[48] : Menapak Jejak Baru (1)

1.5K 123 0
                                    

Aku asik berkutat dengan ponselku ketika memasuki lobi gedung perkantoran tanpa mempedulikan orang-orang yang berpapasan denganku.

"Oh gitu ya... kencan gak bilang-bilang."

Hehehe, sorry pake banget darling. Rencananya kan gua mau backstreet gitu kayak artis-artis... Nanti lunch bareng yah, awas loe kalo gak bisa. Udah hampir 2 minggu nih kita gak hangout!

"Iya, nanti gua sempetin deh. Makanya jangan sibuk mulu loh... eh, eh, eh bentar ya..."

Aku berhenti sebentar di meja Citra ketika gadis itu lambai padaku.

"Napa Cit?"

"Ini ada kiriman jus buat mbak Ren." Dari kolong mejanya Citra mengeluarkan satu gelas plastik berlabel.

Aku terdiam sejenak. Bukan menerka siapa pengirimnya, tapi lebih karena tidak tahu harus apa. Di seberang sana Lisa kembali ribut setelah mendengar percakapanku dengan Citra.

"Buat kamu aja Cit, gua lagi puasa."

Citra langsung bengong, dan aku segera pergi tanpa memberi kesempatan untuknya bertanya lagi.

"Siapa Ren?" Lisa tanpa babibu segera melontar pertanyaan usai percakapanku dengan Citra.

"Citra, resepsionis disini!"

"Bukannnn~ maksud gua yang ngirimin loe jus!"

"Gak tau, kayaknya salah orang deh!"

"Boong. Pasti gebetan baru loe itu kan!"

"Udah deh, malas bahas gua. Lagian udah sampai di kantor, cao dulu ya. Bye!" Aku menutup telepon secara sepihak, benar-benar sedang tak mood membahas tentang 'the juice' barusan.

Masih sangat pagi untuk menambah beban perasaan. Aku mengumbar senyum tatkala memasuki ruangan, dengan maksud menaikan mood yang sudah ambruk dari awal. Hanya saja orang-orang yang tak sengaja melihat kedatanganku segera memberi tatapan aneh.

Bae, makan siang bareng kan?

Satu pop up pesan yang hadir dijendela ponsel mengalihkan perhatianku pada penghuni-penghuni kubikel.

Sorry Yo, kamu kalah cepet ama Lisa. 😊

Oke. Next time, you are mine.

Bahagialah Ren. Karena sekarang ada orang yang bener-bener menginginkan kamu.

Tidak ada yang harus di sesali atau ditunggu. Lebih baik melarikan diri dari masa lalu sebelum ia menenggelamkanmu lagi. Dicintai itu lebih menyenangkan daripada mencintai. Omong kosong pada perumpamaan, lilin siap meleleh agar api tetap menyala.

Mati saja ke neraka yang masih mengagung-agungkan ungkapan my first love is never end.

.
.
.

"Saya harap kamu ngerti ya Ta, ibu bukan tidak suka hubungan kamu dengan anak ibu. Tapi mau jadi apa Bara kalau tinggal di kota ini. Bara sudah di persiapkan oleh papanya sebagai penerus usaha keluarga. Jadi ibu berharap juga dukungan kamu."

"S-saya ndak ngerti bu."

"Ibu tidak melarang kalian pacaran, tapi kalau menikah... sebentar lagi Bara akan lanjut sekolah di luar negeri, tidak mungkinkan kalian menikah lalu pisah negara."

"Saya ndak minta mas Bhe buat nikahin saya sekarang bu, tap..."

"Ya sudah kamu jelasin dong sama Bara. Kami ini orang tuanya ingin yang terbaik buat dia."

"Saya sudah bilang, tapi mas Bhe masih tetap ingin kami menikah dan kuliah disini."

"Saya mohon sama kamu Renata, Bara itu masih labil, saya takut dia nanti menyesal karena terburu-buru ambil keputusan."

"Jadi maksud ibu, mas Bhe akan menyesal setelah menikahi saya? Kami saling mencintai bu."

"Kalian itu masih muda, nanti juga putus. Daripada menikah buru-buru lebih baik digunakan mencari pasangan yang lebih tepat."

"M-maksud ibu..."

"Begini saja Renata, bagaimana kalau kamu menolak lamaran anak saya. Kalian masih bisa pacaran kok meski Bara kuliahnya jauh."

.

Tanpa sadar aku meremas sebuah kertas yang ada di atas mejaku.

Walaupun tak ingin mengingatnya, kejadian-kejadian yang lalu itu terus bermunculan semenjak aku membiarkan nama Bhe menguasai sebagian besar kerja otakku lagi.

Dulu aku terlalu bodoh untuk mengerti. Terlalu takut membantah, dan terlalu buta untuk memahami. Bahwa sangat sulit langkah yang harus aku tempuh untuk menyempurnakan perjalanan kami.

Otak anak kecilku hanya memahami, kalau aku, dia, dan cinta sudah menjadi komponen yang melengkapi untuk terus bersama.

Keluguan itu menyeretku untuk percaya, bahwa dia--bagaimana pun keadaannya nanti--akan terus bersama aku.

Terasa menyedihkan bila memikirkannya lagi. Aku seperti mengorek time capsule, dan menumpukan semua harapanku di benda itu, tapi yang kutemukan hanyalah tempat kosong.

Aku pernah mengira-ngira seperti apa kami sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun mendatang, dan jawaban yang kuterima begitu mengejutkan.

Tak ada yang cariin loe nih.

Kata Citra tanpa berbasa-basi ketika aku mengangkat panggilannya pada dering pertama.

"Sia--,"

Bara. Cowok ganteng itu. Gebetan loe. Cepetan turun.

Aku menelan ludah. Kelu.

"Bilang sama dia gua lagi keluar. Atau buat alasan apapun, yang intinya sama."

Kenp...

Aku menjauhkan gagang telepon sejenak. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup panggilan.

Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan Bhe. Semuanya sudah selesai.

Hatiku kembali berdenyut nyeri.






Last Love (END)Where stories live. Discover now