[26] : Pertunangan

2.8K 167 1
                                    

"SHITTTT!"

Suara makian meluncur cepat dari bibirku saat high heel dua belas senti ini hampir membuatku oleng dan menjadi bahan perhatian orang-orang. Kami sudah di depan Ritz, Lisa sudah selesai memberikan mobilnya pada pihak valley, dan berada di sampingku lagi, kali ini dengan tatapan geram yang sangat kentara.

"Gua merasa menjadi wanita brengsek karena sejak tadi menjadi korban mulut loe yang juga brengsek." Ulasnya pelan sambil memperhatikan orang-orang di sekita kami.

Aku ingat sudah berapa kali aku mengumpat beberapa jam ini. Bahkan sebelum Lisa datang menjemput, mulutku sudah tak terkontrol. Sedikit saja aktivitas yang kukerjakan tidak sesuai jalur, semua kata-kata sampah keluar.

Hatiku ini entah bagaimana rasanya. Semua bercampur menjadi satu namun tak ada pemanisnya. Takut, itu yang mendominasi. Kalut, sedih, marah dan tentu saja cemas. Sejak pagi aku berusaha menyibukkan diri, mulai dari membuat sarapan meski tak lancar-nasi goreng yang rasanya seperti teh manis, mencuci pakaian-padahal biasanya aku menyerahkan tugas ini pada mbak-mbak loundri, dan menonton film horor di siang bolong, walaupun nyatanya yang paling seram adalah apa yang berkecambuk di hati ini. Semakin aku diam tanganku tak bisa berhenti gemetar, ditambah rasa ingin muntah juga jantungku yang bergerak lebih cepat daripada lantai treadmill.

Aku bukannya tidak berusaha menghindari acara ini-bahkan setelah tabrakan itu dan beberapa pekerjaan yang harus kutinggalkan karena cuti pasca kecelakaan tempo lalu-tapi, tak ada satu alasan pun yang bisa Lisa terima. Ia ingin aku hadir, titik. Karena Rinda teman kami dan Bram adalah kakaknya. Lisa bahkan menambah embel-embel untuk merayuku, yaitu kami tak akan berlama-lama berada disana.

Saat akan melewati pintu Ballroom, tempat acara berlangsung, Lisa mengerling padaku.
"Menurut loe yang mana yang paling oke?" tanyanya dengan bisikan, yang ditujukan pada dua laki-laki berjas yang menjaga kedua sisi pintu.

Aku memutar bola mata, tak habis pikir dengan isi kepalanya. "Bawa pulang kalo loe tertarik!"

"Loe pikir handbag."

Dan aku sedikit terhibur dengan guyonannya. Dua petugas itu melirik kami, dan Lisa dengan percaya diri mengumbar senyum menggoda pada salah satunya sembari memasuki area ballroom.

Sesampai di dalam, aku menarik napas berat ketika menelusuri ruangan. Rasanya seperti terjebak di pesta-pesta Eropa yang sering kutonton. Ini benar-benar pesta. Mewah. Elegan. Dan kelas atas. Entah kenapa aku merasa kecil, padahal bukan pertama kalinya aku berkunjung ke acara seperti ini. Hanya saja mengingat siapa pemilik acara ini, dan siapa saja yang mungkin akan -tanpa sengaja- kutemui, perasaan aneh merayap.

Aku melirik Lisa yang mencekal pergelanganku. Wajahnya ikut kaku dan cemas.

"I am fine!" ucapku nyaris berbisik. Kata-kata yang nyatanya sangat asing.

"Jangan berubah pikiran Ren, walaupun dia ada disini."

"Hah?"

Aku mengikuti arah mata Lisa. Mempelajari sosok yang jauh di sisi lain ruangan. Lalu dahiku mengerut dan berkedip berkali-kali. Aku kaget, tapi tetap saja menutupinya. Oh Tuhan, aku baru saja masuk. Pemandangnnya sudah tak mengenakkan.

"Sammy kenal Bram?"

Aku sudah memalingkan wajah dari pria yang juga menatapku saat menjawab pertanyaan Lisa.

Menggeleng, "I don't know! Bukan urusan gua, mungkin mereka kerja sama!"

"Dia masih merhatiin kita!"

"Gua butuh minum!" aku berlalu meninggalkan Lisa. Masa bodoh dengan pria brengsek itu. Rasanya aku benar-benar haus dan sangat-sangat butuh minum. Bertemu dengan Sammy disini bukan salah satu harapanku dan tidak ada di list. Sebenarnya aku penasaran juga kenapa dia ada di acara ini dan hubungan seperti apa antara Sammy dan Bram, tapi sekali lagi aku memblok semua tentang pria itu di kepalaku. Sebenarnya lagi, Sammy sering mengirimiku pesan, bertanya kabar dan lain-lain yang sangat tidak penting. Aku hanya membaca sekali, setelah itu langsung kuhapus beberapa detik setelah pesan lainnya masuk.

Jahat? Ya, tapi dia lebih dari sekedar jahat.

"Ayo kembali bertemu setelah ini untuk menyapa Bram atau Rinda." Kata Lisa sebelum aku meninggalkannya.

Sial, aku benar-benar lupa dengan itu.

==============

Aku melarikan diri ke salah satu sudut ballroom dengan red wine di tangan ketika acara pertunangan dimulai. Bersandar pada salah satu pilar, dengan kepala yang seperti pasar malam. Bergemuruh.

Jantungku tak setenang di awal ketika memasuki hotel setengah jam yang lalu, kenyataannya Bram bisa menemukanku kapan saja. Jalan kerja otakku sedikit kacau, aku tak punya solusi apapun untuk malam ini.

Perasaan ingin bertemu tentu saja sangat kuat, hanya saja emosionalku yang tidak stabil ini, apa bisa aku tidak mengacaukan keadaan bilamana kami tanpa sengaja bertemu? Ada banyak yang ingin kutanyakan, banyak sekali. Tapi di acara pertunangan seperti ini-sialnya acara ini miliknya-apa tidak apa-apa aku menanyakan tentang masa lalu?

Tepuk tangan meriah membanjiri ruangan, setiap orang mengangkat gelas mereka disaat aku yang malah menelan habis minuman fermentasi ini.

Ketika orang-orang tak lagi bergerumbul, aku ikut menyebar mencari Lisa yang entah dimana. Tanpa sadar kaki ini membawa ke arah panggung yang ada di ujung ballroom.
Disana, beberapa meter dari tempatku berpijak, pria dengan jas putih dan dasi kupu-kupu terlibat obrolan seru dengan teman-temannya. Tangan kanannya menggengam segelas white wine-mungkin, dan tangan yang lain sibuk berekspresi. Wajahnya sangat ceria, cerah. Mataku langsung mengarah pada tangan salah satu jarinya yang sudah bercincin.

Sejenak mata ini bergantian mengamati teman-teman Bram, dan saat tak mendapati orang yang kukenal, rasa lega membanjiri dadaku. Setidaknya, perasaanku tidak tumpang tindih antara pertunangan Bram dengan bertemu Bara lagi. Sungguh aku tidak siap. Cukup bertemu Sammy saja. Aku masih bisa meng-handle-nya, tapi dengan Bara aku tidak yakin.

Ketika tatapanku beralih pada Bram lagi, tubuh ini langsung merespon dan sedikit mundur. Pria itu mendapatiku, menaikan kedua alisnya, dan aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan saat ini.

Kaku. Aku seperti terjebak di es. Otakku mengintruksi untuk pergi tapi aku tetap tak bisa bergerak. Bahkan mata ini sulit untuk teralih.

Last Love (END)Where stories live. Discover now