[41] : Si Bastard

2K 134 0
                                    

Aku menyelaraskan laju treadmill dengan kakiku yang mulai lelah. Lalu mengakhiri olahraga hari ini.

Keringat membanjiri tengkukku padahal tidak banyak yang kulakukan, hanya menggunakan beberapa alat olahraga. Karena hari ini adalah pertama kalinya aku kembali ke pusat kebugaran. Kalau di pikir-pikir sudah hampir dua tahun aku tak menikmati olahraga seorang diri di tempat ramai seperti ini. Semenjak bersama Sammy, aku berhenti ngegym--lelah rasanya, selalu bertengkar setiap kali pulang dari tempat itu, Sammy yang protectif selalu cemburu bila aku berkumpul dengan banyak pria.
Alternatifnya yaitu hanya memakai alat olahraga yang pria itu beli seperti treadmill dan Static bicycle, itu pun hanya sesekali saja, karena sepulang kerja atau weekend, tidur-tiduran ternyata lebih menyenangkan.

Tepat pukul sepuluh lewat lima menit aku keluar dari ruang fitnes, melempar tas ke jok belakang dan memanuver mobil memasuki jalan raya.

Sial, kenapa jadi lapar!

Tanganku yang lain reflek memegang perut yang berbunyi. Bila diingat-ingat, seharian ini aku hanya mengisi perut dengan gado-gado. Setiap makanan yang di kirim oleh Bara langsung berpindah tangan ke orang-orang pantry. Itu permintaanku sendiri.

Aduh, masak diisi sih, baru juga olahraga, batinku sembari menghabiskan aqua botol yang sisa separo.

Aku berhenti di salah satu coffe and bakery outlet yang masih belum tutup. Tumben.

============


Lima belas menit kemudian aku bukannya pulang, namun duduk di salah satu tempat di sudut ruangan ini. Dan di hadapanku sudah ada seseorang.

°°°

Siapa saja akan menoleh bila seseorang mengucapkan namamu—meski itu bukan dirimu. Aku juga melakukan hal itu. Beberapa kali dan dimana pun, saat kata ‘Renata’ meluncur, aku akan mencari tahu siapa yang mengucapkannya. Walaupun di dunia ini mungkin ada bermiliar nama ‘Renata’.

Sama seperti malam ini, ketika seloyang cheese cake menggoda lidahku untuk merasakannya. Aku terhanyut dalam hayalan menikmati kue itu dengan secangkir kopi susu sepulang dari tempat ini saat namaku keluar dari bibir seseorang. Aku tak begitu mendengar apa yang dia katakan, hanya menangkap satu kata. Renata. Dan aku pun menoleh.

Pria muda yang jaraknya tidak sampai sepuluh meter dariku tersenyum simpul. Benar-benar simpul hingga hanya menunjukkan lengkungan yang menawan. Matanya terlihat berbinar, berbanding terbalik dengan wajahku yang menjadi kaku tanpa ekspresi. Aku terkejut, sungguh! Hanya saja aku segera menutupinya sebisa mungkin.
Jantungku bergerak semakin cepat, seperti laju treadmill yang di-setting dengan volume maksimal.

“Hai!” ia menyapa dengan santainya. Seolah kami sudah biasa bertemu, atau bertegur sapa.

Aku menatap hampa pada tembok di balik punggungnya. Bukankah seharusnya aku segera pergi dari tempat ini tanpa menghiraukannya?

Hanya saja kakiku tak menyetujui ide itu. Aku masih berdiri tegak, bahkan tak mundur saat dia melangkah semakin dekat.

"Ren, beri waktu aku untuk berbicara. Hanya lima menit." Pintanya dengan suara yang berubah menjadi kaku, juga tatap sendu.

°°°

"Ren, apa kita akan terus diam?" Tanyanya memecahkan keheningan kami.

Untuk pertama kalinya aku benar-benar menatap Bara, meneliti rahang pria itu yang seperti berkabut abu-abu.

"Ren, apa kamu benar-benar kaget?"

