[22] : Pupus

2.9K 173 3
                                    


Satu minggu sudah sejak dinner di kafe-yang ternyata-milik Bram. Satu minggu itu juga aku tak berkomunikasi dengan Bara. Esok hari setelah makan malam itu, Bara masih menghubungiku, bertanya keadaanku yang hanya kujawab dengan kata 'I'm okey, don't worry!', pembicaraan canggung kami setelah itu seakan menyiratkan bahwa Bara mengerti apa yang terjadi padaku-mengerti diatas ketidak mengertian-dan sikap acuhku padanya seakan meluruskan semuanya. Bahwa hubungan kami hanya sebatas teman, tidak lebih. Dan Bara menghilang hingga saat ini.

Ada kalanya aku ingin sekali mengangkat ponsel dan menghubunginya, bertanya kabar atau mengatakan kata rindu. Tapi, perasaan takut ini tak juga hilang, takut bila ini hanya permainan yang Bara ciptakan dan aku belum siap terjebak didalamnya, belum lagi rasa terpurukku setiap kali Bram yang tiba-tiba muncul, tapi aku tak bisa menggerakkan bibir hanya untuk bertanya kabarnya.

"Nih buat loe...." Lisa melemparkan kertas tebal berdesain emas. Saat baru saja mendudukkan bokongnya di sofa apartemenku. Aku membukanya perlahan.

Pertunangan
Bramasti Agung Waluyo & Melia Christina


"Bra...m...mas..tie?" bibirku bergetar membaca nama yang tertera diundangan. Jantung ini berdegup keras saking kagetnya.

"Iya, kakaknya Rinda, masak loe gak tau?"

Aku tersenyum di balik hati yang mencelos. Tiba-tiba kekosongan melingkupiku, aku tak tahu bagaimana menanggapi keadaan ini untuk diriku sendiri. Terkejut, tentu saja. Tapi bagaimana gambaran selanjutnya, aku sama sekali tidak mengerti. Perasaan yang timbul bertahun-tahun ini, walaupun tak seromantis seperti aku pada Sammy, atau pada Bara, tapi Bram adalah bagian masa laluku, bahkan aku belum mendapat jawaban tentang semua mimpi buruk ini.

Bila aku mengesampingkan semuanya, mungkin perasaanku pada Bram macam permainan petak umpet, aku butuh menemukannya untuk mengakhiri permainan ini, entah akan memulai bermain kembali atau tidak. Menemukan kembali Bram memberiku harapan untuk menang dan terbebas dari kekacauan yang terjadi setiap malam. Tapi aku lupa, bahwa Bram mungkin saja menemukan jalan lain untuk pulang, dan memilih melupakan permainan ini.

"Lis, gua jadi kangen clubbing deh! Pergi yuk!" kataku setelah diam dan hanya membolak-balik kertas undangan.

===============

Musik Remix di lantai bawah memekak telinga, tapi aku sedang tidak berniat turun. Kubiarkan Lisa cemberut dan menuju dance floor sendirian. Disebelahku ada rinda yang sibuk berbicara entah dengan siapa, mungkin salah satu kenalannya. Mengingat ini pub rekomendasi dia.

Aku menumpukan kepala yang terasa ringan pada satu tangan, menunduk hingga sebagian rambutku terurai.

"Woi, udah mabuk loe?" Rinda dan tangannya memaksaku mendongak. Aku hanya tersenyum. Aku belum benar-benar mabuk, bahkan botol chivas-ku belum kosong.

"Kakak loe mau tunangan Rin?" entah ada keberanian dari mana aku hingga aku bertanya tentang Bram.

"Iya, loe udah dapat undangannya kan? Gua dibolehin ngundang temen-temen gua. Loe dateng ya, wajib loh!" jawabnya ceria. Rinda tidak mabuk, ia hanya memesan margarita yang hanya dicecap beberapa kali saja. Curang.

"Siapa cewek itu?" Aku segera tertawa saat mendengar pertanyaanku sendiri, aku yakin Rinda pasti heran aku bertanya seperti itu. "Maksud gua, ekhm... gua kira kakak loe gak punya cewek, soalnya gua gak liat dia bawa gandengan tuh waktu itu!"

"Namanya Melia, mereka pacaran udah lama kok, udah dari SMA malah, tapi Melia pindah ke Inggris!"

Sekali lagi, ada sobekan yang kurasakan. Menganga lebar sekali untuk kali ini. "Dari SMA?" suaraku terdengar seperti bisikan. Rasanya dadaku juga di timpa batako berton-ton, sulit rasanya untuk bernapas.

Last Love (END)Where stories live. Discover now