[37] : Ternyata

1.8K 128 2
                                    

"Loe pikir gua bisa ngabisin semua ini?" Aku menatap tidak percaya pada meja yang di penuhi bermacam-macam martabak manis. (aneka martabak)

"Kamu belum makan malam, kan?"
Aku mengangguk seraya duduk di seberang Ryo, memandang takjub pada makanan yang ia pesan. "Are you serious?"

"Kapan aku pernah bercanda, sayang!"

"Badan gua bisa meledak, ngabisin begini banyaknya, Yo."

"Jangan parno gitu deh, ini kan makanan kesukaan kamu." Ryo memotong salah satu bagian dan menyorongkannya padaku.

Salah satu tanganku menerima martabak red velvet durian yang di angsur Ryo, dan tangan yang lain mengambil es lemon tea, lalu segera meneguknya.

"Oh iya, kenapa tiba-tiba ngajak gua kesini?" tanyaku diantara kunyahan.
"Karena aku kangen kamu, dan aku ingat kalo kamu lebih suka tempat ini daripada aku."

"Serius Yo!"

"Aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat."

"Kemana?"

"Belanda." Ujarnya polos.

Aku tersedak dan segera menyeruput minumanku lagi.

"Yo..."

"Aku ingim mengajak kamu kesana. Di tempat orang tua-ku tinggal."

Segera saja, aku merasa sulit untuk menelan dan kembali tersedak.

"Uhukk!" yang untungnya tak menyemburkan apapun.

Ryo menahan tawanya. Sialan...

"Jangan kaget gitu, honey! Kita harus buru-buru!"

"Buru-buru mata loe!" aku menatapnya sebal.

Ryo berdehem. Lalu terdiam sejenak memikirkan sesuatu. Entah kenapa aku jadi merasa takut, rasa ini menggelitiku untuk kabur dari sini. Dan di antara kami semakin tegang saja saat Ryo mulai menarik tanganku yang sejak tadi bertumpu pada meja. Menenggelamkan jari-jemariku dalam telapaknya yang besar. Hanya saja bukannya hangat, telapak tanganku semakin dingin.

"Erkhmm!" Ryo membersihkan tenggorokannya lagi. seperti perintah yang menuntutku untuk fokus pada apa yang akan di ucapkan.

"Seriously Ren, aku ingin kamu lebih dari pada yang kamu pikirkan. Aku berusaha untuk menahannya, terus dan terus, tapi..."

"Lepaskan kalo gitu Yo!" Aku segera memotongnya, seraya menarik kembali tanganku secara perlahan. Tapi dia menahannya. "Gua ngerti, gua gak punya kuasa mengontrol perasaan yang loe berikan. Tapi, sama seperti yang gua ucapkan..."

"Maka berikan aku waktu untuk membalik  semua Ren!"

Pagi itu, dengan kata-kata Ryo yang sama, jawaban yang sama juga dariku. Sebenarnya aku tak mau mengulangnya lagi, tidak dengan suasana seperti ini. saat itu aku bisa mengalihkan perhatian pada kerang-kerang yang menyebar di pasir di bawah kaki kami. Atau memfokuskan diri pada garis horizontal yang menjingga. Banyak hal menarik untuk dilihat alih-alih mendengar bujukan Ryo untuk berpacaran. Tapi disini—dengan banyaknya orang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing, juga suara speaker yang—sialnya, tidak pernah berhenti menyanyikan lagu-lagu mellow (seakan-akan menyindir kekejamanku yang tak habisnya melukai hati pria ini)—mau tidak mau aku memperhatikan Ryo dengan sungguh-sungguh, berharap dalam hati waktu akan melompat ke satu jam kemudian, yang dimana aku pasti sudah ada di apartemenku.

"...aku tahu pasti kamu gak nyaman dengan semua ini Ren... tapi dengan berjalannya waktu aku pastikan kamu yang menunggu-nunggu moment seperti ini. Percaya deh!"

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang