[30] : Bagaimana berdamai dengan hati?

2.3K 148 0
                                    

“Gua kan udah bilang, loe gak boleh minum ginian lagi,” Lisa merebut satu slot martini yang masih penuh. Bila dia belum datang, mungkin sudah kuminum.

“Gua lagi pusing banget Lis…!” aku mencembik ketika Lisa malah meminum martiniku tanpa memesan sendiri.

“Sekarang karena apa? Bram lagi?”

Aku menggeleng.

“Sammy?”

Aku menggeleng.

Lisa menjentikkan telunjuknya yang berkuteks silver. “Pasti Bara kan...?”

Sekali lagi, aku menggeleng. Kali ini sangat pelan. Aku sudah putus asa dengan pria itu, dan tak ingin memikirkannya lagi. Kejadian ketika berbelanja kemarin, memaksaku membuka mata lebar-lebar. He’s a Bara, dan seharusnya aku tahu bakal begini.

“So?”

Dan aku mulai bercerita, semua –semua yang tak pernah Lisa atau sahabatku yang lain tahu akan kebenaran hidupku. Tak ada sedikit pun air mata yang keluar, mungkin menjadi setengah gila dalam bertahun-tahun ini mengajarkan untuk tidak menangis bila mengingat semuanya dalam keadaan sadar.

“Kesimpulannya, Bhe itu Ryo? Bukan Bram?”

Aku mendesah, lalu menggeleng. “Gua juga bingung."

Aku ingat Bram, karena hanya wajah dia yang selalu muncul dalam mimpiku. Tapi Bhe... seperti berkabut, dia belum bisa terdeteksi. Atau aku yang tidak peka akan kehadirannya. Kenapa hanya wajah Bhe yang hilang diingatanku?

“Ren, loe mau denger pendapat gua?”

Aku menatap Lisa dengan wajah malas, tapi menunggu. Akhir-akhir ini aku bisa melihat betapa dewasanya Lisa daripada diriku sendiri. Dia tidak terlihat seperti seorang wanita yang akan bertindak ceroboh ketika mabuk. Saat ini, Lisa yang ada dihadapanku adalah Lisa yang seorang Head Editor majalah Fashion yang cenderung tegas. Ternyata bertahun-tahun berteman aku baru bisa membaca seorang Lisa hari ini.

“Loe harus melupakan semuanya. Mimpi-mimpi itu. Sekarang, loe gak butuh mimpi atau ingatan masa lalu yang bodoh itu. Sekarang, loe adalah Ren. Wanita dewasa yang karirnya lagi nanjak. Tanpa mimpi dan ingatan itu loe masih bisa hidup. Loe bisa hidup damai, seperti cewek normal lainnya. Loe harus lepasin semuanya Ren, nikmatin hidup loe dan cari laki-laki yang bisa loe nikahi. Karena hidup akan terus ke masa depan bukan masa lalu. Bahkan bila loe ingat, loe gak akan dapat apa-apa.”

“Fokus dengan hidup loe sekarang Ren….” Lisa mengakhiri ucapannya.

Aku tertegun. Merasa apa yang dikatakan Lisa juga benar. Aku selalu berusaha mendapatkan ingatan sebelum kecelakaan itu. Seakan-akan karena itulah aku hidup.

“Satu-satunya pria yang benar ada di masa lalu loe adalah Bram. Dan dia akan menikah. Sedangkan Ryo… belum tentu benar, kan?”

Apa aku sekarang telah mendapatkan jawaban yang pas dari tawaran dokter Bisma tentang Hipnoterapy itu? Apa segala ingatan itu penting? Atau aku harus melupakannya saja, dan membiarkan hidup ini berjalan semestinya?

===============

“Bu, apa tidak bisa ibu menyerahkan semua pada saya saja. Maksudnya adalah…”

“Bukan saya tidak percaya pada kamu Ren, tapi melihat kondisi kamu akhir-akhir ini, bukankah sebaiknya ada yang mem-back up, Ryo contohnya. Dia bisa membantu kamu sekaligus belajar langsung dari seniornya. Bukankah, kalian sudah sering saya pasangkan, dan tak ada masalah.” Aku hanya bisa tersenyum simpul penuh arti pagi ini di depan bu Rasti. Senyum kepura-puraan dengan kepala nyut-nyutan efek pulang hang out sampai jam dua pagi, hanya saja kali ini tanpa hangover. Dan semakin berdenyut setelah mendengar orang yang akan menjadi junior partner-ku.

Masalahnya adalah, orang itu adalah Ryo. Kenapa harus dia sih?

