[43] : Mendekat?

1.7K 123 4
                                    

Aku terkesiap dengan lampu ruang tamu yang menyala. Kali ini bukan sekedar mimpi, seseorang dengan kurang ajarnya telah masuk tanpa izin.

Segera saja aku mendial nomer keamanan dan meminta salah satu dari mereka kesini.
 
Jantung ini berdebar bersamaan dengan langkahku yang berhati-hati. Berbekal tas di tangan, aku harap bisa menyelamatkan diri sebelum petugas datang.

Namun ketika sampai di area dapur, seseorang sedang berdiri menghadap meja makan. Aku menghembuskan napas lega. Dari punggungnya saja aku sangat mengenali siapa orang itu.

Aku tak perlu heran bagaimana bisa Bara membuka kode apartemenku. Ini bukan pertama kalinya dia berkunjung.

“Kamu tahukan ini menyalahi aturan. Atau perlu kita tanyakan mbak Diana?” bentakku geram.

Bara berbalik menghadap kearahku, lalu menggaruk tengkuknya. Ia mengambil langkah lebar untuk mempersempit jarang kami. “Aku tahu ini sangat salah, kriminal bisa dibilang. Tapi...."

“Pergi dari rumah aku sekarang Bar!” aku mulai mengertakkan gigi.

"Kamu selalu menghindar disaat kita butuh banyak waktu untuk bicara. Ren..." lagi-lagi ia menatapku sendu.

"Gak ada lagi yang perlu aku dengar dari kamu. Just enough, kita memang tak pernah benar-benar punya hubungan. Lagi pula aku bukan undian, yang dengan mudah kamu tinggal bila kamu tidak beruntung mendapatkannya." Mataku sudah mulai berkaca-kaca.

"Kamu yang pergi lebih dulu, kan?" Balas Bara. Kedua rahangnya mengetat. Bibirnya bergerak kaku. Ini adalah mode marah yang sudah lama tak pernah kulihat.

"Benarkah begitu?" Rasa sesak dan panas berkumpul di dada ini, seperti akan meluap.

"Iya. Hari itu aku menjadi orang yang benar-benar tak berharga."

Aku ingat kembali hari-hari dimana aku mengacuhkannya, sepulang dari makan malam itu. Hari dimana aku sangat shock setelah bertemu untuk kedua kalinya dengan Bram, belum lagi kenyataan bahwa mereka berdua saling kenal. Aku yang selalu diikuti kenangan masa lalu memilih memberi jarak, antara aku dan Bara. Padahal kami baru saja dekat.

Walaupun akhirnya kusesali.

"Kalo itu melukai harga diri kamu, kenapa kamu datang lagi? Bukan berarti kamu tahu perasaan aku, kamu bisa mudah kembali Bara."

Dengan gusar Bara menatap ke segala arah sebelum akhirnya kembali melihatku. Dan aku melihat kesungguhan di matanya. "Aku sedang membuktikan sesuatu, bahwa ini keputusan yang benar."

Suara bell mengintruksi perdebatan kami. Sebelum aku melangkah Bara lebih dulu berjalan menuju pintu. Bisa kudengar ia berbicara dengan beberapa orang yang kuterka sebagai pihak keamanan gedung.

Aku semakin merasa lelah. Aku membenci perdebatan ini. Aku tidak sanggup melihat mata Bara. Tatapannya membuatku tenggelam, dan aku semakin merasa sangat bodoh. Bodoh karena harus mengakui, bahwa dia masih sangat menguasaiku.

Secepat mungkin aku menghapus air mata yang mulai keluar, lalu segera melarikan diri ke kamar.

==========

"Tolong... aku mohon!" Aku sudah tak sanggup lagi berteriak. Tanganku juga lelah. Sinar tipis matahari pagi menerpa wajahku, dan itu cahaya terpanas yang membakar kulitku
 
Untuk kesekian kalinya aku manatap wajah gadis itu. Mengharap uluran tangannya. Aku tahu dia tidak sengaja menyenggolku hingga aku bergelantungan seperti ini, tapi kenapa dia hanya diam saja. Wajahnya cemas, namun dia tak memanggil siapapun untuk menolongku.

"Tolong..."suaraku melirih. Aku bisa mati. "Tolong aku. Bhe, tolong aku."

"Tolong...," sekali lagi dengan sekuat tenaga aku mengeraskan suara. Berharap bukan hanya dia yang mendengarnya.

Last Love (END)Where stories live. Discover now