Special Chapter : [ the guy(s)]

2.4K 144 0
                                    


Mata gua menyapu seisi penjuru klub. Tidak begitu ramai mungkin karena masih jam delapan malam. Tiga jam sebelum pertunjukan.

Mata gua beralih pada meja bar tak jauh dari tempat gua berdiri sekarang. Mencari target. Yang ternyata teman gua itu sudah mengangkat tangannya.

Rob. Orang yang mengundang gua kemari malam ini. Wajah Turki-cinanya  terlihat lebih kontras dari pengunjung Dragon, yang sebagian besar penduduk lokal.

"Wats aps dud?"
Kami bersalaman seperti pria pada umumnya.

"Fine. Loe makin tua aja!" Canda gua sembari mengambil duduk di sampingnya.

"That's you, fuckboy!"

"By the way, gua kaget loe tiba-tiba ngundang gua kemari. Apa ada yang harus gua dengar? "

"Ini hanya profesional antara you and me! So, untuk memgawali semua... whisky or...

"Margarita please...

"Cemen, kelaki-lakian loe udah pudar?" Teman gua itu tergelak dengan kata-katanya sendiri.

"Gua hanya mengurangi."

"Bullshit! Seorang Bara? Hahahaha."

Bibir gua ikut terangkat, merasa geli juga mendengar ledekan Rob. Mungkin  benar, sobat gua sejak jaman jadi gembel di jepang sampai kita balik lagi ke Indonesia, dia lebih tahu gua daripada gua sendiri. So, itsn't fals laugh.

Sembari menunggu tawa Rob reda, mata gua kembali berkeliaran. Dan fokus gua jatuh pada wanita berambut ombre light brown, berpakaian tanpa lengan dengan tubuh sedikit sintal yang pandangannya menjurus pada kami, entah gua atau Rob.

Di klub pemandangan seperti itu sudah biasa jadi gua memilih mengacuhkan saja. Pusat gua mengalih pada Rob, tepatnya profesional bisnis yang tadi dia gadang-gadang. Gua tahu betul apa yang dia minta, tapi gua yakin bukan hanya itu.

"Loe udah puas ngeledek gua? Come on Rob, gua harus berubah."

"Gua gak nyangka, loe bertekuk lutut juga setelah bertahun-tahun. Kalian akan menikah?"

Tersenyum sinis, itulah yang gua lakuin. Membiarkan Rob dengan imajinasinya.
Toh, tidak bisa dibilang salah juga.

"Seperti apa yang selalu gua bilang, loe pasti akan menyerah. Jadi jangan sibuk mengendurkan tali kekangan, dia cuma akan lari bila dia ingin. Atau sebaliknya."

BRENGSEK.

"Gua bukan loe yang sulit move on. Pu...,"

"Hi Rob, apa aku mengganggmu?" Seseorang menyapa Rob, yang ternyata adalah si rambut ombre yang tadi. Wanita itu merangkul leher Rob dan duduk di pangkuannya. Sepertinya bukan kenalan biasa.

"Hi Lyn? Aku tidak tahu kau datang?"
Dasar bajingan. Seorang Rob tidak mungkin tidak tahu ada wanita cantik disekitarnya.

"Apa aku mengganggu kalian?"

"Tentu tidak sayang!" Rob mencium pipi wanita itu. "Aku lupa. Ini Bara, dan Bara, ini Lynda."

"Senang mengenalmu." Gua dan Lynda berucap bersamaan.

"Kalian..." mata gua menyipit.

"Kami berteman. Ya kan, Rob?"

"Tentu, baby! Special friend." Ujar bajingan busuk ini seraya mengedipkan mata padaku.

"Sepertinya aku harus menjauh sebentar, kalian pasti akan membicarakan sesuatu, bukan?"

"No problem honey. Kau boleh tetap disini!"

"Tidak,tidak, aku rasa ini adalah boys time. So, aku akan kembali nanti."
Lynda pergi setelah mengerling padaku. Menjauhkan pemandangan bokongnya yang bulat. Gua berdehem, dan kembali bersitatap dengan Rob.

