[31] : pembuat ulah

2.1K 131 0
                                    

Satu minggu ini aku berusaha mencerna ucapan Lisa tempo hari. Berusaha memperbaiki hidupku lagi. Kata Lisa hidup yang aku sia-siakan hanya demi mimpi konyol. Bertemuan dengan dokter Bisma masih intens, aku juga sudah sekuat tenaga mengurangi alkohol, menggantinya dengan air mineral.

Masalahnya, meminum air putih kadang tidak cukup. Setiap kali aku terbangun dari mimpi buruk-dan kali ini Sammy seakan menjadi pemeran utama. Dua minggu ini kilasan pria itu yang meniduriku semakin membawa dampak buruk- aku seolah terserang dehidrasi akut. Berkalipun aku menghabiskan bergelas-gelas air, dada ini masih belum lega. Rasa sesak semakin bertambah seiring ingatan tentang mimpi itu berlangsung. Aku semakin membenci Sammy dan aku tak bisa berhenti menangis karena hal itu. Beda dengan alkohol yang dengan cepat membuatku relax. Bahkan hanya dengan dua kaleng saja aku bisa diam tanpa berpikir.

Lalu, soal hipnoterapy? Aku belum memberikan jawaban. Sejujurnya aku tak benar-benar memikirkan hal itu. Perlu kesiapan mental yang jauh lebih besar untuk menjalani terapi, hanya saja hati dan otakku belum mampu bekerja sama.

Selain itu aku berusaha tak menggubris Ryo, walaupun beberapa kali dia menjadi junior partner-ku. Sesekali mungkin aku melirik mejanya, itu pun bila suaranya dan cindy membuat ribut satu ruangan atau bila terpaksa harus berkomunikasi. Tidak begitu sulit, hanya kadang rasa penasaran memaksaku untuk memikirkan laki-laki itu, tentu saja tentang hubungan antara dia dan Bram yang sampai saat ini belum ada titik terang. Karena kami tak pernah membahasnya, tepatnya aku yang masih ragu untuk bertanya.

Hanya saja ternyata 'tak mencoba mengubris' bukan berarti benar-benar seperti itu. Akhir-akhir ini tingkah Ryo itu lebih gila dari biasanya. Bahkan aku sudah bosan untuk menegur atau berkata judes padanya.

"Ren, ada yang ngirimin loe bubur ayam tuh!" Lulu menunjuk dengan dagunya kearah mejaku. Aku yang baru saja tiba langsung saja jengah. Karena apa? Karena ini sudah ke empat kalinya dalam seminggu ini.

"Gua jadi penasaran, siapa sih secret admirer loe ituh? Dua tahun disini baru kali ini ada yang bertingkah so sweet gitu!"

"Loe penasaran atau laper?" sahutku seraya menaruh tas dan melirik sekilas pada styrofoam berlabel kedai bubur ayam.

"He he he, dua-duanya!"

"Ya udah ambil aja tuh, gua gak minat!"

"Serius?"

Aku menggedikkan bahu, "atau gua kasihkan anak-anak pantry aja?"

"Ih, jangan..." Lulu segera bergerak menuju mejaku. "Loe gak mikir tu cowok bakal kecewa kalo makanannya gak loe makan Ren?"

"Loe tinggal bawa aja, gak usah pakek gak enak gitu? Itu urusan gua!"

Sebenarnya perutku lapar juga sih, tapi aku tidak mau memberi Ryo celah sedikit pun, merasa di atas angin dengan aku menerima sikap baiknya setiap hari. Kadang aku merasa heran, kenapa dia tidak meninggalkan aku sendiri saja? Padahal aku sudah menolaknya mentah-mentah, bahkan sebelum aku putus dengan Sammy.

Namun Ryo tak pernah berhenti berbuat ulah. Seperti siang itu...

"Berapa bu semuanya?" aku berdiri di depan kasir sembari memegang dompet.

"Mbak-nya di meja nomer lima ya?"

Aku menoleh pada Lulu yang masih asik minum es jeruk, ada nomer meja di samping gelasnya. Aku pun mengangguk, "Iya mbak!"

"Oh, udah di bayarkan sama mas yang di meja nomer tujuh, yang pakai baju biru!"

Aku mengangguk canggung, dan tersenyum kecut. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang dimaksud mbak-mbak kasir. Dan jangan harap aku akan mengucapkan terima kasih.

"Ayo Luk balik!"

"Loh, udah? Habis berapa?" Lulu sibuk membuka dompetnya.

"Gak usah, gratis!"

"Serius? Loe traktir gua? Gua abis banyak loe Ren!" Luluk mengikutiku keluar dari warung soto gebrak pak Warto.

"Ada acara apaan? Ultah? Atau loe dilamar?" sambil cengengesan Lulu masih senang memberondongku.

"Gak ada acara apa-apa, tuh cowok-cowok yang traktir!" aku melirik lagi kearah warung yang masih ramai padahal jam makan siang hampir habis.

"Oh ya? Siapa?"

Ryo! Dan jangan loe tanya kenapa? Karena gua juga gak tahu! Ngapain juga sih dia ngikut makan disini!

"Gak tahu, loe tanya sendiri aja kalo penasaran!"
Aku membuka pintu mobil, dan berharap pembicaran ini selesai.

"Ih, gua jadi penasaran deh siapa yang nraktir kita!"

"Siapa ya Ren? Maksudnya apa coba?" wajah Lulu bersemu merah.
"Atau jangan-jangan ada fans loe atau... fans gua?"

"Ren, tanyain dong ama Ryo, kalian kan deket, selalu partneran!"

"Please deh Luk, ini cuma traktiran soto, mungkin aja ada yang kelebihan duit!" akhirnya aku gemas juga untuk tidak berkomentar. Ini sudah hampir mencapai kantor dan gadis ini masih ribut soal traktiran.

...

Dan siang kemarin.

"Ren, loe pesen caramel Frappucino ? Tumben?" Lulu yang baru saja mengambil pesanannya kembali berbalik kearah bar, menemaniku yang juga di panggil.

"Enggak! Gua pesen green tea latte."

"Loh, mas kita gak ada yang pesen caramel Frappucino!"

"Ini titipannya mas yang tadi duduk disana, buat mbak yang pake baju ungu ini!" mas-mas barista menunjuk kepadaku.

Aku langsung keselek, dan ketika sudah mencapai meja kami, sorak-sorak mulai terdengar dari Citra dan Lulu.

"Cie, mbak Ren... dari siapa tuh?"-Citra.

"Iya nih, gua jadi makin penasaran? Siapa sih tuh cowok, anak lantai kita juga kali ya? Yang duduk disana tadi kan anak lantai kita!"-Lulu.

"Wah, jadi mbak Ren udah sering di traktirin gini mbak?"-Citra.

"Sering banget! Makanya sering-sering makan bareng Ren, biar ikut kecipratan!"-Lulu.

"Wah, asik! Besok makan bareng lagi yah mbak! Btw, siapa sih cowoknya?"-Citra.

"Gua aja gak dikasih tahu, apalagi loe!"-Lulu.

"Cie, mbak Ren... yang udah ditaksir ama orang satu lantai!"-Citra.

Setan banget kan mereka!

Awas aja si Ryo entar!

Last Love (END)Where stories live. Discover now