[21] : Terdiam

2.8K 181 3
                                    

Sekali lagi aku memoles lipstick dengan warna nude yang baru saja kububuhkan beberapa menit yang lalu. Sedikit membuat berantakan rambut coklat panjangku, entah kenapa malam ini aku ingin memiliki kesan yang lain dihadapan Bara, dan rasa percaya diriku sedikit memudar, hingga harus berkali-kali memandang cermin. Aku harap ini terakhir kalinya aku dan restroom memiliki ikatan yang kuat.

Berjalan menghampiri Bara kembali di meja yang sudah kami pesan, aku berusaha menampilkan kepercayaan diriku, dengan sandal berhak pendek ini seharusnya membuatku sedikit lebih mudah berjalan. Hanya saja, setelah beberapa menit yang lalu, rasanya aku sedikit kesulitan berbasa-basi dengan lelaki yang di seberang sana sedang berdiri dan asik mengobrol dengan entah siapa—mungkin teman. Berkali-kali, aku memantrai diri sendiri agar sedikit relax, tapi rasa tegang masih saja menyelimuti. Bara benar-benar hebat membuat wanita seperti ini, bertekuk lutut dan lemas.
Semakin dekat jarakku padanya, semakin sering aku menarik napas. Kehadiranku tak disadarinya, kurasa aku hanya perlu menyelip dan duduk kembali.
Seperti merangkak, aku melangkah sepelan mungkin. Entah kenapa aku tak ingin dia menoleh dan menyambutku dengan senyuman mematikan itu. Demi Tuhan, dia benar-benar bisa membuat syaraf-syaraf ini konslet.
Dan, saat aku akan segera menyelip untuk duduk, tiba-tiba seperti kaset rusak semua seakan berhenti berputar, atau aku yang tak lagi bisa peduli pada musik apa yang saat ini mengalun, juga suara obrolan di kanan-kiri yang yang menjadi sumbang. Aku hilang fokus, dan yang tertanam di kepala ini hanya rangkaian kata, bahwa aku seharusnya tak berada di tempat ini.

==============

Flashback, satu tengah jam yang lalu.

Untuk kesekian kalinya aku mengamati untaian rambut. Tidak buruk. Hanya saja, aku sedikit tak tenang.

“Kenapa sih?” supir ganteng di sebelahku.

Aku jadi semakin salah tingkah. Sial, padahal sudah sangat halus sekali aku menutupi ketidaktenanganku. “Eh, e-enggak ,”aku mengulas senyum dengan sedikit kikuk.

“Kamu udah cantik kok!”

Aku mengigit bibir bagian dalam untuk menahan senyum malu-malu bak abg.
Tahan Ren, ini Bara. Dan mungkin udah ribuan gadis yang ndengerin kata-kata kayak gitu.

Cantik.

Sekali lagi aku melirik kaca spion. Rambut terurai ini, duh kenapa rasanya aku sedang menggoda pria ini…

Setibanya kami di kafe, tanpa izin Bara sudah menyambar lenganku sembari menuntun masuk. Jantungku berdebar lebih cepat dengan perlakuannya ini. Jelas sudah bahwa kami sudah melangkah lebih jauh dari makna kata ‘teman’.

Seorang pelayan menghampiri kami. Dan meski hanya sekilas, aku bisa menangkap kedipan mata Bara yang ditujukan pada seorang wanita di balik  meja Bar. Rambatan nyeri sedikit menyiksaku, bahwa mungkin bukan kali ini saja Bara membawa wanita ke tempat ini.

Pelayan membawa kami ke salah satu meja yang sedikit menyudut, terletak di dekat perfom stage. Sebuah melodi klasik yang sangat familiar menarik perhatianku. Ruangan berdinding kaca dan nuasa coklat bata, menghangatkan hatiku.

“Kamu gak mau duduk?” Tanya Bara membuyarkan keterpanaanku pada dekorasi café ini.

“Ah, thanks!” aku menjawab malu seraya menyisipkan helaian poni di belakang telinga.

“Apa ini gak sedikit berlebihan?” aku melontarkan keganjilan perasaan ini ketika pelayan sudah pergi. Dari semua yang kulihat, bisa di perkirakan kisaran harga makanannya. Walaupun bukan restoran western kelas atas, tapi aku yakin café ini termasuk tongkrongan ekslusif. Dan rasanya aneh, karena teman-temanku yang lain pasti hanya akan memilih ke cafe sederhana, untuk acara traktir mentraktir.

Last Love (END)Where stories live. Discover now