"Kalian pacaran?" Gua menatapnya tajam. Benar-benar perlu jawaban.

"Loe masih belum jelas. Gua dan Lynda is special friend."

"Bulshitt! Tapi, gua harap loe emang udah lupa kenapa loe kabur kesini?"

Teman gua ini mendengus, lalu dengan sekali teguk, Rob menghabiskan minumannya. Dan memandang kosong ke sisi lain ruangan.

"Ya, empat hari lagi Bram akan tunangan. Loe seharusnya ada disana, menyelesaikan semua. Karna 'dia ' juga pasti ada disana. Be gentle. Seenggaknya kasih diri loe kesempatan menunjukkan diri lagi. Gua yakin, dia masih nungguin loe!"

Brakk. Rob meletakkan gelasnya dengan sekali sentakan. Lalu bangkit dan pergi dari hadapan gua dengan wajah penuh emosi.

================

Are you okey, gentleman!”

Gua menoleh pada penyapa hangat yang saat ini berjalan menghampiri gua yang bersandar pada pagar balkon. Gua langsung mematikan rokok yang memang sudah memendek, dan melemparkan puntung itu di rerimbunan pohon di bawah sana. Bibir gua menyunggingkan senyum miring yang selalu sukses membuat para wanita bertekuk lutut. Membalas bibir merekah tanpa lipstick yang melengkung.

Gerak tubuh Lynda tak kalah menggoda saat ini, mungkin lebih menggoda dari beberapa jam yang lalu. Payudaranya yang lumayan proposional tercetak jelas di kemeja yang gua pakai saat di bar tadi. Yang hanya bisa menutupi sampai setengah pahanya. Bahkan gua segera merasakan ketegangan di bawah perut ini.

I’m fine, Lyn! Thanks atas pertanyaannya!” gua berseru sembari berbalik menatap rimbunan gelap yang sebenarnya tidak menarik perhatian. Namun, pemandangan bagus di belakang hanya akan membuat gua lepas kendali.

“Kamu gak pandai berbohong rupanya!” ujarnya dengan logat brithis yang kental. Entah kenapa gua suka mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibir cantiknya.

“Aku dengar kamu sudah lama tidak merokok. Dan selalu ada alasan berat kenapa seseorang melanggar prinsipnya. Apa aku benar?”

Gua tersenyum. Merasa kalah untuk kali ini. Seberapa jauh wanita ini tahu kepribadian gua?

“Mungkin udara di tempat ini lebih dingin, itu bisa menjadi alasankan?”

Lynda bersandar di pintu balkon. Menyilangkan tangannya diatas dada. Juga menumpukan salah satu kakinya ke kaki yang lain. Menjadikan kemeja itu semakin naik dan hampir mengekspos seluruh pahanya. Apa dia bermaksud menggodaku lagi? Jujur saja, sebagian diri gua merasa senang dengan pemandangan menakjubkan ini, tapi sebagian lagi merasa tidak suka.

“Sebagian orang mungkin akan memilih alkohol, karena itu lebih menghangatkan!”

Bayangan gua langsung berlarian ke sebuah tempat. Dimana seorang wanita yang gua kenal bersandar pada pilar bar bersama minuman fermentasi di tangannya. Menegak cairan itu seperti meminum air mineral.

Ironisnya, itu semua karena gua.
Sengatan kecil di dada ini memaksa gua tersenyum pahit. Brengsek, gua emang brengsek!

“Darl, di dunia ini seribu alasan dibuat. Dan kamu akan mengerti suatu saat maksud dari alasan-alasan itu!”

Lynda ternyata sudah berada di depan gua. Tangannya mengelus lengan yang tertutupi  kaos yang gua pakai. Saat kami saling bertatapan, gua seakan tenggelam dalam bola mata gelapnya. Ada ketakutan dalam hati gua saat ini. Entah apa…

Last Love (END)Kde žijí příběhy. Začni objevovat