[23] : insiden

2.6K 171 2
                                    

Ren, dicari bu Rusti tuh. Katanya, loe disuruh nunggu di ruangannya aja!

Itu kata Lulu lima belas menit yang lalu. Maka di sinilah aku sekarang, duduk gelisah dan tak bisa berhenti menggerakkan betis. Apa lagi ini? Jangan bilang bu Rusti mau mendiskusikan klien baru. Please ya, yang kemarin saja sudah membuat otakku butek. Belum harus ke Head office-nya Galaxy lagi siang ini

PING!

Rinda : Ren, sibuk loe? Gua ada di sekitar gedung kantor loe nih

Aku : O y, ngapain?

Rinda: Ada perlu, biasa anak muda.

“Mbak, kata bu Rustin nanti aja, dia harus ketemu pak Wiryo dulu katanya!” suara Nina—sekretaris bu Rusti, yang melongok lewat pintu yang dibuka sedikit mengalihkan pandanganku pada pesan Rinda yang baru masuk.

Aku tertegun sejenak sebelum menyahut, “Ya udah deh, nanti bilangin bu Rusti gua lagi ke tempat klien!”

Nina mengangkat jempolnya, lalu memberiku jalan untuk keluar. Gadis berkulit hitam manis ini menyingkir dari pintu dan kembali ke mejanya.

“Oh iya, mbak Ren ke kliennya ama mas Ryo?”

Langkahku terhenti mendengar pertanyaan dari Nina, aku menoleh padanya dengan dahi berkerut.

“Enggak, emang kenapa?”

“Oh… kirain.”

Aku berusaha menampilkan senyum santai. Sumpah, memikirkan tentang Ryo adalah hal terakhir yang akan aku lakukan. Tidak bertemu lelaki itu sehari saja di kantor ini, adalah anugerah terindah buatku. Jangan sampai ya, bu Rusti punya ide untuk membuatku dan Ryo  berpasangan.

Sembari menuju kubikel untuk mengambil tas, aku kembali membalas kembali pesan Rinda yang sempat terabaikan.

Aku : Anjir, loe kira gua udah tua gitu. Claudy tuh yang emak-emak! Btw, gua mau ke tempat klien, sori yah gak bisa ketemu.

Rinda : Oh ya, ke daerah mana? Sama temen kantor loe?

Aku : Gak, sendiri.

Rinda : ya udah, gua antar aja gimana?

Kebetulan ya aku absen nyetir hari ini. Aku bangun hampir tepat jam tujuh pagi lewat lima. Bahkan tak ada waktu untuk nge-blow rambut. Jangankan menata rambut, buat fruit smooties saja mikir seratus kali.  Inilah akibat senderan di balkon sampai jam empat pagi. Dan selanjutnya, agar tidak telat karena macetnya pasti benar-benar ennoying, dan membuatku semakin terlambat. Aku menghubungi ojek online seraya memakai baju kerja-ku.

Aku : Katanya loe ada urusan?

Rinda : Udah selesai, makanya mau mampir ke kantor loe.

Aku : Bener  nih gak ngerepotin?

Rinda : Gak. Tungguin gua di depan!

Aku bergegas turun. Sebenarnya sedikit sungkan sih, apalagi pertemananku dan Rinda baru berjalan beberapa bulan. Belum lagi dia adik Bram, jadi selalu serba salah bila bersama Rinda terlalu lama. Kantorku ada di lantai tujuh. Jadi harus sabar untuk sampai ke bawah. Saat aku akhirnya melewati lobi, sejenak mataku bersitatap dengan Citra dan Dinda yang menunggu meja resepsionis. Citra bertanya ‘kemana’ tanpa suara. Dan bibirku bergerak mengucapkan kata ‘klien’.

“Lama ya Rin, maaf ya!” seruku setelah melemparkan diri disamping Rinda. Seperti biasa wanita ini selalu mengendarain Jazz putihnya. Padahal ya, kata Lisa dan Claudy, Rinda itu rumahnya sudah seperti showroom, bahkan stan pameran. Terlalu banyak mobil, dari yang harganya recehan sampai yang bayarnya pakai Dinar Kuwait. 

Last Love (END)Where stories live. Discover now