuk namun sulit untuk aku teriakkan.
Aku merasa bodoh, dengan harga diri yang lebih bodoh lagi. Air mata ini tak bisa aku hentikan. Aku menepis tangan Ryo yang akan mengusapnya, lalu bergegas keluar dari mobil si brengsek itu. Masa bodoh dengan ucapan terima kasih.

"Ren, loe beneran di antar mas Ryo kan?"
Lagi, Rinda meneriakkan hal itu. Aku terkesiap, menghentikan adukan kopi dan bergegas menghampiri mereka.

"Duh ile,  yang tanya terus-terusan tentang 'mas Ryo'. Kenapa neng, falling in love at first sigh ya?"
Lisa menimpali sambil menekan kata mas Ryo dengan memberi tanda kutip, setelah itu cekikikan sendiri.

Aku menyodorkan kopi pada mereka berdua, dan berusaha menarik senyum.
"Gua di antar kok sama Ryo!"

" Syukur deh.... Bukan gitu Lis, gua cuma khawatir aja."

"Khawatir apa khawatir..." goda Lisa lagi. Aku bisa melihat kekikukan di wajah Rinda.

"Gua jadi penasaran tampangnya mas Ryo itu gimana. Boleh dong Ren, loe comblangin temen kantor loe si mas Ryo itu sama nih anak!"

"Ihh, apaan sih Lis," sahut Rinda cemberut. Aku cuma berusaha mengimbangi lelucon Lisa dengan tawa palsu. Sungguh, Ryo bukan obyek yang mampu membuatku tersenyum, apalagi tertawa.

"Daripada nanti di embat duluan ama Ren, lebih baek loe order duluan!"

"Ye, loe kira Ryo barang online-nan."
Ujarku gemas dengan ucapan Lisa yang kadang ngawur.

"Ups lupa, kan mbak Ren udah punya mas Bara. Berarti loe masih ada peluang besar Rin!"

Dasar bego, apa Lisa tidak tahu kalau Rinda sudah di stempel? Sama yang punya GM lagi!

"Ehm... Rin, soal mobil loe... nanti gua aj..." ujarku

"Udah, gak papa kok Ren, mobil gua punya asuransi kok. Jadi loe gak perlu repot!"

Aku meneguk ludah, merasa sungkan. "Gak gitu Rin, gua ngerasa gak bertanggung jawab aja, apalagi rusaknya parah..."

"Loe gak perlu mikirin apapun sekarang ini, masalah tabrakan itu udah gua urus. Mobil yang nabrak juga udah gua tangani!"

"Serius loe?"aku menatap Rinda tanpa berkedip, rencananya hari ini aku akan melihat kerusakan mobil dan ke kantor polisi. Ada panggilan hari sabtu kemarin.

"Iya, makannya kami kesini. Selain jengukin loe, Rinda bawa kabar bagus, pelakunya udah nyerahin diri dan di selesaiin secara kekeluargaan, ya kan Rin?" Lisa ikut menimpali.

"Iya, udah loe jaga kesehatan aja! Masalah kemarin gak usah di pikirin, apalagi baru bulan kemarin loe keluar RS!"

Ucapan Rinda sungguh menghangatkan hatiku. Entah bagaimana aku harus menyikapi hubungan kami setelah ini. Ini seperti hutang budi yang sulit untuk membayarnya, apalagi setiap kali, aku masih melihat bayang-bayang Bram pada diri Rinda. Orang yang ingin sekali aku hilangkan.
.
.
.
.
.

Rinda pulang beberapa menit setelah itu, bahkan tanpa menghabiskan kopinya. Menyisakan aku dan Lisa yang duduk di atas karpet sambil bersandar pada sofa, di temani Anatassa steele dan Mr. Gray dengan volume kecil.

"Ren, gimana kalo cowok kayak Cristian Grey itu beneran ada? Loe mau jadi kayak si ana?"
Lisa menyilangkan kakinya yang berselonjor santai di depan tv flat-ku. Lehernya miring, dengan mata menatap padaku yang menidurkan kepala di pinggiran sofa.

"Gua rasa emang ada sih, tapi gua gak gila juga mau dikerangkeng kayak gitu!"

"Walaupun tuh cowok gantengnya mirip si Grey? Serius gak mau?"

"Pikiran loe tuh terlalu fiksi Lis, terlalu fantasi... kebanyakan nonton disney sih loe! Itu cuma cerita novel doang, nyatanya mana ada hidup sedramatis itu. Seromantis itu, saking cintanya jadi mau didominasi , terus si cowok jadi bener-bener cinta dan sadar setelah si cewek nolak dia!" Ujarku malas-malasan sambil melirik wajah malu-malu Ana setiap berbicara dengan Cristian.

"Gua mau tuh."

"Gua kagak! Yang ada gak di anggap anak lagi ama nyokap gua kalo dia tahu!"

"Cie, apa kabar loe yang kumpul kebo ama Sammy dua tahun ini, nyokap loe belum tahukan?"

"Tai loe!!" Makiku yang langsung di sambut tawa Lisa. Aku menelan ludah.

Ya, kenapa kemarin aku menerima tawaran Sammy untuk tinggal bersama. Apa sebenarnya aku mengharap sebuah keseriusan berujung pernikahan atau hanya sebuah bentuk keegoisanku untuk  merasakan dicintai dan mencari tempat aman?

Entah lah, mungkin kedua-duanya.

"Oh ya, Crhistian ama Bara cihuy -an yang mana?" Lisa mengalihkan topik setelah melihatku yang masih cemberut.

DEG. Hatiku langsung merasa tak nyaman.

"Kalo gua bilang sebelas dua belas gimana? Eh, tapi Bara gak bule sih, indonesia banget malah wajahnya."

"Oh ya? Gua jadi tambah penasaran. Suruh kesini gih, bilang ada yang mau kenalan!" Celoteh Lisa sambil mengecilkan suara pada kalimat terakhir. Seringainya membuat aku tersenyum sinis.

"Gua gak... gua sama dia udah gak kontek-kontekan!" Aku bisa mendengar suara senduku.

"Seriously, dari kemaren-kemaren itu?" Fokus Lisa sudah tidak pada tv lagi. Seratus persen menghadapku.

"Hm. Loe tahukan gua ama dia itu nothing. Dan gua yakin dia udah lupa ama gua!"

"Dan parahnya loe udah mulai love-love, bener gak gua?"
Aku mengangkat bahu. Nyatanya aku memang masih bingung.

Jeda. Lisa kembali fokus pada film di depan kami, dan sedikit banyak aku juga malas memikirkan pembicaraan barusan. Sampai...

"Yah, berarti kita berangkat berdua dong! Padahal rencananya pengen double date gitu. Gua ama Andre, loe ama Bara."

Andre, who?

Eh, tunggu! "Berangkat kemana?"
"Pertunangannya Bram!"

Last Love (END)Where stories live. Discover now