[12] : Tamu tak diundang

3.9K 234 3
                                    

Entah pukul berapa saat aku memasuki apartemen tanpa ambruk. Lisa mengantarkanku pulang karena kecelakaan bisa terjadi setelah menghabiskan dua botol Chivas. Katakanlah aku gila, tapi aku memang tidak berhenti minum meski Lisa berteriak mencegah.
Dan kepala ini rasanya butuh penyanggah sekarang. Aku berjalan merayap menuju kamar tanpa menanggalkan sepatu. 

"Bersenang-senang, Honey?" suara yang familiar menyapaku.

"Hei, Sam! Kamu udah pulang, sayang? Kok tumben? Hihihihi." Aku tertawa, seingatku Sammy selalu pulang setelah aku. 

"Minum berapa gelas kamu?"

Aku memberi telunjukku.

"Satu?"

Lalu memberi satu jari lagi.

"Dua? Yakin?"

Aku menggangguk. "Yakin! Du-wa bo-tol. Hehehhe..."

"Gila kamu!"

Aku senang mendengar suara Sammy yang marah, jadi kedua tanganku mengarah padanya. Meminta sebuah pelukan. "Sammy, kamu cinta aku, kan?"

Saat kami hampir menyentuhnya, pria ini menampik tanganku. "Kamu gak akan ninggalin aku kan, Sam? Aku takut!"

Melihat sikap Sammy, aku berjongkok dan menangis. "Sammy, please jangan tinggalin aku... jangan!"

=========

Aku terpejam namun bisa mendengar seseorang bergumam. Sebuah tangan juga mengelus rambutku. Memintaku sadar. Dengan sekuat tenaga aku menggerakkan kelopak mata, mencoba membuka dan melihat. Tapi seperti ada satu gentong lem yang merekatnya hingga aku tetap kembali ke keadaan semula.

"Tha' kamu kenapa sih suka buat aku khawatir? Kamu gak sayang sama aku? Kamu mau aku gila melihat kamu terus-terus kayak gini? Sayang, ayo bangun... ayo, kita main lagi"

Setetes air jatuh ke pipi ku. Sebuah isak dari suara hidung yang bindeng. Rasa rindu tiba-tiba membengkak di dada. Tenggorokan ku menyepit, dan rembesan air ngisi kelopak ku yang tak jua membuka. Aku menangis.

Bhe... mas Bhe...

.

.

Aku terkejut dan terbangun dengan napas terengah. Kamar tidur masih temaram, namun bias cahaya matahari dari balik tirai terlihat jelas. Hanya ada aku sendiri di atas tempat tidur, dan masih berpakaian kerja seperti kemarin. Denyut di kepala mulai terasa, dan semakin menyiksa.
Ah, sial.

Apa yang harus aku katakan pada Sammy? Malas sekali bertengkar dengannya. Dengan tertatih aku menuju kamar mandi. Secepat mungkin membersihkan tubuh, karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit.

Aku keluar kamar sembari menyusun alasan, karena Sammy takkan melepaskanku begitu saja. Namun, ternyata tak ada siapapun di ruang tamu atau dapur, juga tak ada balasan saat aku memanggil nama lelaki itu. 
Sembari menarik napas panjang, aku berusaha mengabaikan kemungkinan Sammy yang tidak pulang semalam.

==========

J

am 3.10 sore telepon di meja berdering, aku yang baru saja mengikir dua kuku mengerutu sebal. Tidak berharap pada panggilan dari bu Rusti ketika jam pulang sebentar lagi.

"Oh, oke. Thanks ya" jawabku riang saat tahu siapa yang menelepon.

Petugas resepsionis gedung memintaku turun. Seseorang—entah siapa—sedang menunggu dibawah.
Dengan pikiran berkecambuk aku meninggalkan kubikel dan sekilas melirik ke meja Ryo. Berharap-harap cemas pada ketidak alpaanya disana. Dan, syukurlah dia sedang sibuk mengamati komputer. Sembari berdiri diam di dalam lift aku tak berhenti mengira-kira siapa gerangan orang yang dimaksud Citra. Bodohnya, aku lupa untuk meminta detail tamu itu.

Last Love (END)Where stories live. Discover now