Aku yang sejak tadi tak benar-benar menyentuh kopiku mulai menjauhkan tangan pada mug. Membawanya ke pangkuan. Aku benar-benar kehilangan selera.

"Ini sudah lima menit, aku harus pulang!" Ucapan pertamaku dan yang terakhir kalinya--kuharap.

"Okey, kita pergi sekarang!" Bara mulai berdiri. Entah apa maksudnya, karena ternyata ia tak membahas hal penting apapun, dan malah mengikutiku keluar.

Aku ragu untuk jalan lebih dulu, dan memilih mundur.

Kami melewati pintu outlet dalam diam, dan aku ingin segera menjauh darinya menuju mobilku--dari hidupnya.

"Setidaknya beritahu aku kenapa kamu menghindar dan sinis." Ucapnya pelan ketika kami sudah berada di teras Cafe. Kata-kata itu menghentikan langkahku, dan aku terpaksa berbalik menatapnya.

"Karena aku telah salah menilai kamu. Karena aku berlebihan memandang kamu. Seharusnya aku gak lepas kendali, dan tetap berada di jalurku. Hingga aku gak seharusnya jatuh pada seorang Bara." Ujarku tanpa bernapas. Seperti ada benda tajam yang membaret dadaku saat ini.

"I'm sorry." Tatapan Bara menghujamku dengan mata nanar, dan kerapuhan yang membuat gigiku menggretak.

"Gua yang salah, yang terlalu lemah hingga terperangkap." Tegasku dengan sedikit tersenggal.

Sudah saatnya aku berbalik pergi. Hanya saja sekali lagi Bara memanggil namaku.

"Satu cara untuk membuat kamu kembali, aku akan melakukan apapun. Katakan satu cara itu Ren! Untuk aku memperbaiki semuanya."

Tidak Ren, jangan ucapkan apapun.

"Tempat itu udah terisi!" Kataku membelakanginya. Aku mengigit bibirku sangat keras.

"Tapi tempat untuk teman akan selalu ada kan, Ren?"

Aku memejamkan mata sejenak. Tidak habis pikir dengan pola pikir Bara. Tidak bisakah ia menyerah saja.

"Okey, sebagai tanda awal pertemanan kita. Aku antar kamu pulang!" Putusnya saat aku belum mengatakan apapun. Ia mendekat dan menyentuh tanganku.

Lalu rahangnya mengetat, saat tanganku menarik lepas jarinya yang mencekal pergelanganku. Aku menggeleng. "Aku bawa mobil!"

Aku menoleh pada mobilku lalu kembali padanya lagi.

"Okey!" Sahutnya cepat.

Kenapa ada rasa kecewa di hatiku mendengar jawaban itu?

Aku melarikan kekecewaanku dengan bergegas menuju mobil. Membuka pintunya, dan bersembunyi di balik kemudi. Sejenak terdiam sebelum akhirnya menekan gas lebih dalam dan meninggalkan area parkir.

Dasar bodoh.

Bodoh.

Bodoh.

Bodoh.

Aku memaki diri sendiri karena membiarkan Bara mempengaruhiku lagi.

Separuh perjalanan meninggalkan daerah tempat aku mulai ngegym lagi. Di spion terlihat camry yang kukenal. Perlahan mengikuti, datar tanpa menambah kecepatan.

Aku bakal jaga kamu

Aku ingat bara mengatakan itu, bulan-bulan lalu saat dia mulai 'mengantarku' pulang. Seperti sekarang ini.

Aku menangis tanpa sadar.

Kenapa dia seperti ini? Kenapa sekarang ? Kemana dia kemarin? Kenapa tidak disaat aku benar2 butuh dia?Kenapa dia mengatakan 'aku bakal jaga kamu' tapi lalu pergi? Tapi sekarang dia melakukan ini lagi?

Hatiku sakit. Dan aku tidak bisa mengatakan padanya bahwa hatiku sakit.

Aku menahan airmataku agar tidak turun tapi sekali lagi aku melakukan hal yang sia-sia... dia tidak berhenti, airmata bodoh ini tidak berhenti.

Last Love (END)Where stories live. Discover now