[19] : Penggoda

3.6K 201 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengeliat di kursi setelah membalas pesan tidak penting dari Bara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengeliat di kursi setelah membalas pesan tidak penting dari Bara. Merentakan tangan dan menikmati bunyi “kretek” dari pinggang dan kedua siku. Mata ini sudah sangat lelah, padahal jam belum menunjukkan pukul tujuh.

Sebuah ketukan pelan mengisyaratkan aku untuk berdiri dan menoleh ke pintu kaca. Hanya ada aku sendirian di ruangan ini, karena anak-anak sudah banyak yang pulang setengah jam yang lalu.

Mulutku terbuka melihat penampakan seseorang yang melewati pintu kaca, dan berjalan kearahku.

“Ehm…,” keterkejutan menghilangkan kata-kata yang akan kulontarkan, dan aku harus berpikir kembali. “Kok loe bisa masuk?”

Hai, I’am here!” dengan santainya pria dihadapanku ini meletakkan papper bag dari salah satu restoran Padang tanpa menjawab pertanyaanku.

“Kenapa loe bisa disini? Seharusnya loe gak boleh masuk, aduhhh… berabe tau kalo ketahuan sekuriti.” saking risaunya aku jadi tidak mau duduk.

“Tenang aja kenapa sih, gua kenal satpamnya. Pak Heru, kan?” dan tanpa mempedulikanku, Bara malah menyeret kursi di kubikel Lulu lalu duduk dengan menyilangkan kaki.

“Semua orang juga tahu kalo liat tag name-nya.” Ujarku tak mau kalah. Walaupun sudah bukan jam kantor, tapi tetap saja masalah kalau ada yang tahu aku mengundang tamu tanpa izin.

“Gua beneran kenal sama pak Heru, buktinya gua bisa masuk. Seharusnya loe nyambut gua dengan senyuman. “Wah pangeran gantengku datang, tau aja kalo aku gak bisa pulang”. Ucapnya sambil menirukan suaraku.

“Gak lucu. Lagian gua udah bilang, gak mau dinner ama loe!” sahutku keki.

“Gua mau tuh.” Dan sekali lagi tanpa menghiraukan reaksiku, Bara mengeluarkan isi di dalam paper bag. “Gua tahu Loe lapar, dan gua datang sebagai malaikat penyelamat!”

“Gua udah biasa kok, nanti kalo pulang bisa mampir buat take away.”

“Oh ya, kayak loe suka aja ama take away aja!”

Wow, pernyataan macam apa ini, bahkan tidak luput sedikit pun. Sejak kapan Bara mulai mengenalku, atau hanya sok tahu saja--salah satu metode modusnya dia mungkin.

Dan, ajaibnya enam puluh menit berlalu, kami menghabiskan dinner dengan obrolan ngalor-ngidul—melupakan betapa seringnya kami berdebat dan tak akur, atau aku yang selalu menjahatinya—tentang pekerjaanku, tentang hobinya, tentang—mantan-mantan—pacarnya (yang tak pernah lupa kubahas, dan yang tidak pernah absen membuatku menyeringai adalah karena mereka selalu ‘hadir’ di setiap kami sedang berdua).

Ditengah obrolan dan makan malam ini, sesekali Bara akan mengusap sudut bibirku dan berkata, “kamu kalo makan masih clemotan aja yah!”, dan tidak sedikitpun aku menampik tingkah lakukanya. Why? Entahlah! Boro-boro mencari jawaban, otakku saja rasanya sulit berfungsi.

Aku baru benar-benar sadar saat kami berjalan menuju basement kearah mobil masing-masing. Makan malam singkat ini berhasil membawa Bara selangkah lebih dekat padaku. Entah kenapa ini terdengar sedikit romantis, tapi nyatanya pria ini mampu sedikit membuatku membuka diri.

“Yakin berani pulang sendiri?” untuk kesekian kalinya Bara memindahkan tatapnya pada arloji lalu kearahku, ada sorot kekhawatiran yang memberikan aku rasa gelisah setiap mata kami bertabrakan.

Yeah, I’m fine, okey?” Masih dengan memegang pintu mobil aku berusaha menyakinkannya yang bersandar di pilar basement sambil memasukkan kedua tangan di saku celana.

“Tapi, aku yang gak baik-baik aja Ren…” sahutnya seperti bisikan, yang menghasilkan semilir aneh di dada ini.

Lagi, Bara menunjukkan pesonanya, dia melangkah mantap kearahku yang spontan menjadi kikuk. Tanpa izin, Bara mengarakan telunjuknya membenahi poniku yang tak beraturan. Membuat aliran napasku seperti lalu lintas Jakarta setiap hari, macet.

Tak ada keberanian sedikit pun untuk mendongak menatapnya, hanya dada yang terbalut kaos yang gerakannya menarik mataku. Tangan bara yang lain menjangkau bahuku, merapatkan tubuh kami. Tempat yang aku pijak seakan berputar, dan dentaman jantung ini menulikan semua suara lain yang hadir. Sebuah kecupan lembut di puncak kepala, bagai siraman es yang menguyur seluruh tubuhku. Menggigil.

“Aku bakal jaga kamu!” seruan lembut meluncur sesaat kemudian, dan mengembalikan kesadaranku. Mengembalikan diri ini pada kondisi normal dan secepat mungkin masuk ke dalam mobil, menyembunyikan blushing yang mewarnai kulit.

Sembari memutar setir untuk keluar dari ruang parkir, sejenak mataku menoleh pada Bara dan tersenyum tipis di balik kaca mobil yang gelap. Laki-laki itu tak memindahkan pandangannya padaku yang berlalu. Lantas ingatan-ingatan segera ikut berputar seperti kemudi ini, mengulang pertanyaan ‘kenapa dia ada disini?’. Pertanyaan yang sebenarnya sudah kuajukan beberapa jam yang lalu, sesaat setelah kedatangannya yang mengejutkan.

Dua minggu, bukankah terlalu cepat? Atau memang secepat ini Bara bergerak untuk menerkam mangsa-mangsanya? Membuat mereka lengah dan pasrah oleh pesona yang dia tampilkan…. Dan aku yang baru putus cinta, ikut terbuai begitu saja. Setiap memikirkan hal ini aku sedikit muak, tentu saja dengan diriku sendiri, pada pengendalian diri yang goyah hanya karena playboy macam Bara. Aku bisa teguh pada setiap lelaki yang merayuku di Pub, bisa dengan mudah mengobservasi mereka, tapi, pria satu ini, yang dengan jelas-jelas kutemukan ia berganti-ganti pasangan seperti mengganti underware, sulit sekali me-log out-nya dari otakku.

Dan sekarang, kenapa otak dan hatiku tak bisa di koordinasi. Parahnya lagi, saat ini dengan aku menatap bayangan bibirku yang tersenyum di balik spion seraya melirik kearah belakang, tepatnya pada Camry Bara yang melaju pelan mengikutiku.

Aku bakal jaga kamu

Deretan kata-kata itu menyakinkan diriku sendiri, bahwa ia bukan fatamorgana, dan aku merasa terjaga.

Last Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang