[17] : Di kala Jeda

3.4K 209 1
                                    

Bayangkan kerlipan chandelier di atas kepalamu yang kadang bisa membuat pusing. Hentakan alunan musik yang semakin memanaskan hawa club malam yang sudah dipenuhi manusia-manusia yang haus akan minuman fermentasi. Bau menyengat alkohol dan nikotin. Bayangkan kamu di tengah-tengahnya, bergumul dengan puluhan orang, bergoyang seakan dunia ini hanya tercipta untuk mu.

Dan, itulah yang baru saja kubayangkan. Merasakan detak jantung ini bergetar seperti bunyi drum yang usai di pukul sangat keras, juga isi kepala yang ikut bising mengalahkan hujan diluar. Hanya saja saat ia datang mendekat dan perlahan mengulurkan tangan pada dahiku yang diperban, semua bayangan club malam dan suara-suara seketika menghilang, sunyi senyap. Darah, udara dan degupan seolah berhenti. Dan waktu berjalan sangat lambat hingga satu hentakan keras datang setelah itu—yang kusebut sebagai detak jantung baru.

“Masih sakit?” elusnya halus, yang segera membekukan sisa udara di kedua katup paru-paruku.

Seperti gletser yang mencair karena hawa diantara kami sangat panas, dengan kegugupan berlebihan aku berdehem secepat mungkin. “I-iya, tapi udah gak pa-pa kok!”

Dia sedikit menjauh, dan dengan seksama menatapku yang masih berdiri membeku.

Sorry, karena baru bisa….”

Sorry juga, gua terlalu berlebihan kemarin! Tapi, gimanapun 6 udah mampir dan bunganya…” aku melirik sekilas pada Lili cantik yang masih kupegang erat, “gua suka!”

Sekali lagi dia tersenyum, dan kembali merontokkan kontrol diri yang berusaha kuatur.

“Darimana loe tahu gua disini?” aku mngerjapkan mata, penasaran. Sedikit aneh karena hampir dua bulan kami tidak berkomunikasi.

Bara mengacungkan ponselnya dengan wajah arogan seperti biasa. Aku mendengus.

“Maksudnya?”

Sekali lagi dengan sedikit sinis, Bara menaikan bahu, “datang secara tiba-tiba.”

Bullshit!”

Of courst, yes! Gua mendengar loe berteriak hari itu!”

Jadi, tanpa sengaja gua menelepon pria batubara ini? Ah, memalukan.

“Sejak kapan… loe kesini?” aku tergelitik ingin tahu, apa sosok yang kulihat semalam mimpi atau bukan, bila itu nyata, itu Bara atau Bram.

“Hari ini yang pertama. Why? Loe kira gua bakal langsung datang setelah panggilan itu?” Ada senyum geli di wajah Bara saat mengucapkan itu.

Dasar menyebalkan. “Itu lebih manusiawi, kan? Walaupun gua gak berharap loe datang, toh gua gak sengaja men-dial nomer loe.”

“Gua di luar kota waktu itu. Tapi, bila loe masih memandang gua gak manusiawi… kayaknya gua harus sering mampir kesini.”

“Loe pikir gua bakal disini terus, gitu?” sahutku kesal.

“Oke, berarti gua bakal mampir juga ke rumah loe! By the way, gua belum tahu loe tinggal dimana.”

Mataku terbuka lebar, “Lupain. Gua gak berharap sedikit pun kedatangan loe!”
Bara langsung tertawa lebar.

==============

Sudah satu minggu ini, Bara wara-wiri di sampingku. Menjemputku pulang dari rumah sakit, menemaniku ke kantor polisi saat melakukan introgasi, dan hari ini ia berkutat dengan perabotan-perabotan yang masih tersebar di apartemenku, membantu mengeluarkan isinya dalam box dan menatap ulang. Walaupun kadang Bara tak berhenti menunjukkan flirting-flirting tidak jelasnya, so far, aku menikmati pertemanan ini.

“Loe udah dapat pengacara?”

Sammy. Entah kenapa, setiap ada kata pengacara, maka kata selanjutnya yang hadir di kepalaku adalah Sammy. Aku sebenarnya tidak berusaha memikirkannya, tapi, ada saat dimana aku sedikit berharap ia muncul, setidaknya ingin tahu keadaanku.

“Mungkin, kakak gua bisa bantu loe!” sekali lagi suara Bara terdengar.

“Oh, gak usah. Gua punya kenalan pengacara kok!”

Bara menggangguk dan berjalan menuju dapur. Sampai saat ini, yang tidak Bara lakukan adalah bertanya padaku tentang Sammy. Ketika aku berkata bahwa aku tidak punya siapa pun, dan tinggal sendiri. Bara seolah menulikan telinganya tentang ucapanku tempo lalu di rumah makan, saat aku berkata bahwa aku sudah bertunangan. Bila dilihat, hubungan kami hanya terpaku pada apa yang di depan saja, pria ini datang-menemaniku-kami bercanda-lalu dia pulang. Just it. Mungkin ini lebih baik, karena aku belum siap dengan hubungan yang rumit.

“Kafein-mu sudah siap, Sweetie!” bisikan lembut mengalun di telingaku. Manis seolah telah mewakili macarron caramel yang belum tersentuh sama sekali di meja kopi persis di bawahku.

Thank you untuk-mu!” cicitku tak kalah lembutnya. Aku memiringkan kepala, memberi senyuman yang paling manis. Diantara kami ada kepulan asap yang dihasilkan oleh minuman di gelas keramik kesayanganku, entah kenapa aku merasa kami seperti sedang bermain opera sabun, walaupun sebenarnya tidak begitu.

“Tapi, nama gua bukan Sweetie. Dan loe gak boleh deket-deket gua kurang dari dua puluh senti.” Aku mnyeringai.

Bara mendengus kesal. “Loe selalu bisa bikin mental gua break down! Apa salahnya dengan dekat seperti itu? toh gua udah pernah cium loe! Toh, sekarang loe JOMBLO, sweetie!”

Stoped, call me sweetie, Bara!” aku berusaha mengendalikan diri atas kata-kata cium yang baru saja ia ucapkan. Itu bukan cium dalam makna romantis, cuma salah satu tingkah menyebalkan Bara kala itu. setiap kali akan pulang usai menjengukku, pipiku tiba-tiba sudah dikecupnya. “Sekali lagi loe berani cium gua, jangan harap loe bisa masuk kesini lagi!”

“Wow … takut!!” sahutnya seolah benar-benar ketakutan, tapi setelah itu tak berhenti tertawa.

“Kalo cium tangan, boleh?” tanya Bara usai tertawa.

“Loe pikir, gua emak loe?”

Last Love (END)Where stories live. Discover now