“ Kalo menurut ibu seperti itu… kami akan berusaha sebaik-baiknya.”

Masih berat sebenarnya menerima perintah seperti ini, aku masih ingin menolak. Tapi sudah nasib kacung mau bagaimana lagi. Dengan enggan aku memundurkan kursi dan berdiri, pamit untuk meninggalkan ruangan.

Sesampai di kubikel aku segera menarik tas, kunjungan ke tempat klien seperti biasanya. Saat melewati meja Ryo, pria itu masih asik bercanda dengan Cindy. Aku tidak begitu akrab dengan gadis itu jadi tidak tahu sedekat apa mereka, hanya saja melihat gesture dua orang itu, mereka pasti sudah sangat dekat.

Cemburu Ren?
Aku menggeleng kepala. Berusaha menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak.

“Ren!” aku dipanggil saat akan memasuki lift. Tanpa menoleh pun aku tahu suara siapa itu. Tanpa merespon, aku membiarkan pintu lift menutup meski Ryo sudah akan menyusulku masuk.

Jahat?

Untuk Ryo, aku merasa ini wajar. Walaupun sekarang dia junior partner-ku, tidak baik membiarkan dia mendekat. Tidak baik untuk kesehatan mental dan ragaku.

.
.
.
.
.

“Terima kasih atas kerjasamanya bu Rena, juga pak Ryo yang sudah berkali-kali kesini. Saya senang sekali anda sudah sehat, saya cukup kaget mendengar kabar anda beberapa waktu lalu. Tapi bila anda ingin bertanya apa pak Ryo melakukan tugas dengan baik, maka saya sudah pastikan itu, he he he!” kekeh pak Ramon—manager keuangan dari salah satu persekutuan komanditer yang kupegang. Pria paruh baya itu semang sering guyon.

Aku berusaha ikut tertawa. Kenapa? Karena mereka berdua—Ryo dan pak Ramon tertawa.

“Kalau begitu kami mohon pamit.”

Setelah berjabat tangan, Windi—asisten pak Ramon, mengantarkan kami menuju mobil. Saat aku akan membuka pintu, gadis itu memekik.

“Mbak, bannya kempes tuh! Parah banget kayaknya.”

Shiitttt!

Decakan kesal lolos saat aku melihat ban depan mobil sudah lembek. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, dan dengan gusar mengobrak abrik tas, mencari ponsel.

“Halo… iya, gua butuh derek… CV. Utama Raya… gak bisa cepat? emang anak buah loe kemana aja? … gua gak mau tahu… nanti malam gua ambil!”

Aku mengeluarkan tangan dari tas dan menatap bingung pada Ryo. Pria itu sibuk menelepon dan aku tahu jelas siapa yang dihubunginya.

“Sekarang loe pulang bareng gua aja!” katanya segera setelah memutuskan panggilan. Nadanya itu loh, sumpah bikin naik darah.

Thanks, tapi gua pakai taksi aja!”

“Bisa gak sih loe nurut sekali aja?” suara Ryo mulai menegang.

“Sama loe?” aku tertawa sinis. “Jangan berharap!”
Aku akan berlalu meninggalkannya, tapi lenganku langsung ditarik oleh pria itu.

“Diluar bahaya Ren!”

“Siapa sih loe? Gua tegaskan sekali lagi ya… bukan berarti loe jadi pahlawan hari ini, bukan berarti loe tahu semua tentang gua, bukan berarti loe bisa masuk dan ikut campur di hidup gua! Jadi… jangan sok-sok peduli, apapun yang terjadi sama gua, bukan urusan loe!”

Telat banget sih ngomong gitu, tadi juga gua berangkat sendiri.

Kami saling bertatapan tajam. Hanya saja aku bisa merasa bahwa Ryo tak memandangku seperti aku memandangnya. Seperti ada kerapuhan di bola matanya. Cara Ryo menatapku seperti aku melihat kapal yang terombang ambing di lautan. Pedih.

“Mbak, Mas… saya permisi dulu!”
Suara yang tiba-tiba hadir mengintruksi kami untuk menoleh. Windi ternyata masih berdiri ditempatnya semula. Dan kami mengacuhkan gadis itu sejak tadi.

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tidak berpaling hingga punggung Windi hilang dari pandangan.
Setelah Windi pergi rasa kesalku muncul lagi. aku mendengus dan tetap berjalan meninggalkan Ryo. Kali ini laki-laki itu diam tak bergerak.

Last Love (END)Where stories live. Discover now