[39] : Salah sangka

1.8K 131 0
                                    

Keesokan hari, setibanya di kantor aku segera menemui Icha, anak HR. Menanyakan kebenaran pengunduran diri Ryo yang belum bisa aku percaya. Maksudku, Ryo kan kadang licik, mungkin dia cuma iseng mengatakan padaku agar aku mau memperjelas status kami.

"Siapa namanya Ren?" Icha yang sibuk ngopi di mejanya mengalihkan fokus pada komputer yang masih mati.

"Masak loe gak tau sih Cha! Cowok di ruangan gua. Cuma dia doang kok yang ngundurin diri."

"Oh, Aryo Everhart S itu?"

Aku mengerutkan kening. Yang mana artinya tidak tahu nama panjang lelaki itu.

"Surat resignnya udah disetujui kok sama pak Wid. Btw, kenapa sih dia keluar dadakan gitu?"

Secara spontan aku mengangkat bahu. Merasa tak yakin dengan jawaban yang bergaung di kepalaku. Toh, aku memang tidak benar-benar tahu.

"Gimana sih, bukannya dia partner loe ya? Masa gak tahu?"

Kalau kupikir-pikir aku memang tidak pernah perhatian pada Ryo.
Sepanjang kaki ini melangkah menuju meja sendiri, aku menyadari bahwa aku sedikit keterlaluan. Walaupun tak pernah berharap mengambil keuntungan dari hubunganku dan dia, tapi aku juga tak pernah terpikirkan bagaimana hatinya. Aku tak pernah ambil pusing Ryo akan patah hati atau tidak pada hubungan satu arah kami. Aku selalu tenggelam pada emosiku sendiri yang masih carut marut belakangan ini.

Dua bulan ini, dimana aku dan Ryo seperti selalu digariskan semesta untuk bersama terus menerus. Gambaran Ryo yang tak pernah kuketahui sebelumnya mulai nampak di sepanjang kebersamaan kami. Ryo yang humble pada orang yang belum ia kenal, Ryo yang penuh kejutan, dan Ryo yang protektif pada kesehatanku.

Seperti sekarang ini.

"Sejak kapan ada gado-gado disini, Luk?" Aku membuka tutup styrofeom di mejaku sambil menatap Lulu yang bersandar di kursinya sambil ngeblow rambut.

"Barusan, katanya orang gojek yang antar."

"Gua mau ambil minum dulu ah!" Ujarku penuh sumringah seraya mengambil botol eko di dalam laci. Aku tidak tahu kenapa merasa bahagia dengan perhatian kecil ini, padahal biasanya langsung mencak-mencak kalau Ryo berbuat ulah.

Saat akan keluar kubikel, ada sebuah pesan masuk di ponselku.

Nanti malam kamu jadi antar aku ke Bandara kan?

Iya, balasku.

===========

"Mbak Ren, ada kiriman lagi nih!" Seru Dinda di seberang sana. Aku yang sengaja men-speaker karena malas mengangkat gagang telepon membuat suara gadis itu menarik perhatian beberapa anak-anak yang berdekatan dengan mejaku.

"Oke, bentar lagi aku turun." Tutupku.

"Eh cie... tambah gencar aja kayaknya yang lagi PDKT-in loe. Gayung tersambut nih?"

"Berisik!" Aku langsung ngeloyor pergi.

Mungkin hari ini Ryo lagi kumat, dari tadi pagi ia tak berhenti mengirimkanku makanan, padahal semenjak aku melarangnya beberapa waktu lalu, kegiatan ini sempat terhenti. Tapi mungkin karena kami tidak bisa bertemu untuk dua minggu ke depan, jadi Ryo hanya bisa menebusnya dengan perhatian seperti ini.

"Orang gojeknya mana?"kataku sesampainya di meja reseptionis.

"Bukan orang gojek kok mbak!"

"Terus?"

"Cowok ganteng. Matanya sipit, hidungnya mancung dan tinggi."

DEG

Jangan bilang 'dia'?

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang